1. Undangan ke Dili

20 4 0
                                    

Sera masih mengamati layar di hadapannya yang menampilkan email dari Loromatan Foundation, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang literasi anak di Timor Leste. Ia mendapat undangan untuk menjadi pembicara pada workshop penulisan bacaan anak di sana.

Tentu saja itu sebuah kejutan. Atau bisa dibilang menjadi salah satu pencapaian tertinggi pada karier kepenulisan Sera sejak ia meninggalkan genre romance dan beralih menulis buku-buku untuk anak-anak.

Namun undangan itu sekaligus membangkitkan apa yang tertidur lama dalam ingatannya. Ia tahu tidak pernah bisa benar-benar lupa. Sera hanya terbiasa. Dia paham bahwa sembuh dari suatu luka bukan berarti lupa bahwa seseorang pernah terluka. Begitu pun dirinya.

Sembilan tahun lalu, saat ia masih mengincar lolos resindensi demi bisa pergi dan tinggal di suatu negara secara gratis, Timor Leste adalah satu-satunya negara yang ia tulis dalam kolom tujuan tempat yang ingin dikunjungi.

Sera membaca bagaimana dahulu Timor Timur yang menjadi salah satu provinsi dari negara Indonesia memilih merdeka dan mendirikan negara sendiri dengan nama Timor Leste.

Ia membayangkan sebuah romance dengan latar sejarah. Romance yang perih namun juga manis. Ya, tentu saja pernah ada novel semacam itu, dan ia pernah membacanya, tapi Sera ingin menulis dari sudut pandangnya sendiri.

Katanya untuk menulis cerita dengan tema-tema yang pernah ada, justru jangan takut untuk membaca karya yang muncul lebih dulu. Sebab dengan begitu pengarang justru terhindar dari jebakan plagiat. Sisi postif lainnya pengarang bisa membidik kisah dari sudut pandang yang berbeda, dan itu bisa menjadi daya jual, sekaligus membedakan dari karya-karya sejenis.

Lalu datang Mario dalam hidupnya, yang membuat keinginannya ke Timor Leste semakin kuat. Ia mendapat banyak informasi karena Mario adalah salah satu dari pelaku sejarah itu.

Namun kemudian, Sera menangkap ketidaklolosannya mendapat residensi adalah sebagai petunjuk bahwa ia harus pergi dari Mario.

Sera meninggalkan Yogjakarta dan menuju Jakarta ketika kontraknya sebagai pekerja di sebuah minimarket habis.

Ketika itu Mario memaksa mengantar ke stasiun dengan pesan yang diulang-ulang.

“Kabari kalau sudah sampai sana, oke?”

Sera mengangguk.

“Jangan hanya mengangguk, kamu harus berjanji.”

Tentu saja Sera tidak mau berjanji. Ia sudah punya beberapa rencana untuk melepaskan Mario.

“Boleh peluk?” tanya Mario.

Sera menggeleng. Tidak. Dia tidak mau pelukan. Pelukan tidak ada dalam daftar hubungannya dengan lawan jenis mana pun. Bahkan jika pun itu pelukan tanda perpisahan.

Sera menangkap raut kecewa Mario. Ia tahu, budaya di tempat Mario berasal pelukan atau cium pipi kiri kanan adalah hal yang biasa, tidak perlu ada hubungan khusus apa pun.

“Baiklah,” Mario memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.

Aku pergi ya, sebenarnya kalimat itu yang ada di kepala Sera, namun yang terucap kemudian adalah, “Makasih ya, semuanya.”

Mario tidak menjawab, Hingga Sera membalik badan dan berjalan menjauh, dia tidak mengucap sepatah kata pun. Sera ingin sekali menoleh. Sekali saja untuk melihat Mario, tapi ia tahu, ia harus tegas pada dirinya sendiri. Sera ingin menunjukkan kepada Mario kalau dirinya kuat.

Dalam kereta yang melaju, Sera mengeluarkan kartu dari ponselnya. Ia merogoh gunting kecil dari dalam tas dan memotong kartu itu menjadi dua.

Tidak akan ada kabar untuk Mario setelah Sera sampai Jakarta.

Tidak juga besok, atau besoknya lagi.

Ia akan baik-baik saja. Dan Mario akan baik-baik juga.

Dili penuh gadis-gadis cantik dan seksi. Tak perlu waktu lama, Mario pasti akan mendapatkan salah satunya.

Tugas Sera adalah fokus pada dirinya sendiri.

Tidak mudah pada awalnya hidup di ibu kota dengan tabungan yang harus ia hemat-hemat.

Selama beberapa bulan Sera bekerja sebagai editor lepas sambil membaca berbagai macam bacaan anak. Ia juga mulai menulis, mengirim ke berbagai media, merancang draft-draft yang kemudian diajukan ke penerbit, hingga akhirnya ia diterima menjadi tim penulis buku pelajaran. Bulan berikutnya ia mendapat pekerjaan penuh waktu di sebuah penerbit.

Rak di kamar Sera dipenuhi buku anak, baik buku lokal maupun impor. Ia juga ikut kelas-kelas kepenulisan cerita anak. Tentu saja sekali waktu ia masih ingat Mario. Kadang-kadang dirinya terusik ingin melihat media sosial lelaki itu. Tapi Sera selalu bisa menahan dirinya.

Sekarang, di sinilah Sera berada. Dalam pesawat yang terbang menuju tanah matahari terbit itu, setelah semalam transit di bandara Ngurah Rai Bali.

Rasanya seperti mimpi. Rasanya tidak percaya, setelah sekian lama, setelah ia mendapatkan perasaan ringan dan merasa biasa saat mengingat yang telah lalu, Tuhan justru mewujudkan keinginan yang dicoretnya.

Ia akan berada di Dili selama seminggu.

Apakah ia akan bertemu Mario? Kota itu tidak terlalu luas. Ia pernah mempelajari ruas-ruas jalannya ketika dulu riset mengumpulkan data-data. Bahkan, ia masih ingat beberapa kota bersejarah yang pernah dicatatnya.

Sera ingat, saat ia meninggalkan Jogja, Mario masih menyelesaikan kuliahnya. Sebelumnya Mario sudah bekerja di Dili dan sengaja mencari beasiswa untuk kuliah ke Indonesia. Sambil kuliah, Mario bekerja paruh waktu di barbershop. Jika akhir pekan kadang-kadang menemani beberapa turis keliling Jogja. Mario juga menerima jasa penerjemah.

Sera juga ingat, Mario pernah mengatakan padanya, setelah lulus kuliah lelaki itu akan segera kembali ke Timor Leste, sambil mencari beasiswa lagi untuk kuliah ke Australia atau New Zealand.

Tapi itu dulu, sembilan tahun yang lalu. Waktu bisa saja membuat banyak hal berubah, seperti juga yang dialami Sera. Bahkan mungkin saja justru Mario sudah menikah dan mempunyai anak.

Sera meniup udara, mengusir pikirannya yang semakin kemana-mana. Kini pesawat telah mendarat sempurna di bandara internasional Presidente Nicolau Lobato, Dili, Timor Leste.

Jarum jam di lengan Sera hampir menyentuh angka satu.
Sementara jam di bandara sudah mendekati angka tiga. Oh, tentu saja Sera sudah tahu sejak dulu, ketika Mario mengatakan selisih waktu Jogja dan Dili adalah dua jam.

Sera mendorong koper sambil melafal Al Fatihah, berharap semua dimudahkan. Ada beberapa dokumen yang harus ia urus, jadi ia berjalan mengikuti orang-orang, melewati lorong dengan tulisan Welcome to Timor Leste. Lorong itu membawanya ke sebuah bilik kecil bertuliskan Visa on Arrival.

Setelah urusan visa beres, Sera beralih ke bagian Immigration Control. Di sana Sera mendapat beberapa pertanyaan perihal kedatangannya ke Timor Leste.

Sera bernapas lega setelah semuanya beres. Pihak Loromatan Foundation mengatakan kalau Sera tidak perlu memesan taksi karena akan ada panitia yang menjemput ke bandara. Sera mengikuti petunjuk, berjalan menuju tempat penjemputan, ia mengedarkan pandangan ke sekitar.

“Sera!”

Sera menoleh ke arah suara yang memanggilnya.

“Sera....”

Sera membeku.

Sembilan tahun berlalu.

Tapi tak banyak yang berubah dari lelaki itu.

Mario?[]

Yang Kita Miliki Hanya KenanganWhere stories live. Discover now