Perasaan sesak di dadanya yang ia rasakan semalam kembali muncul. Surya dengan cepat beranjak keluar dari rumahnya, menjauhi Marni yang mengejarnya dan terus menghujatinya. "Doakanlah yang terbaik untukku, Ibu. Semoga kali ini berhasil," ucap Surya dengan suara pelan yang terbawa angin, tanpa sampai terdengar oleh Marni.

Surya menaiki angkutan umum dengan hati yang penuh kekhawatiran. Hari ini terasa sama seperti hari-hari sebelumnya. Kendala demi kendala terus menghampiri Surya seakan menjadi tanda bahwa interviewnya tidak akan berjalan lancar seperti biasanya.

Pertama, bus yang Surya tumpangi mengalami macet di tengah perjalanan. Surya memandang ke luar jendela dengan cemas, menyadari bahwa waktunya semakin berkurang. Ia mencoba tetap tenang, berharap agar situasi segera membaik.

Kemudian, ketika Surya sampai di depan gedung perusahaan, langit yang cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Hujan deras pun turun, membuat Surya terpaksa berlari mencari tempat berteduh. Wajahnya basah kuyup, rambutnya berantakan, dan pakaian yang ia kenakan menjadi lecek.

Saat akhirnya hujan reda, Surya berusaha membenahi penampilannya sebaik mungkin. Namun, cermin di depannya mengingatkannya pada rupa yang dianggap "jelek" oleh ibunya. Wajahnya yang penuh jerawat, rambut yang tidak tertata, dan pakaian yang kusut membuatnya merasa semakin tidak percaya diri.

Surya memperbaiki sedikit penampilannya dan berjalan dengan langkah gemetar menuju ruang wawancara. Sesampainya di sana, ia disambut oleh pewawancara yang tampak kurang bersahabat. Pewawancara itu menatap Surya dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan, seolah sudah memutuskan bahwa Surya tidak pantas mendapatkan posisi tersebut.

"Dari transkrip akademikmu, terlihat bahwa nilai-nilaimu tidak begitu baik," kata pewawancara dengan suara sinis. "Apakah kamu yakin bisa menghadapi tuntutan pekerjaan ini dengan latar belakangmu yang seperti itu?"

Surya merasa dadanya semakin sesak mendengar kata-kata tersebut. Terbata-bata, ia mencoba menjawab, "Saya... Saya memahami bahwa nilai-nilai saya tidak begitu baik, tetapi saya memiliki kemauan belajar dan berusaha keras. Saya yakin bahwa saya bisa mengatasi tantangan yang ada dan memberikan kontribusi yang berarti untuk perusahaan ini."

Namun, pewawancara tetap memandang Surya dengan pandangan skeptis. "Tapi lihatlah dirimu sendiri. Penampilanmu tidak sesuai dengan posisi ini. Apa yang membuatmu yakin bahwa kamu bisa menjadi seorang sales yang sukses?"

Surya merasakan dadanya semakin sesak. Ia mencoba mengumpulkan keberanian dan menjawab dengan terbata-bata, "Saya mungkin tidak memiliki penampilan yang menarik, tetapi saya percaya bahwa kesuksesan tidak hanya bergantung pada penampilan fisik. Saya memiliki kemampuan komunikasi yang baik, ketekunan, dan dedikasi yang tinggi. Saya siap belajar dan berkembang untuk menjadi profesional yang berkompeten."

Pewawancara mengangkat alisnya, tetapi tidak memberikan respons yang jelas. "Baiklah, kami akan menghubungi Anda melalui email dalam beberapa hari mendatang."

Saat Surya meninggalkan ruangan, ia merasa hatinya terhimpit oleh kekecewaan dan ketidakpastian. Segala tanda menunjukkan bahwa interviewnya tidak berjalan lancar, Surya sangat putus asa. Ia mengambil napas dalam-dalam dan berjalan menuju pintu keluar perusahaan dengan perasaan campur aduk. Ia yakin bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan tempat di mana ia diterima dan dihargai tanpa melihat penampilan fisik atau transkrip akademiknya.

Di tengah-tengah kegalauan, tiba-tiba dia merasakan seseorang menyentuh bahunya. Ia berbalik dan terkejut melihat teman kuliahnya, Rina, yang ternyata bekerja di perusahaan tersebut. Surya berusaha menghindari tatap mata dengan teman kuliahnya. Ia tidak ingin terjebak dalam situasi sosial yang membuatnya tidak nyaman.

"Surya! Apa kabar?" sapa Rina dengan senyuman hangat. "Apa yang membawamu ke sini?"

Surya merasa sedikit gugup, tetapi mencoba tersenyum sambil menjawab, "Hai, Rina. Aku baru saja selesai wawancara di sini untuk posisi sales. Bagaimana denganmu? kamu bekerja di sini?"

Rina mengangguk. "Ya, benar. Aku bekerja di sini sejak lulus kuliah. Bagaimana wawancaramu?"

Surya merasa canggung untuk berbagi pengalaman wawancaranya yang tidak berjalan sesuai harapan, tetapi Rina melihat kekhawatiran di wajahnya. Ia menarik Surya ke ruang makan perusahaan dan mereka duduk di salah satu meja kosong.

"Surya, jangan khawatir. Aku tahu rasanya gagal dalam wawancara dan mendapat penolakan. Aku juga mengalaminya beberapa kali sebelum mendapatkan pekerjaan ini," kata Rina dengan penuh empati. "Oh iya, nanti akan ada seminar kecil-kecilan dari perusahaan Lotye milik Hotman dan dihadiri juga oleh teman-teman kuliah kita dulu. Ayo ikut Surya! Barangkali ada teman yang mempunyai infolowongan pekerjaan yang bisa membantumu," ucap Rina dengan penuh semangat.

Rina memancarkan pesona alami dengan wajah yang memesona, mata yang berkilauan seperti permata, senyum yang menawan, dan rambut panjangnya yang mengalir indah. Tidak hanya dari luar, tetapi juga dari hati yang penuh kebaikan.

Dunia Dimensi LainWhere stories live. Discover now