Ark 1: Chapter 1

81 11 4
                                    


Keadilan dalam kehidupan sering kali dirasakan oleh para pemenang. Orang-orang yang memiliki kekayaan, penampilan menarik, kecerdasan, kekuasaan, dan keberuntungan cenderung menguasai dunia. Mereka yang memainkan peran utama dalam menggerakkan roda kehidupan. Sayangnya, individu yang lemah dan kurang beruntung seringkali tersisih. Surya Pratama, seorang pria berusia tiga puluh tahun, duduk di dekat jendela kamarnya. Dengan gusar, jarinya mengusap layar handphone sembari merenung dengan nada seperti merapalkan sebuah harapan. "Semoga saya berhasil, semoga saya berhasil, semoga saya berhasil."

Dalam kesunyian malam, dering telepon memecah keheningan. Notifikasi email yang dia nantikan masuk. Dengan tergesa-gesa, tangannya membuka layar kunci dan membaca pesan yang masuk.

Kepada Surya Pratama,

Kami telah menerima aplikasi Anda untuk posisi Business Analyst Officer, namun setelah pertimbangan yang cermat, dengan sesal kami informasikan bahwa Anda tidak terpilih untuk posisi ini. Kami mengucapkan terima kasih atas minat Anda.

Salam hormat,

Tim Rekrutmen Coco

Matanya terpaku pada layar cukup lama, membaca pesan berkali-kali hingga memerah. Mungkin karena tidak berkedip, air matanya mengalir begitu saja. Atau mungkin hatinya terluka kembali karena menelan kegagalan yang ke-4999 kali dalam delapan tahun lamanya mencari pekerjaan.

Tak tahan lagi, dia menutup mata karena napasnya mulai tidak teratur. Dadanya terasa sesak dan penuh sehingga Surya merasa sulit untuk bernapas. Dalam hatinya, dia mencoba menenangkan diri karena masih ada satu lamaran pekerjaan lain yang berpotensi ia dapatkan esok hari. Surya harus pergi ke kota J untuk mengikuti wawancara kerja. Perjalanan dari rumahnya menuju kota tersebut membutuhkan waktu dua jam, jadi dia harus mempersiapkan diri di pagi hari agar tidak terlambat. Dalam kondisi membesarkan hatinya, dia tidak sengaja tertidur dengan jejak air mata yang mengering di pipinya.

Ketika turun dari lantai kamarnya, Surya dihadang oleh Marni yang berdiri dengan sikap marah. "Aku baru saja mendengar kemarin bahwa kamu dipecat dari toko Pak Ahok. Apa lagi yang terjadi kali ini?" tanya Marni dengan suara kasar.

"Aku bukan keluar sendiri dari pekerjaan itu, aku dipecat," jawab Surya dengan suara pelan.

"Kenapa kamu tidak becus seperti Tono? Apakah kamu tidak tahu betapa sulitnya bagiku untuk mendapatkan pekerjaan itu untukmu!" bentak wanita parubaya itu sambil menatap Surya dengan tajam dan penuh amarah.

"Jangan menghina ayah! Sudah kubilang aku tidak ingin keluar dari pekerjaan itu, tapi aku dipecat!" jawab Surya dengan suara meninggi, emosinya mulai terpancing.

Marni semakin marah, dan dia memukul bahu kurus Surya. "Kenapa, huh? Kamu membawa sial! Semua pekerjaanmu berakhir dengan pemecatan. Tukang galon, penjaga warnet, petugas kebersihan, dan sekarang kuli beras. Mengapa aku harus melahirkan anak seperti kamu?" kata-kata Marni yang tak henti-hentinya menusuk hati Surya. Lelaki itu membeku sejenak, kadang-kadang meringis karena pukulan Marni yang mengenai luka basahnya yang belum kering.

"Kamu adalah orang yang paling rendah di dunia ini. Lihat dirimu sendiri, pendek, kusam, kurus, dan berjerawat. Tidak heran orang di luar sana mengatakan bahwa kamu buruk rupa." Marni mengeluarkan semua emosinya, topik pembicaraannya melenceng kemana-mana.

Surya hanya diam, menggertakkan giginya. Tangannya mengepal untuk menahan rasa sakit yang tidak terlihat. Ia bergerak dari tempatnya menuju meja makan untuk mengambil sarapan. Sebelum tangannya mencapai makanan, sarapannya dengan cepat diambil oleh Marni.

"Kamu berani mengambil sarapanku! Aku telah menggunakan uangku untuk membiayai kuliahmu yang sia-sia. Aku telah mengorbankan uangku untukmu agar bisa kuliah, tetapi hasilnya nihil. Nilai-nilaimu jelek, dan sekarang kamu bahkan tidak bisa mencari pekerjaan setelah kuliah! Kamu memang sampah!"

Dunia Dimensi Lainजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें