Awal Perjanjian

83 12 8
                                    

Malam belum begitu larut, Deden masuk ke kamarnya sambil membawa segelas air putih. Terlihat Lastri, istrinya sedang menyusui putri pertama mereka yang masih berusia 6 bulan sambil berbaring. Larasati namanya. Ara adalah nama kesayangan mereka pada bayi itu.

Lastri tersenyum melihat kedatangan suaminya. "Tumben mas, jam segini sudah masuk kamar," sapa Lastri tanpa mengubah posisi tidurnya. Deden tersenyum salah tingkah. Bukan karena ia menginginkan istrinya malam ini. Tapi karena ia teringat dengan janjinya pada Ki Ageng, seorang dukun yang dikenalkan oleh Jaka, teman sekolahnya yang telah sukses dengan usaha mebelnya.

Sebenarnya pertemuannya dengan Jaka tidak disengaja. Siang itu, Deden baru saja mendatangi salah seorang kakaknya untuk meminjam uang. Namun, seperti biasa jawaban yang diterimanya sangat tidak menyenangkan.

"Maaf, uangku hanya cukup untuk menghidupi istri dan kedua anakku. Kamu coba pinjam ke Mas Bowo. Siapa tau dia punya lebihan duit," jawab Edi, kakak kedua Deden saat ia mengutarakan niatnya untuk meminjam uang.

Jawaban yang sama juga didapatnya dari Bowo, kakak pertamanya. Padahal Deden tahu betul kalau kakak pertamanya ini mempunyai banyak pundi-pundi kekayaan. Rumah megah, mobil mewah, juga beberapa motor yang hanya sesekali digunakan oleh ART di rumahnya. Belum lagi tabungannya di bank.

"Orang kok hobinya ngutang." Kata-kata sindiran Bowo masih sempat didengar Deden sebelum ia benar-benar meninggalkan rumah mewah itu. Hal itu benar-benar menyulut amarahnya. Awas kau Mas, suatu saat nanti rasa sakit ini akan aku balaskan, janjinya dalam hati.

Ingin meminjam uang pada ayah dan ibunya, Deden merasa tidak berani. Sumpah serapah pasti akan terdengar begitu ia melangkahkan kakinya ke rumah orangtuanya. Kesalahannya di masa lalu membuat tak satupun dari keluarganya merasa iba denganu keadaannya.

Dalam keadaan gelisah karena tidak mendapatkan sepeserpun uang, Deden bertemu dengan Jaka.

"Kamu mau aku kenalkan dengan seseorang yang pasti akan mengatasi semua kesulitanmu?" tawar Jaka. "Pesugihan," bisiknya pelan.

Deden terhenyak. Ditatapnya Jaka dengan pendangan tak percaya. Jaka mengangguk membenarkan.

"Sejak kapan?"

"Sejak usahaku bangkrut dan aku terjerat banyak utang. Kamu tahu sendirilah ketika kita banyak uang orang-orang berebut ingin mendekat. Ketika kita terjerat utang, jangankan mendekat, baru melihat kita dari jarak 1 kilo saja sudah berputar seolah kita ini penyakit yang harus dihindari." Jaka tampak menghela nafas. "Di zaman sekarang, uang memang segala-galanya. Aku tahu yang kulakukan ini salah dan berisiko. Tapi aku puas bisa membalaskan sakit hatiku. Kalau kamu mau, ikut aku siang ini. Tanya-tanya aja dulu. Kalau sudah yakin baru lengkapi persyaratannya," bujuk Jaka. "Pasti aku bantu."

Walau sempat bimbang, Deden akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Ki Ageng.

Deden masih ingat perkataan Ki Ageng sebagai syarat sahnya perjanjian. Mahar sejumlah 2 juta rupiah dan setetes darah segar anaknya. Jaka sudah menyanggupi akan membayar biaya mahar selanjutnya ia hanya harus mengusahakan setetes darah segar anaknya. Hanya setetes. Bukan masalah besar.

Deden berdiri dengan gelisah. Ia telah berjanji pada Ki Ageng akan melakukan ritual malam ini.

"Mas...diajak ngomong kok malah melamun," tegur Lastri.

"Eh..Mas cuma mau mengantarkan ini," jawabnya sambil mengangkat segelas air putih. "Ibu menyusui harus banyak minum air putih. jangan sampai dehidrasi," kata Deden sambil mencium kening Lastri. Deden telah mencampur minuman itu dengan obat tidur yang diberikan Jaka.

"Untuk memudahkan membawa bayimu malam nanti." Kata-kata Jaka kembali terngiang di benaknya.

"Makasih, Mas. Aku memang haus banget, tapi dari tadi Ara tidak mau melepas nenennya. Alhamdulillah sekarang sudah lepas," kata Lastri. Setelah membenarkan posisi Ara dan mengusap sisa-sisa ASI yang menempel di bibir bayi itu ia menyambut segelas air putih dari suaminya.

"Istirahatlah. Kau pasti lelah," katanya sambil mengambil kembali gelas kosong dari tangan istrinya. Deden lalu membawa gelas kosong itu ke dapur.

Lastri memandang punggung suaminya sambil tersenyum. Perhatian kecil tapi sangat berarti baginya. Ia lalu membaringkan tubuhnya. Rasa lelah ditambah dengan obat tidur yang telah bereaksi membuat matanya terasa berat. Tak memerlukan waktu lama, suara dengkuran halus mulai terdengar di kamar berukuran 2 kali 2 meter itu.

Deden kembali masuk ke kamar. Setelah memastikan istrinya benar-benar terlelap, ia berjingkat dan mengangkat pelan tubuh putrinya. Bayi itu tampak menggeliat pelan merasa tidurnya terusik. Deden segera menimang-nimangnya. Sering menemani istrinya menjaga bayi mereka membuatnya tak terlihat kaku saat menggendong bayi itu.

Bergegas ia menghubungi Jaka untuk segera menjemputnya. Jarak rumahnya dengan rumah Ki Ageng lumayan jauh. Memerlukan waktu sekitar 2 jam bila mengendarai mobil.
Motornya sudah digadaikan untuk biaya melahirkan Ara. Sekarang kemana-mana ia harus menggunakan angkot atau meminjam motor Pak Diman, tetangganya. Beruntung, Jaka menawarkan diri untuk mengantarnya. Deden merasa beruntung bisa bertemu kembali dengan teman masa kecilnya itu.

Malam sudah menunjukkan pukul 23.30 ketika mereka sampai di rumah Ki Ageng. Untuk ukuran penduduk desa rumah Ki Ageng tampak mewah. Letaknya yang agak jauh dari pemukiman penduduk membuat aura mistis tampak mendominasi.

Deden memeluk anaknya penuh kasih. Hangat tubuhnya membuat bayi mungil itu nyaman dan tidak terbangun di sepanjang perjalanan.

"Kamu sudah yakin kan?" tanya Ki Ageng saat mereka sudah masuk ruangan khusus yang terletak di belakang rumah utama. Beberapa perlengkapan ritual sudah tersaji. Ia masih menangkap sorot ragu dari sorot mata Deden.

"Yakin, Ki," jawab Deden sambil memandang wajah putrinya yang masih terlelap di bawah gendongannya. "Maafkan ayah ya sayang," katanya dalam hati sambil membelai lembut pipi putrinya.

"Ingat. Ketika ritual ini sudah dijalankan. Tidak bisa dibatalkan," Ki Ageng mengingatkan.

"Tapi putri saya tidak akan jadi tumbal kan, Ki?" tanya Deden khawatir.

"Tidak akan, selama kamu bisa mencarikan penggantinya! Dan ingat jangan sampai lupa waktunya."

Ki Ageng mendekat dan meraih tangan Ara.

"Hwaaaaa....", bayi kecil itu menangis dengan kencang ketika ujung jarinya disayat dengan sebuah pisau kecil. Suaranya melengking membuat suasana malam yang sudah mencekam semakin suram. Darah menetes dari ujung jarinya. Sebuah kain putih kecil yang disiapkan sebelumnya dengan cepat berubah warna menjadi merah. Ki Ageng dengan cepat melipat kain itu dan menyatukannya bersama beberapa jenis sesajen lainnya.

"Tenangkan bayimu!" perintahnya sambil membakar beberapa kemenyan. "Ritual akan dimulai."

Deden, sang ayah dengan sigap mengisap luka di ujung jari anak itu.   Perlahan tangisan bayi mungil itu berganti menjadi isakan kecil. "Maaf ya, Dek," ucap Deden sambil terus mengelus punggung putrinya. "Bapak janji setelah ini akan berusaha membahagiakan adek dan Ibu."

Aroma kemenyan segera memenuhi ruangan. Bulu kuduk Deden mulai meremang. Walau tidak dapat melihat makhluk tak kasat mata, ia bisa merasakan kalau ada makhluk lain selain Ki Ageng, Jaka, dirinya dan juga Ara yang hadir di tempat ini.

Ara yang tadi mulai tenang kebali terlihat gelisah. Deden pernah mendengar kalau anak seusia Ara bisa melihat makhluk halus. Kegelisahan Ara pasti ada hubungannya dengan kedatangan makhluk itu.

Deden mendekap Ara sambil terus menimang-nimang. Ia tidak ingin tangisan Ara menggangu konsentrasi Ki Ageng.

Mulut Ki Ageng tampak komat-kamit merapalkan mantera.

Byuuss...
Api membakar kain putih yang terkena tetesan darah Ara dengan cepat. Setelahnya Ki Ageng menghentikan rapalan manteranya. Sambil memandang Deden dia berkata, "Perjanjian telah sah. Sebentar lagi kamu akan menikmati hasilnya." Deden meneguk salivanya. Semoga keputusannya tidak salah.

Akhir PerjanjianWhere stories live. Discover now