Chapter 3 - Pulang

55 9 5
                                    

Mita baru saja akan berangkat ke kantor, tiba-tiba ada suara tombol membuka pintu dari luar. Gala pulang. Benar tebakan Mita, sosok yang sudah elbih dari tiga minggu tidak dia lihat, muncul dari balik pintu. Wajahnya lesu dan awut-awutan, sepertinya dia belum tidur sejak semalam. Gala masih memakai seragam kerja. Mita hanya melihatnya dari meja makan.

“Aku kira kamu lupa jalan pulang,” sindir Mita.

“Lagi banyak kerjaan, baru bisa pulang sekarang.” Gala meletakkan ranselnya di sofa depan televisi. Lalu meletakkan dirinya sendiri di sana dengan posisi terlentang. “Kamu kenapa enggak bilang aku kalau Rai di rumah ibu?” tanya Gala tanpa memandang Mita dan malah menutupi matanya dengan lengan.

“Ibu sama Om Beni ke sini, mereka sekalian ajak Rai. Lumayan ada yang jaga Rai di sana dari pada aku titipkan ke daycare.

Gala berdecak. “Terus kenapa enggak bilang aku dulu?”

“Kalau aku bilang pun enggak ada pengaruhnya.” Mita beranjak menuju pintu dan mengambil Stiletto-nya dari rak.

“Mama nyari Rai, katanya dia kangen cucu satu-satunya.”

“Rai juga cucu satu-satunya ibuku.”

“Kamu kenapa selalu balas omonganku sih?” Gala bangun dan menatap tajam ke arah Mita.

“Kamu enggak sadar kalau kamu juga gitu?” Mita balas menatap Gala. Mereka saling bersitatap bukan karena saling menyampaikan rindu, melainkan karena memandang satu sama lain seolah adalah pesaing terberat.

Gala mendengkus. “Kamu berangkat sama siapa?” tanya Gala mengalihkan pembicaraan. “Dijemput atasanmu itu?”

“Gala, jangan asal ngomong, ya!” sentak Mita kesal.

“Kamu kira aku enggak tahu?” Gala ikut meninggikan suara.

“Kamu itu enggak tahu apa-apa!” Mita yang masih jengkel, tidak ingin berlama-lama di rumah. Dia membuka pintu setelah berkata, “Jangan lupa KTP-mu! Aku mau mendaftarkan gugatan cerai kita besok!” Lalu menutup pintu dengan keras, tidak peduli lagi dengan respon Gala yang tentu saja makin marah.

Mita tahu betul, saat Gala marah, lebih baik tidak direspon atau dibantah ucapannya, karena itu justru akan membuatnya makin mendidih. Namun, sekali saja Mita ingin Gala tahu bahwa dia juga bisa meluapkan marahnya. Bukan hanya Gala yang ingin dimengerti.

“Mit, ongkos taksi Dokter Anis kemarin sudah beres, kan?” tanya Indra yang pagi-pagi sudah menghampiri meja Mita.

Mita bergeming, dia tidak menjawab.

“Mit?” panggil Indra sambil menepuk bahu perempuan itu pelan.

“E-eh, iya, Mas. Ada apa?” Sontak Mita terkejut.

“Kamu melamun?” Indra malah menarik kursi di samping Mita dan duduk menghadapnya. “Ada masalah?”

“E-enggak kok, Mas. Tadi Mas Indra tanya apa?”

“Beneran enggak apa-apa?” Indra memandang Mita dengan raut wajah khawatir.

Mita mengangguk.

REST AREA (Telah Terbit ✅)Место, где живут истории. Откройте их для себя