Chapter 1 - Kisah Akhir Cinderella

120 16 11
                                    


“Mit, mau makan siang di mana?” tawar seseorang yang berdiri di samping meja Mita.
Dari suara dan aroma parfumnya, Mita sudah mengenal orang itu tanpa harus repot-repot menoleh. “Belum tahu, sih, Mas.”

“Makan siang bareng, yuk. Kamu pengin makan apa?” Indra–supervisor sales sekaligus atasan Mita–memang terlihat akrab dengan Mita karena mereka sering bekerja bersama. Namun, itu malah membuat beberapa staf lain membicarakan kedekatan mereka karena status Mita yang sudah menikah.

Mita sendiri sejak awal bekerja tidak terlalu memedulikan omongan teman-teman kantornya yang hobi bergosip. Toh, Mita hanya butuh bekerja dan memiliki penghasilan tinggi serta karir bagus yang bisa dibanggakan, bukan untuk disukai semua orang.

“Terserah, sih. Aku apa aja oke kok.” Mita sedikit mendongak. Indra masih berdiri di belakangnya dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Penampilan khas orang kantoran dengan celana bahan dan kemeja fit body membuat Indra nyaman dipandang, apalagi ditambah fitur wajahnya yang memang sudah tampan. Supervisor satu ini menjadi favorit para fresh graduate yang baru bekerja.

“Ke Pagi Sore mau enggak?” tanya Indra lagi.

Mita bergeming sejenak. “Boleh, deh. Sudah lama enggak makan tunjang gulai.”

“Sip, aku tunggu di bawah, ya.” Indra menunjuk lantai sebagai isyarat, lalu beranjak pergi.

Beberapa orang di sekitar Mita tampak saling berbisik. Mita cuek saja, dia bergegas mengambil dompet dan ponsel karena perutnya sudah meronta sejak satu jam lalu akibat tidak sarapan. Sejak tahun lalu ketika Mita bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang distributor farmasi ini, tidak ada satu pun staf perempuan yang berusaha mengajaknya berteman. Bahkan, menawarkan makan siang bersama saja, tidak pernah. Mereka lebih suka bergerombol sebagai staf senior sambil berbisik-bisik dan memandang sinis ke arah Mita. Kemudian, Indra, yang sebagai atasan, merasa kasihan pada salah satu anggota timnya yang dikucilkan itu, menjadi lebih perhatian dan akhirnya mereka berteman akrab.

“Motor siapa, Mas?” tanya Mita heran ketika melihat Indra malah mengendarai motor matic. Setahu Mita, Indra selalu membawa mobil karena tugas kunjungan ke luar kota yang sering kali tiba-tiba menyuruhnya harus berangkat.

Indra terkekeh. “Pinjam Pak Tio. Kita motoran aja, ya.” Yang Mita tahu, Tio adalah nama salah satu petugas keamanan di gedung.

Mita mengangguk lalu duduk di boncengan belakang. Sebenarnya letak kantor ke Pagi Sore hanya dua kilometer, tapi kalau ditempuh dengan mobil, tidak setara dengan effort mengeluarkan mobil dari tempat parkir dan jika jalan kaki, bisa-bisa saat sampai di sana Mita sudah jadi ikan asin karena terlalu lama dijemur di bawah terik matahari.

Pagi Sore cukup ramai ketika jam makan siang. Di sini, terkenal karena masakah khas Padangnya dan tunjang gulai yang ditambah telur balado adalah menu favorit Mita.

“Gimana, betah kerja di PP?” tanya Indra di sela-sela melahap soto Padang yang menjadi makan siangnya hari ini.

PP atau Prosper Pharmaceutical adalah perusahaan yang bergerak di bidang obat-obat lokal. Pabrik pembuatannya berada di Tangerang, sedangkan kantornya berada di BSD. Mita baru bekerja empat belas bulan di PP sebagai sales di bawah bimbingan Indra yang menjabat sebagai supervisor atau team leader.

“Betah-betah aja, sih, Mas,” jawab Mita setelah menyeruput sesendok kuah tunjang gulainya yang nikmat.

“Bagus, deh. Takutnya kamu terganggu sama gosip staf lain.”
Mita mengernyitkan kening. “Gosip apa?”

“Tentang kita.”

“Oh.” Mita hanya menjawab singkat, lalu melanjutkan makannya lagi.
Indra menunggu. Biasanya, Mita akan melanjutkan kalimatnya jika dipandang terlalu intens seperti sekarang.

Mita yang baru menyadari Indra menjatuhkan pandangan ke arahnya, bukan kepada soto Padang, membuatnya meletakkan sendok. “Ya, kan, kita enggak ada apa-apa, Mas. Bukan seperti yang digosipin orang-orang. Pure temen kerja. Jadi, ya biarin aja mereka sibuk dengan asumsi mereka sendiri.”

Indra mengangguk puas. “Betul.” Kemudian mulai menyendok sotonya kembali.

Karir Mita sebagai sales taking order yang baru bekerja kurang lebih setahun itu, termasuk melejit dengan cepat. Target penjualan selalu seratus persen di atas batas minimal target per bulan. Bonus tahunan pertama melimpah hingga dia bisa membeli mobil baru. Semua atasan menyukainya karena cekatan dan memiliki loyalitas tinggi terhadap perusahaan. Namun, dibalik kesuksesan itu tentu saja ada banyak pihak yang iri termasuk staf yang merasa lebih senior.

“Mit, sudah input data purchase order Rumah Sakit A ke sistem CRM?” tanya Indra membuyarkan lamunan Mita setelah makan siang.

“Eh, sudah. Sudah kok, Mas. Rencananya, habis ini mau ke sana juga nemui Dokter Farhan."

Indra mengangguk. “Bikin janji dulu aja, siapa tahu Dokter Farhan sibuk, kan,” ucap Indra sebelum menyeruput es tehnya. “Oh, ya, tadi Dokter Anis telepon aku, katanya untuk kuartal ini quantity sama kayak sebelumnya. Enggak kurang, enggak lebih. Jadi bisa kamu input langsung juga tuh di CRM.”

“Oke, Mas. Ongkos taksi Dokter Farhan gimana? Tadi dia tanya, tuh.”
“Blak-blakan, ya, sekarang. Ya, nanti deh, biar aku aja yang kirim tunai ke rumahnya.”

“Iya, Mas. Nanti kalau ketemu, aku sampaikan.”

Mita pulang dari ‘kelilingnya’ sekitar pukul delapan malam. ‘Keliling’ yang dimaksud Mita ini adalah salah satu tugasnya sebagai sales taking order yang harus menemui pelanggan yang sudah terdaftar dalam mitra perusahaan tanpa membawa barang. Mita hanya bertugas mempromosikan produk dengan baik agar pembeli membuat purchase order dengan jumlah banyak.

Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu tinggal di salah satu apartemen di daerah Karawaci. Dia menyewa apartemen dengan dua kamar untuk keluarga kecilnya seharga dua puluh lima juta per tahun.

Apartemen kosong dan gelap. Mita mengembuskan napas panjang tiap masuk ke sana. Seolah ada beban berat di hatinya yang mengganjal. Mita berjalan menuju stop kontak dan menyalakan semua lampu. Kemudian berjalan menuju kamar dan membersihkan diri sebelum menggantinya dengan piyama.

Karena tidak ada yang bisa dilakukan, Mita memutar Disney di televisi. Dipilihnya film animasi Cinderella yang sudah dia putar berulang kali sejak kecil. Ditontonnya lagi hingga habis sampai Mita hapal dengan dialognya. Dia memang pecinta tokoh-tokoh Disney. Menurutnya, menjadi perempuan yang cantik secara penampilan, baik hati, dan kuat adalah nilai yang berharga.
Ketika mendekati akhir dan menampilkan Cinderella yang menikah dengan sang pangeran, Mita selalu mematikan televisi. Dulu, dia kira menikah akan selalu menjadi akhir yang bahagia untuk semua orang. Kenyataannya, bukan ‘happily ever after’ yang dia dapatkan, melainkan rumitnya hidup yang dia jalani sebagai seorang istri sekaligus ibu.

Seharusnya, penulis Cinderella–entah Charles Perrault entah Brothers Grimm–memberi sedikit clue tentang kehidupan setelah pesta pernikahan yang ternyata tidak selamanya bahagia bersama pasangan.

***

REST AREA (Telah Terbit ✅)Where stories live. Discover now