"By the way, lo udah liat pengumuman tadi?" tanya Viona memulai topik pembicaraan baru.

"Udah. Minggu depan, ujian kan?" balas Shera, masih dengan mata yang terpejam.

Viona mengangguk pelan. "Lo udah belajar?"

Mendengar itu, Shera lantas membuka matanya. Pandangannya mengarah tepat ke mata Viona. "Udah, Na. Baru sebagian."

"Daripada nyiksa diri lo sendiri, mending jangan di paksa ya." seloroh Viona pada sahabatnya itu.

"Matamu jangan di paksa!" umpat Shera merasa kesal. "Gue bisa sampai di titik ini harus butuhin banyak pengorbanan. Waktu buat main, jalan-jalan, bahkan baca novel gue korbanin. Enak aja lo tinggal ngomong gitu."

"Menurut gue lo egois." Viona menatap lurus ke depan. "Egois sama mimpi lo."

"Gue tau soal itu, Na. Lo pikir kalau nggak gitu caranya, apa yang bisa bikin seseorang yang gue sayang bangga? Nggak ada, Na. Jadi, nggak apa-apa kalau sekali-kali gue egois kayak gini," jelas Shera.

"Berarti kita sebelas dua belas." Viona menarik senyuman simpul. Dia terlihat menyimpan banyak rahasia dalam hidupnya. "Orang tua gue nggak pernah sekali pun ngucapin kata selamat ketika gue menang olimpiade. Ratusan piala yang gue dapetin, nggak ada satu pun yang bikin mereka ngasih apresiasi."

Shera tentu kaget mendengarnya. Dulu, dia sering mengira kalau Viona adalah anak yang sangat dimanja oleh orangtuanya. Namun ternyata semua dugaannya itu salah. Viona punya luka di balik sikapnya yang suka semena-mena. Memang benar apa kata orang, jangan menilai kehidupan seseorang hanya dari luarnya saja.

"Jangan dilanjut. Gue males jadi orang melas kayak lo," celetuk Viona saat melihat Shera yang membuka mulut untuk menimpali ceritanya. Tanpa lama-lama, dia pun berdiri dari duduknya. "Gue bukan sopir. Ya kali lo suruh nganterin."

Setelah mengatakan itu, Viona pun melenggang pergi meninggalkan Shera yang masih mencerna ucapannya.

Viona itu aneh. Dan lebih anehnya lagi, Shera mulai merasa kalau sebenarnya cewek itu menyimpan banyak luka.

Setelah merasa lebih baik, Shera memutuskan untuk berdiri. Kedua kakinya mulai melangkah keluar dari pintu UKS, tiba-tiba seseorang menghadang langkahnya dengan wajah yang tidak bersahabat. Melihat itu, Shera pun memutar bola matanya malas. Lagi dan lagi, Kalea kembali datang tanpa diundang.

"Ada apa lagi, Kalea?" tanya Shera, langsung pada intinya.

Kalea menatap nyalang ke arah Shera dengan tangan yang terkepal. "Jangan telat minum obat lo," desisnya terdengar singkat tapi sangat membingungkan. Belum sempat cewek itu menjawab, dia lebih dulu pergi dari hadapan Shera yang menatapnya penuh tanda tanya.

ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ *****

Tidak terasa, satu hari lagi, Shera akan melaksanakan ujian sekolah sebagai syarat untuk menamatkan pendidikannya di jenjang SMA. Semua usahanya untuk menghadapi masa-masa sulit itu sudah dia kerahkan. Besok adalah hari di mana dia dan murid-murid lain akan berperang dengan soal-soal yang tentu akan memusingkan kepala.

Sore hari ini, Shera menghabiskan waktunya untuk membaca novel di halaman belakang rumah Kalea. Kalea mengajak Shera untuk menenangkan pikiran di sana sebelum berperang besok di sekolah.

"Ra, bunga daisy cantik ya?" tanya Kalea, tepat sasaran.

"Iya." Shera tersenyum simpul. "Daisy artinya keceriaan. Bunga daisy sendiri, punya filosofi kalau semuanya memang butuh proses yang panjang untuk menuju keindahan."

"Jadi, Kalea yang nyebelin ini, harus ingat baik-baik, butuh kesabaran yang penuh buat nikmatin semua keindahan nanti."

Kalea mengembuskan napasnya panjang. Lega rasanya ketika Shera mengucapkan kalimat itu.

"Jadi, Sherana masih sabar, kan, nunggu Keenan pulang?" Kalea bertanya karena mengingat kalau besok adalah hari ujian sekolah dimulai.

Shera tidak mengangguk juga tidak menggeleng. Dia hanya termenung dengan pandangan yang mendadak kosong. "Gue pribadi, iya. Kalau tubuh gue... gue nggak bisa jamin itu."

Kalea mengerutkan keningnya bingung. "Lo udah nggak kuat, Ra?"

Shera menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. "Kuat, lo tenang aja, kan semua bakalan indah pada waktunya."

Entah kenapa, kalimat yang kali ini Shera ucapkan sama sekali tidak bisa membuat Kalea tenang. Dia justru terlihat gelisah. Ada perasaan takut yang tidak bisa dia jabarkan.

ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ *****

Minggu pun berlalu. Hari ini menjadi puncak dari perjuangan siswa-siswi kelas dua belas SMA 7 Soppeng dengan SMA lainnya. Satu mata pelajaran lagi, mereka akan menyelesaikan ujian sekolah dan menunggu hasil pengumuman tiba. Sepanjang ujian dilaksanakan, adik-adik kelas mereka diliburkan demi menciptakan suasana yang kondusif.

Masih ada waktu sekitar dua puluh menit lagi sebelum mata pelajaran terakhir diujikan. Terlihat beberapa dari mereka sibuk membaca materi di buku masing-masing, meskipun ada juga yang bersantai seolah tidak peduli dengan hasil ujian yang mereka kerjakan nanti.

Shera, cewek dengan rambut yang diikat itu meremas kuat ujung meja untuk melampiaskan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. Sebisa mungkin dia berusaha menguatkan diri sendiri agar bertahan sebentar lagi. Mimpinya belum usai. Harapan untuk bertemu Keenan masih menjadi hal utama yang membuatnya memaksakan diri seperti ini.

"Belum dibalas pesannya?" tanya Kalea. Dia mendudukkan diri di meja yang Shera gunakan untuk belajar. Dalam hati, dia merasa kasihan melihat semua perjuangan yang sahabatnya itu lakukan. Namun, dia sangat tahu kalau Shera tidak pernah mau dikasihani. Itulah sebabnya dia selalu berusaha untuk terlihat biasa saja demi menjaga perasaan sahabatnya itu.

Gelengan pelan itu membuat Kalea membuang napas gusar. Sangat sesuai dengan tebakannya. Keenan sepertinya senang menggantung perasaan sahabatnya seperti ini.

Kalea bergerak turun dari duduknya kemudian melangkah ke samping Shera. Ditepuknya pundak perempuan itu berharap memberikan semangat. "Lo hebat. Keenan pasti nyesel kalau nggak pulang. Habis ujian ini fokus aja sama kesehatan lo. Jangan maksain kayak gini lagi. Inget, ini yang terakhir gue ngizinin."

Shera mengulas senyuman tipis. "Lo nggak berubah, Lea. Dulu lo selalu ngingetin gue obat dan obat. Sekarang, tetap sama aja, gak ada berubahnya."

"Nggak ada yang berubah semenjak gue ketemu lo." Kalea tertawa kecil. "Lucu kayak Elsa dan Hanna!"

Shera menutup buku pelajarannya sambil terkekeh. Benar juga apa yang perempuan itu bilang. Bahkan, saking dekatnya, tak jarang ada beberapa orang yang mengira kalau mereka adalah adik kakak.

"Gue punya hadiah buat lo, Le. Pulang sekolah nanti, ikut gue ke rumah." Mata sayu milik Shera itu menatap Kalea hangat. Jasa perempuan itu berikan sudah terlalu banyak sampai tidak bisa dia balas. Semoga hadiah yang sudah disiapkannya beberapa hari belakangan ini dapat memberikan kesan tersendiri untuk Kalea.

 Semoga hadiah yang sudah disiapkannya beberapa hari belakangan ini dapat memberikan kesan tersendiri untuk Kalea

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Infinity Lovein Of Shera [Telah Terbit]Where stories live. Discover now