2: Tanda Tanya

6 1 0
                                    

Pria yang ditunggu Gea itu akhirnya datang. Dia tampak rapi dengan setelan jas coklat yang dipadu dengan kemeja berwarna cream. Dari jauh, Gea bisa melihat Damar melambaikan tangan sembari tersenyum ke arahnya.

"Maaf, saya telat 10 menit. Jalanan macet." Damar menyeret kursinya lalu duduk di depan Gea.

"It's okay, Mas."

"Apa kabar Gea?"

Damar menatap Gea lekat-lekat. Teman masa kecilnya itu sudah tumbuh dewasa sekarang. Damar ingin sekali memeluknya dan mengatakan jika dia merindukannya.

Tapi rasanya itu tak mungkin. Gea sudah terlalu jauh darinya, semenjak gadis itu memilih minggat dari rumah Eyang, dan tinggal sendirian. Dia bahkan mendengar jika Gea bertunangan dengan seorang pria sebelum akhirnya dibatalkan.

"Aku baik, so far. Setidaknya masih waras, walau kadang sedikit gila." Gea terkekeh.

Gadis itu tersenyum getir. Dalam setahun, semesta bahkan mengambil dua orang yang paling disayanginya. Pertama Haris, lalu Eyang. Hati siapa yang tak patah setelah ditinggalkan.

Untung saja Gea masih cukup waras untuk 'tidak' mengakhiri hidupnya.

Motto-nya satu:

'Ingat! Sebangsat apapun dunia memperlakukanmu, bunuh diri bukanlah solusi yang baik! Kamu berharga dan berhak hidup bahagia!'

"Saya bersyukur kamu baik-baik saja Gea. Kamu bisa cerita apapun ke saya kalau ada masalah."

"Terima kasih, Mas." Gea terenyuh. Rasanya hangat ketika seseorang  menunjukkan kepeduliannya.

"Gea, ada yang mau saya bicarakan. Ini soal warisan Eyang. Beliau berpesan agar semua asetnya disumbangkan ke yayasan sosial. Apa kamu yakin mau melepas warisan sebanyak itu? Cuma kamu lho satu-satunya pewaris dari perusahaan Eyang. Apa kamu nggak sayang?"

Gea berpikir sejenak sebelum akhirnya bicara, "Iya Mas, aku nggak masalah dengan keputusan itu," -dia menghela nafas berat- "Lagipula aku merasa nggak pantas menerimanya."

Damar mengernyit heran. Baru kali ini ia bertemu seseorang yang menolak harta warisan. Sungguh edan!

"Kenapa?" Tanya Damar penasaran.

"Aku berhutang banyak Mas pada Eyang. Beliau sudah melunasi hutang orang tuaku saat mereka meninggal. Aku nggak tau berapa jumlahnya, tapi kurasa Eyang menjual beberapa aset berharganya untuk membayar semua hipotek dan bunganya."

Damar mengangguk paham mendengar penjelasan Gea. Eyang benar, cucunya tidak serakah sedikitpun. Bahkan saat di depannya ada gunung emas, Gea dengan legowo merelakannya. Gadis ini bahkan merasa bersalah atas kesalahan orang tuanya di masa lalu.

Benar-benar gadis yang tulus, pikirnya.

"Kamu nggak perlu merasa bersalah atas apa yang dilakukan orang tuamu Gea. Terlepas dari apapun itu, Eyang sangat menyayangimu. Beliau bahkan menitipkan ini khusus buat kamu." Damar mengangsurkan sebuah kotak kecil pada Gea.

"Apa ini Mas?"

"Buka di rumah saja ya, sepertinya surprise dari Eyang. Oh iya, hubungi saya jika kamu sudah membukanya, okay."

Gea mengangguk, lalu mengamati kotak kecil yang dibungkus kertas kado itu. Dia mulai menerka-nerka.

'Kira-kira apa ya isinya? Apa sebuah surat? Cincin berlian? Perhiasan?'

Sebelum pikirannya melayang makin jauh, Gea pun memasukkan kotak itu dalam tasnya. Tak lama berselang, ponselnya berbunyi.

Mata Gea seketika membola ketika melihat siapa pengirimnya. Ini gila! Apa dia sedang berhalusinasi sekarang? Haris baru saja mengiriminya pesan.

DerauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang