for lovers who hesitate

Start from the beginning
                                    

Dan kehadiran Park Sunghoon di semester akhir membuatnya berpikir ulang tentang perasaan.

Sorot matanya yang lembut dan senyumannya yang ramah membuat Jake merasa nyaman. Sunghoon tidak pernah terlihat canggung ketika ia menautkan jemarinya dengan milik Jake. Dan di hari-hari dimana Jake sedang ingin menangis, Sunghoon juga yang selalu menggiring kepala Jake hingga ia bisa bersandar di pundaknya. Gampangnya, Sunghoon, baik paras maupun perilakunya, adalah bak idaman semua orang.

Jadi ketika Sunghoon menyatakan perasaannya, Jake pun menerimanya tanpa berpikir ulang.

Tetapi ia terlalu muda - terlalu naif untuk memahami kalau ada juga kalanya nyaman tidak melulu berarti cinta.

Tentu, ia menyukai Sunghoon. Hanya saja dadanya tidak berdetak dua kali lebih cepat ketika ia menatap Sunghoon, pipinya tidak memanas tiap kali Sunghoon duduk terlalu dekat, dan ia juga tidak merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya tiap Sunghoon memeluknya dengan erat.

Aneh. Padahal mereka memiliki banyak kemiripan - mulai dari selera humor, makanan kesukaan, hingga tim bola andalan mereka di liga Inggris. Sunghoon tahu topik pembicaraan apa saja yang sedikit enggan Jake bicarakan. Jake juga satu-satunya yang tahu kalau minat yang sesungguhnya Sunghoon miliki tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan jurusan kuliahnya. Simpelnya, mereka memahami satu sama lain. Tetapi juga, Jake pikir, ia bukanlah orang yang tepat untuk Sunghoon.

Berterus terang kepada Sunghoon kalau ia tidak memiliki perasaan yang sama barangkali sudah menjadi salah satu hal yang paling sulit yang pernah Jake lakukan seumur hidupnya. Ia tahu Sunghoon adalah lelaki yang baik - terlalu baik, malah, hingga sempat ada keraguan di diri Jake untuk mengakhiri hubungan mereka. Sisi egois di diri Jake mengatakan padanya kalau kemungkinan ia tidak akan lagi menemukan orang yang sebaik dan setampan Sunghoon.

Tetapi dengan mengulur waktu dan tidak mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan, berarti ia secara tidak langsung sudah menyakiti Sunghoon - dan itu adalah hal terakhir yang ingin Jake lakukan. Lelaki bermarga Park itu berhak mendapatkan seseorang yang dapat mencintainya seutuhnya - and that's not him.

Tidak ada yang salah dengan ketidakmampuan untuk membalas perasaan seseorang, Jake tahu itu. Tapi bohong bila Jake tidak merasa kalau ialah yang paling bajingan di sini. Karena tidak akan ada air mata yang jatuh di malam itu bila Jake bisa membedakan perasaannya sedari awal. Tidak ada harapan yang digantung atau rasa cinta yang nyatanya terbuang sia-sia bila saja Jake sadar.

Jake pikir, akan lebih mudah bila saja Sunghoon kala itu marah - berteriak, mencaci maki, atau bahkan berakhir dengan membencinya. Tetapi tidak. Ketika Jake mengatakan semua itu dan menatapnya, yang ia temukan masih sama - perasaan lembut dan hangat. Dan itu membuat dadanya sesak seribu kali lipat dipenuhi dengan perasaan bersalah, membuatnya tak henti-henti mengutuk dirinya sendiri hingga bertahun-tahun kemudian karena telah menghancurkan hati pria yang mencintainya dengan tulus.

"Ironic, isn't it? People said we're soulmates. But I guess we're not made to last."

Sunghoon tersenyum ketika ia mengatakan itu, maniknya dipenuhi dengan kekosongan. Sementara Jake hanya dapat menunduk, tidak mampu menatap wajah Sunghoon barang sedetik saja.

Kala itu Jumat sore, dan Jake tak yakin apakah espresso yang ia minum beberapa menit yang lalu adalah alasan mengapa ia merasakan pahit di mulutnya, atau karena ia tahu seberapa banyak ia meminta maaf pun tidak akan cukup untuk mengobati rasa sakit yang Sunghoon rasakan.

Inilah mengapa ia tidak pernah menjalin hubungan lagi selepas dengan Sunghoon. Konsepsi akan cinta masih terkesan abstrak untuk dirinya. Dan ia terlalu takut jika ia hanya menjadi peran 'jahat' lagi di cerita cintanya sendiri selanjutnya. Dan kalau pun ia bisa jatuh cinta lagi, ia ingin semuanya berjalan dengan perlahan dan hati-hati.

someone to take you home | HEEJAKEWhere stories live. Discover now