6. Masa Lalu 2

Comincia dall'inizio
                                    

Untaian kalimat demi kalimat. Tawa demi tawa memenuhi ruangan. Dalam sekejap, Alma merasa bukan orang asing di antara mereka. Ia berbaur dengan sangat mudah, hingga isi piringnya habis dan isi gelasnya tinggal setengah.

"Ra, Mahesa ngajakin naik gunung lagi tuh, akhir bulan." Bara memberitahu.

Ciara menoleh ke samping dan melihat suaminya tersenyum. Semenjak menikah, Ciara tak hanya harus menerima suaminya, tapi juga kecintaan pria itu terhadap kegiatan pendakian. Ia mulai terbiasa ditinggal berhari-hari tanpa kabar.

"Boleh, ya?" Mahesa bertanya sambil mengerling.

"Ke mana lagi?"

"Gunung Sumbing." jawab Mahesa, "kalau kamu libur, ikut aja, yuk." ajaknya.

"Ih, aku mending berjam-jam di kamar operasi, deh, daripada ikut naik gunung." kata Ciara.

"Coba dulu. Kamu nggak akan tahu rasanya kalau belum coba."

"Nggak usah-nggak usah. Ciara di rumah aja." kata-kata Irawan membuat Mahesa langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada menantunya. Cukup ia yang mengalami tragedi itu. Jangan sampai Mahesa merasakannya juga. Suasana mendadak hening.

Suara ponsel yang tiba-tiba memecah membuat Irawan berdiri dari duduknya. Ia meninggalkan ruangan itu untuk mengangkat panggilan. Dewi ikut berdiri untuk membereskan meja makan.

Ciara melotot pada Bara yang justru menunjuk Mahesa dengan dagunya. Alma mulai tidak mengerti dengan perubahan suasana yang terjadi.

"Ke atas, yuk." ajak Bara. Alma belum sempat menjawab karena Bara langsung menarik tangannya. Ia hanya sempat tersenyum kecil pada orang yang tersisa di ruangan itu.

Ia mengikuti langkah kaki Bara yang lebar-lebar hingga mereka menaiki tangga. Tautan tangan itu terlepas saat mereka berdiri di depan sebuah pintu. Bara menekan handle pintu dan masuk ke dalam sebuah kamar.

"Ayo masuk." kata Bara saat melihat Alma masih bergeming.

"Ini kamar siapa?" Alma bertanya.

"Kamar aku."

Alma melangkah dan memindai ruangan dengan cat dominan warna abu-abu dan putih itu. Sementara Bara membuka jendela balkon, ia berhenti di depan sebuah meja dan menatap beberapa bingkai yang ada di sana.

Ia tersenyum melihat potret keluarga kecil itu. Di saat yang lainnya tersenyum, Bara menunjukkan raut wajah dingin. Laki-laki itu cemberut dan tampak menggemaskan di matanya.

"Kamu mirip banget sama Mama kamu. Mahesa mirip dr. Irawan." kata Alma. Ia mengambil foto itu untuk melihat lebih jelas. "bisa gitu, ya. Pas banget."

Bara mendekat dan ikut menatap objek yang sama, "bisa dong. Aku sama Mahesa kan memang bukan saudara kandung."

Alma terdiam. Ia menoleh dan melihat Bara tersenyum, "aku anak tirinya dr. Irawan." Bara melanjutnya.

"Oh." Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Alma. Ia bingung bagaimana harus bereaksi. Informasi itu tidak pernah ia dengar sebelumnya.

Bara mengambil foto itu lalu menggandeng tangan Alma menuju balkon. Mereka duduk berhadapan, dipisahkan meja bundar berbahan kayu mahoni.

"Di semua foto keluarga, raut wajah aku selalu kayak gini. Kamu mau tahu alasannya?" Bara menatap Alma yang mengangguk samar.

"Karena saat itu... aku benci sama mereka. Aku benci sama Mahesa, juga dr. Irawan."

Bara menjeda kalimatnya. Ia menarik napas panjang sebelum kembali berkata, "aku dulu mengira kalau dr. Irawan adalah orang ketiga dalam rumah tangga orangtuaku. Kebencianku makin parah saat Mama meninggal. Bertahun-tahun aku hidup memupuk dendam. Aku tumbuh jadi anak yang egois, kasar, bahkan jahat."

Deep Talk Before Married [TAMAT]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora