“Apalagi dua-duanya juga enggak bisa dihubungi,” tambahku lagi sambil memukul-mukul telapak tanganku dengan genggaman tangan. Gemas dengan bayanganku sendiri. Awas saja kalau dugaanku terbukti. Janu dan Mutiara akan sangat menyesal karena telah mengkhianati kepercayaan yang sudah aku berikan.

Kening Ratna berkerut, tapi dia tidak berkata apa-apa. Sabar menanti kelanjutan curhatku.

“Bayangkan, Na. Dari sore aku mencoba menghubungi Janu dan Tia. Berkali-kali aku telepon, tapi tidak ada satu pun yang dijawab. Menjelang malam ponsel mereka berdua malah jadi tidak aktif. Gimana aku enggak tambah curiga?”

“Kalau sudah begitu, kamu enggak boleh tinggal diam, Tish. Jangan menunggu sampai badai menghancurkan pernikahanmu. Kamu harus bergerak lebih dulu. Mumpung mereka masih lengah, karena mengira kamu belum menyadari kelakuan curang mereka.”

“Hmmm… Iya nih.” Aku berdiri dan berjalan mondar-mandir. Otakku bekerja keras mencari cara paling tepat untuk membuktikan kecurigaanku. Taruhannya terlalu besar kalau menuduh Janu dan Mutiara secara  sembarangan. Bisa-bisa Janu marah besar. Hmmm… aku tidak boleh gegabah.

“Kayaknya aku harus pergi mengunjungi mereka deh, Na. Itu satu-satunya cara untuk menenangkan hatiku. Supaya bisa mendapat kepastian. Kalau enggak bisa-bisa aku stress sendiri karena curiga terus-menerus.” Kalau mereka tidak bersama, maka aku bisa menghapus kecurigaanku….

“Kalau mereka ketahuan sedang bersama?”

Aku terdiam. Terkejut sendiri dengan pertanyaan Ratna. Bukannya aku tidak memikirkan kemungkinan itu, tapi mendengarnya dari bibir orang lain, terasa sangat mengejutkan.

“Aduh, sori, Sha. Aku enggak bermaksud menyinggung kamu.” Ratna mendekatiku dan mengusap bahuku. Ekspresi wajah dan cara bicaranya menyiratkan Ratna merasa tidak enak hati karena telah bertanya seperti itu.

Aku tersenyum. “Enggak pa-pa kok.”

“Aku cuma ingin kamu memikirkan hal itu, supaya kalau benar terjadi kita sudah tahu apa yang harus dilakukan. Jangan sampai dibutakan emosi dan melakukan sesuatu yang akan kita sesali kemudian.”

“Yah sekarang aku belum tahu tindakan apa yang akan kuambil kalau benar-benar memergoki mereka berdua. Iiih… amit-amit…” Aku mengetuk pelan meja kayu di depanku. Sungguh sangat tidak berharap menyaksikan kecurigaanku jadi kenyataan. Aku masih berharap salah duga. Bahwa sesungguhnya tidak terjadi apa-apa antara Janu dan Mutiara.

“Kalau gitu aku pamit aja ya, Na.” Tanganku bergerak cepat mengumpulkan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas.

“Eh, jangan bilang kamu juga mau berangkat sekarang deh.”

“Iyalah, kapan lagi. Kalau menunggu pagi bisa-bisa terlambat-“ kata-kataku terpotong dan kami saling berpandanga. Terlambat apa? Lagi-lagi aku menggeleng untuk mengusir bayangan buruk tentang kelakuan Janu dan Mutiara yang mampir di benakku.

“Kamu pergi naik apa?”

“Aku bisa menyetir sendiri.”

“Jangan nekad. Dari pagi seharian kamu bekerja dan belum istirahat. Bisa-bisa kamu ngantuk, bahaya banget kalau nyetir sendirian.”

“Aku kan enggak punya pilihan lain, Na. Kereta terakhir juga sudah enggak kekejar. Pesawat apalagi. Bis atau mobil travel pasti baru jalan nanti pagi. Padahal aku mau masalah ini selesai sekarang juga.”

“Kalau begitu jangan pergi sendiri, Tish. Aku ikut! Biar aku temani,” ucap Ratna penuh semangat.

Aku sampai melongo mendengar usulan Ratna. Gila nih. Benar-benar sahabat terbaik. Teman dalam suka dan duka. Ratna sampai rela meluangkan waktu untuk menemaniku. Tapi sudah tentu aku tidak bisa menerima tawaran baiknya.

“Jangan, kasihan suami dan anakmu dong. Masa’ ditinggal gara-gara nganterin aku. Aku enggak mau merepotkan kamu, Na.”

Ah, enggak pa-pa. Aku bisa atur. Sudah empat bulan aku nyaris enggak pernah keluar rumah. Aku rasa bisa deh ditinggal sehari saja. Lagipula kasihan kalu kalau benar mereka ada apa-apa. Mereka berdua sedangkan kamu sendirian.”

“Serius, Na? Kamu enggak pa-pa nemenin aku?”

“Aduh, sudah berapa tahun kita berteman sih, Sha. Kamu tuh masih aja penuh basa-basi. Kan kamu tahu pasti, aku bukan orang yang mengambil keputusan secara serampangan. Kalau aku bilang mau menemani kamu, pasti aku sudah merencanakan semuanya di sini. Tenang saja. Jangan pikirkan suami dan anakku. Mereka sih bakal baik-baik saja. Tugasmu hanya memikirkan soal Janu dan Mutiara. Oke?”

“Thanks ya, Na…” Tidak tahan, aku memeluk erat Ratna. “Kamu memang sahabat terbaik…”

Haii… silakan baca juga cerita yang lain ya…

Cinta Rahasia Suamiku

Suami Perebut Warisan

Pembalasan Isteri Setelah Dipenjara

Happy Reading…


Sahabat yang Merebut SuamikuOnde as histórias ganham vida. Descobre agora