Dinas Luar Kota

196 0 0
                                    

“Ella enggak sakit kok Tante,” jawab bocah cantik itu dengan wajah serius. “Ella sehat dan kuat…” dia mengangkat tangannya seperti atlet binaraga yang sedang memamerkan otot.

“Ooo… bagus dong kalau Ella sehat dan kuat,” ujarku sembari menepis rasa bingung. Ini siapa yang benar ya… Kata Tia tadi Ella sakit. “Ini Tante bawa kue untuk Ella dan Ello.”

“Horeee….! Terima kasih Tante Tisah…” Ella bersorak lalu menerima bingkisan dari tanganku. Agak keberatan dia membawa kue-kue itu ke dalam. “Mama… kita dikasih kue nih sama Tante Tisha…”

“Eh, Tisha, sory ya, aku sedang di kamar mandi…” Mendadak Mutiara muncul dari ruangan dalam. Rambutnya yang masih basah digelung di puncak kepala dan dijepit. Ada titik-titik air tersisa di leher dan pipinya. Wajahnya tampak cantik dan segar sekali. Mungkin kalau Mutiara mengaku masih single, banyak orang akan percaya.

Diam-diam aku melirik Janu. Pria di sampingku ini bagaikan sedang tersihir pesona Mutiara. Dia menatap penuh arti ke arah sahabatku itu. Kusentuh pelan pinggangnya dengan siku tanganku. Spontan Janu gelagapan.

“Eh… oh… ada apa, Sha?” tanyanya pelan. Matanya kini memandangku lekat. Tentu saja tanpa sorot mendamba seperti tadi.

“Ngapain sih ngeliatin Tia kayak gitu?” aku melotot. Mumpung Mutiara sedang mengurus kue-kue yang dibawa Ella, aku jadi bisa langsung menegur Janu.

“Ngeliatin seperti apa? Aku biasa aja kok… Kamu ini terlalu sensitif,” Janu mengelak dengan luwes.

Melihat Mutiara sudah datang menyongson kami, aku segera menghentikan perdebatan. Tapi sempat aku melemparkan sorot protes pada Janu. Lihat saja kalau dia masih melihat Mutiara seperti kucing memandang ikan, nanti malam aku akan membahas masalah ini habis-habisan.

Untungnya selama bertamu Janu bersikap normal. Seperti ingin menghindari konflik, dia lebih banyak bermain dengan Ello dan Ella di atas karpet. Sementara aku dan Mutiara mengobrol di sofa.

“Ella sakit apa, Tia?”

“Mmm… hanya demam sedikit. Tadi sudah kuberi obat dan panasnya langsung turun.”

“Syukurlah… mungkin karena cepat sembuh, tadi Ella bilang dia sehat dan kuat…” ucapku sambil tertawa mengingat gaya Ella yang menggemaskan.

“Yah anaknya memang begitu, Tish. Paling tidak mau dibilang sakit. Saat kurang sehat saja dia sering masih ngotot ingin sekolah dan main.” Pandangan Mutiara menerawang ke arah Ella dan Ello yang sedang tertawa-tawa dengan Janu. Ada sesuatu yang sulit digambarkan pada sorot matanya. Seperti kerinduan pada sosok suami dan ayah anak-anaknya?

Benarkah begitu? Atau aku yang cemburu pada keriaan Janu dengan anak-anak Mutiara? Sesuatu yang sampai saat ini belum bisa kuberikan untuk Janu. Mendadak dadaku terasa sesak karena menginginkan anak-anak seperti Ella dan Ello.

“Eh, sori ya, Tia. Aku baru ingat ada janji menelepon temanku. Enggak bisa lama-lama nih. Aku pamit dulu…” Lalu aku mengeraskan suaraku agar Janu mendengar dengan jelas. “Sayang… aku ada perlu nih. Kita pulang dulu ya…”

“Yaah… kok sebentar sekali berkunjungnya, Tish? Anak-anak baru asik main tuh…” ucap Mutiara seakan menyesaliku karena menghentikan saat-saat menyenangkan bagi Ela dan Elo.

“Oh, kalau Janu sedang senggang, biar dia di sini saja dulu, main dengan Ela dan Elo…” tawarku walau hatiku tidak rela. Ada rasa bersalah menyusup di hatiku. Merasa egois karena tidak mau memberikan sedikit waktu Janu untuk Ela dan Elo. Kasihan kan mereka, telah lama kehilangan figur seorang ayah. Tapi bagaimana dong? Sesuatu dalam hatiku berbisik untuk tidak membiarkan Janu terlalu lama berada di rumah ini bersama Mutiara.

Sahabat yang Merebut SuamikuWhere stories live. Discover now