38. Pura-pura Bahagia Juga Butuh Tenaga

Mulai dari awal
                                    

"Diam!" pekik Jae Han. Dia menghidupkan mesin mobil dan langsung menginjak pedal gas, membuat mobil mengaum, melaju tak terkendali di jalanan.

"Hey! Ssibal! jika kau ingin mati! mati saja sendiri bodoh jangan bawa-bawa aku!" teriak Shin Woo sambil berpegangan pada sisi jendela mobil. "Go Jae Han! hati-hati kalau kena tilang bagaimana? ini mobil rental keparat!" 

***

Rumah sakit
***

Saat Hwa Gi datang ke rumah sakit. Fumiko sempat menolak untuk melakukan cuci darah, menurutnya tubuhnya sudah mulai membaik sejak terbaring di rumah sakit dua bulan yang lalu. 

Setahun yang lalu Hwa Gi baru tahu penyakit kanker ibunya yang sudah parah dan ginjal sudah rusak dengan bantuan Takada dia bisa menyelamatkan ibunya. 

Namun, tepat dua bulan lalu ginjal ibunya mulai bermasalah dan Fumiko kembali dirawat di rumah sakit, mengharuskan melakukan cuci darah dua minggu sekali.

"Okaasan, harus melakukan ini supaya cepat pulih dan kita akan pulang secepatnya, okey?" bujuk Hwa Gi pada ibunya.

Cukup lama Hwa Gi membujuk dan pada akhirnya, Fumiko setuju.

Seperti proses cuci darah sebelum-sebelumnya, wanita paruh baya akhir empat puluhan itu terbaring dengan selang-selang yang terhubung dengan akses hemodialisis di lengannya. Seorang perawat dengan hati-hati memasangkan selang kecil, mengatur mesin dialisis. Mesin dialisis memiliki penyaring khusus yang disebut sebagai dialyzer. Untuk dapat memasukkan darah ke dalamnya, dokter harus membuka akses pembuluh darah di lengan dan itu memang sedikit sakit. Darah merah mulai mengalir di selang, terus naik dan berputar di dalam mesin.

Hwa Gi memperhatikan proses itu lalu setelah selesai dokter berkata sambil tersenyum, "Saya tinggal sebentar." Dokter itu pun berjalan keluar ruangan

"Ha'i, arigatou," ucap Hwa Gi, membungkuk sedikit badan.

Miki yang tadi duduk di sudut ruangan kini menggeser kursinya ke arah ranjang, memperhatikan selang-selang yang dialiri darah.

"Bibi bagaimana rasanya?" tanya Miki yang baru melihat proses cuci darah.

"Tidak merasa apa-apa tapi hanya bosan saja karena prosesnya memakan waktu empat jam," jelas Fumiko dengan nada bosan.

"Hwa Gi, ada apa? kenapa dari tadi hanya diam? apa kalian sudah makan?" tanya Fumiko pada putranya yang kini duduk di sisi ranjang.

"Tidak apa-apa, aku hanya sedikit lelah, kami sudah makan," jawab Hwa Gi sambil tersenyum.

Miki yang melihat itu jelas tahu apa yang terjadi pada Hwa Gi, pasti emosi Hwa gi sedang kacau sekarang tapi dia hanya menyembunyikannya dari sang ibu. "Orang itu kenapa sangat membenci Hwa Gi?" tanya Miki dalam hati.

"Kalau kau lelah, kenapa tidak pulang saja, istirahat di rumah, kamu tenang saja ada dokter dan perawat di sini yang merawat ibu." ucap Fumiko terdengar khawatir.

"Aku akan di sini saja, karena nanti malam harus bekerja aku tidak bisa menemani ibu." ujar Hwa Gi.

Fumiko menatap Hwa Gi dan Miki secara bergantian, "Kalian berdua apa tidak ada yang ingin menikah?" 

Hwa Gi dan Miki sama-sama memasang wajah melongo karena terkejut. 

"Kulihat kalian berdua cocok, mengapa tidak menikah saja lagi pula Hwa Gi tidak punya pasangan, ibu sudah tua dan sakit-sakitan sebelum ajal menjemput setidaknya ibu ingin menimang cucu." Bibir pucat Fumiko melengkung membentuk senyuman.

"Hehehe … Bibi bicara apa sih? aku dan Hwa Gi tidak cocok untuk menikah kami hanya cocok adu bertinju," celetuk Miki salah tingkah.

"Eomma, jangan berkata begitu, Eomma akan hidup seribu tahun lagi. Lagi pula jika aku menikah dengan Miki, mau kuberi makan apa dia? batu? aku belum memiliki pekerjaan yang bagus, aku belum siap menikah, kasihan anak dan istriku nanti," jelas Hwa Gi.

"Hmm … benar juga." Fumiko merasa ngeri mengingat nasib dia dan Hwa Gi karena memiliki suami yang tidak bisa bertanggung jawab.

Sedangkan Hwa Gi kembali terdiam, bagaimana jika ibunya tahu tentang pekerjaannya sekarang yang menjadi pelacur laki-laki di Bloomsbury, mungkin dia akan mati mendadak. Tapi mau bagaimana lagi, Hwa Gi tidak lulus sekolah menengah atas, tidak punya keahlian apa pun dan hidup di negeri orang. Sekarang harus menanggung biaya rumah sakit begitu besar. Pekerjaan apa lagi yang bisa menghasilkan banyak uang dengan cepat selain menjual dirinya sendiri, tapi semua belum cukup dan terpaksa Hwa Gi menerima tawaran Takada.

Hampir satu jam mereka mengobrol, akhirnya Miki pamit untuk pulang dan Hwa Gi mengantar Miki hingga sampai koridor rumah sakit. Saat di jalan Miki berkata, "Kau sungguh pandai menyembunyikan emosimu, Hwa Gi-ssi." 

"Bukan pandai, tapi sudah terbiasa. Mana mungkin aku menampakkan rasa sedih di depan Eomma, dia tidak tahu pekerjaanku apa, dia juga tidak tahu aku tidak suka wanita. Huftt  … seorang cucu ya, mungkin ini penyesalanku paling berat karena tidak pernah bisa memberikan dia seorang cucu." ucap Hwa Gi.

"Sebenarnya itu mudah saja, kau tinggal ajak salah satu wanita di Bloomsbury lalu ajak ke lantai dansa, ajojing! ajojing! bawa ke kamar lalu …. aduh!" Miki meringis karena kepalanya kembali mendapat pukulan dari Hwa Gi.

"Kalau bicara jangan suka ngelantur! ajojing kepalamu!" Hwa Gi ingin memukul Miki lagi tapi dia sempat menghindar.

Dia menjulurkan lidahnya pada Hwa Gi. "Tidak kena!" 

Miki dan Hwa Gi akhirnya sudah keluar dari rumah sakit, Miki memberhentikan taksi lalu sebelum masuk ke dalam mobil dia berucap, "Sebaiknya kamu cari makan dulu, tadi kau baru makan sedikit, kau tahu pura-pura bahagia juga butuh tenaga!" Miki segera masuk ke mobil lalu menurunkan kacanya. "Jangan lupa malam ini kita harus lakukan rencana itu, supaya kita berurusan lagi dengan dua orang gila itu." 

"Ya, itu pasti, sudah sana, hati-hati!" Ucap Hwa Gi.

Sebelum kembali ke ruangan ibunya, Hwa Gi singgah sebentar ke kantin rumah sakit, mengambil mie cup cepat saji lalu menyerahkannya pada penjaga kantin untuk diberi air panas guna menyeduh mie. Hwa Gi berjalan ke lemari pendingin mengambil sebotol air mineral.

Mie cup sudah tersedia di atas meja, Hwa Gi makan dengan khidmat, sambil makan dia teringat ucapan Miki, "Pura-pura bahagia juga butuh tenaga." 

"Yah … kau benar, berpura-pura bahagia memang melelahkan maka dari itu aku butuh banyak asupan."  Hwa Gi kembali meminum air mineral di botol. "Kau bajingan bodoh Jae Han!" gumam Hwa Gi di tengah mengunyah mienya, air mata turut turun dari pipi entah karena rasa pedas dari mie atau karena penghinaan Jae Han benar-benar yang masih terngiang di telinganya. "Uhuk! Jae Han saeggiya!" Hwa Gi sampai tersedak.
Di setiap suapan mie yang hangat terdapat kutukan untuk Jae Han si keparat.

Saat ini di hotel, Jae Han sedang menyeduh kopi dan meminumnya lalu tiba-tiba kopi tersembur dari mulut dan hidungnya, dia tersedak hebat. "Uhuk … uhuk! ah sial!" 

"Kenapa?" tanya Shin Woo yang baru keluar dari kamar mandi.

"Tidak apa-apa hanya tersedak saja tapi hidung dan tenggorokanku jadi sakit!" jelas Jae Han sambil bernapas terengah.

"Kata orang jika kau sampai tersedak begitu ada orang lain yang berbicara jelek tentang dirimu atau bahkan mengutukmu." kata Shin Woo.

"Omong kosong!" sahut Jae Han kemudian berlalu ke kamar mandi guna membasuh muka dan bajunya yang terkena cairan kopi.

Tbc












HWA GI-SSI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang