29

450 76 31
                                    

Kengerian benar-benar berakhir?

Tragedi pembunuhan yang akan menewaskan salah satu penghuni kost apa sudah benar-benar pergi sekarang?

Selepas abu hitam milik makhluk yang selama ini mendiami kamar Lex melebur hilang dari pandangan kedelapan lelaki itu, keadaan telah menjadi normal seperti awal.

Gema cekcok antara mulut dua pemuda, bola meteor bogem dari salah seorang yang menghajar temannya sendiri sampai babak belur, serta adegan pisau yang nyaris menggores leher Sing. Semuanya kembali normal.

Hanya terisi oleh mengudaranya hembus dari dalam hidung bangir masing-masing. Mereka kini disibukkan menetralkan nafas yang beberapa saat lalu sukar dipasok. Ya, tentunya alasan jelas karena penebar teror itu membuat ulah.

"Ck.Ck.Ck. Bener-bener gak ketebak, bang Gibran yang ngelakuin ini semua." Suara berat pemilik nama asli Wain Wilson, pertama kali muncul dipermukaan.

Lima pasang mata mengintimasi, pucuk kepala seorang lainnya sibuk tertunduk barangkali mencemaskan suatu hal. Kabar baru terekspos, tidak ada yang khawatir terhadap kelakuan pemuda itu.

Mereka tahu, Kim Gibransyah adalah tersangka. Mungkin oleh sebabnya tak lagi ada kepercayaan yang menyisa.

Kehadiran Sidaleo nihil memasuki lembar absen. Pasalnya, sekitar 3 menit yang lalu mereka ijin masuk kamar. Kegiatannya belum usai, masih ada hal penting yang harus dilakukan. Mengobati luka.

Leo yang paling parah. Wajah rupawannya yang mirip Raja Hutan memar sana-sini. Belum lagi keadaan tulang hidung Leo sehabis menjadi sasaran pukul Gibran.

Bitch!

Namun kemungkinan besar Sing melakukan perbaikan pada anak laki-laki itu. Didalam kamar tersimpan kotak P3K untuk menambal luka Leo dan Davin sebelum terinfeksi lebih jauh. Benar?

"Sekarang kita harus apain nih anak?" Tanya Husein seraya melempar dagu kearah Gibran agak jijik. Sudah jijik, eh, Zayyan suruh pula ia duduk persis disamping pemuda bertindik itu.

"Nyuruh bang Gibran bagiin hartanya ke kita gak sih? Secara, kan, yang rugi anak-anak kost, otomatis kekayaan dia ngalir lah." Celetuk Wain, lagi-lagi soal duit.

"Hust! Sembarangan lo." Zayyan mendopak betis Wain seraya memelototkan mata.

Budak satu ni belum dewasa betul! Apa-apa uang! Apa-apa harta! Wain gak tahu kalau gak semua bisa dibeli dengan duit? Contohnya, kepercayaan.

"Uang yang Gibran dan bokapnya punya, kan, dicari pakai cara haram Win. Gak boleh digunain buat apapun, termasuk beli wedang ronde sama botol sprite! Berani ngelawan, gue kepret lu!" Sambung lelaki muka bayi ancang-ancang hendak menampar menggunakan punggung tangannya.

"Iye-iye, tega amat ama budak keci." Wain cemberut.

"Gitu-gitu Wain tingginya masih diatas lo, loh, Yan." Bomsu. menyindir.

Husein seketika terbahak melihat dua sisi pipi Zayyan memerah, rasa malunya berada diluar batas. Wain songong menepuk-nepuk dadanya dengan bangga, terlebih saat Bomsu mendukung tulang keringya adalah yang paling panjang diantara mereka berdelapan. Ingat, Lex udah meninggal.

"Ikhlas gue." Zayyan peragakan sebagai pihak tersakiti dengan menggigit bibir bawahnya. Hal itu tak terlepas dari intaian Gibran yang membisu dipojok. Dia tertawa namun juga menahan. "Heh! Ngapak lu malah ketawa?! Diem!" Sentak Zayyan.

Gibran terperanjat disamping Husein. "Hm."

Diamnya lelaki itu membuat suasana kembali sunyi seperti diawal-awal Sidaleo meninggalkan ruang tamu.

"Btw, gue belum puas sama hasilnya," Celetuk Wain.

"Hasil apaan?"

"Itu noh!" Surai kebiruannya loncat-loncat begitu kepalanya bergerak menunjuk lantai bekas abu Lex tumpah. "Bang Lex beneran meninggal? Seorang Alexander Gunahadi yang gue kenal juara satu pararel, pinter nyanyi, jago masak, dan hampir gak punya kekurangan apapun? Huaaa ... jadi dulu yang gue bela-belain sampai nangis kejer didepan makam itu bukan makamnya bang Lai? Tapi bang Lex sendiri?"

Malang bertandang hati Wain, kesedihan tak bisa dibendung jua. Kepergian Lex bak mimpi buruk yang berubah nyata ketika sosok kodam yang selama ini Tuan Kim rawat ternyata mengkloningkan diri menyamai pemuda itu.

"Mau lo tanya itu seribu kali pun, kenyataan kalau Lex udah meninggal tetep gak bisa terbantah Wain. Gue juga belum terima Lex mati. Tapi apa boleh buat kalau ternyata Lai yang selama ini kita kenal saudaranya Lex cuma sosok tak kasat mata yang emang udah disetel sama Tuan Kim buat ngejalanin rencananya." Tukas Husein berharap gelisah lekas meninggalkan hati Wain Wilson.

"Berarti setelah bang Lex dikuburkan, Lai pura-pura jadi dia gitu?"

Sayang, pertanyaan Wain tidak ada direspon. Bahkan Zayyan yang notabene ksatria penakluk Lex jadi-jadian tapi telat bangun pun juga sama.

"Kejadian yang kalian hadapi ini juga dialami sama penghuni-penghuni kost sebelumnya." Gerakan kepala serentak jatuh pada Biang Keladi a.k.a Kim Gibransyah. Tidak picing mata yang Husein cs beri, melainkan rasa antusias.

"Udah berapa lama?" Tanya Bomsu mewakili.

Gibran menarik nafas berat dan menyanderkan punggungnya disofa dengan sendu. "Semenjak bokap gue mulai berambisi punya gelimang harta yang gak ada habis-habisnya. Semakin banyak keinginan yang bokap mau, kodamnya bakal minta bayaran yang jauh lebih besar pula."

"Berupa nyawa seseorang maksud lo?" Terka Bomsu mulai melihat keterangan meski baru remang-remang.

"Iya." Jawab Gibran. "Asal kalian tahu, gue gak pernah sekalipun setuju sama perbuatan yang bokap lakuin. Sama sekali. Tapi sewaktu gue disuruh nyari daging kelinci dan harus nyembelih sendiri, sejak saat itu, entah kenapa gue keterusan. Apa aja jenis hewan yang gue temui mati di jalan, selalu gue kubur. Mungkin itu alasan yang ngebuat banyak orang jadi salah sangka,"

Ekspresi penyesalan tergambar jelas diwajah pemuda itu. Gibran sebenarnya juga tidak menginginkan kematian mereka yang telah terenggut. Tapi bagaimana pun, seorang anak tetap kalah apabila menyerang ayahnya sendiri.

Sedikit iba menyentil hati Zayyan tatkala dilihatnya kedua tangan Gibran bergetar diatas paha. Ia mulai menunjukkan sisi lembut dengan menepuk pundak Gibran sebagai penyalur ketenangan.

"Udah." Zayyan membisik. "Intinya, mulai sekarang lo harus berusaha ngebujuk bokap lo kelarin semua perbuatannya yang keliru itu."

Gibran mendesah disertai gelengan. "Susah Yan. Bokap gue gak pernah mau denger omongan gue apalagi nyuruh dia berhenti ngelakuin kebiasaan bunuh orang gak bersalah."

"Terserah. Kita gak ikut-ikutan. Yang penting lo harus bertindak Gib!" Husein menuntut.

"Bener bang. Kalau sampai kematian penghuni kost masih terus lanjut, kalian berdua yang bertanggung jawab." Sela Wain.

"Oke, gue akan usahain ngebujuk bokap biar mau kelarin semua ini."

"Lo beruntung Gib, masalahnya nggak gue bawa sampai ke kepolisian." Husein masih nyaman mempertahankan culasnya yang berarti atas kejahatan yang Gibran telah perbuat.

Untuk kesekian kalinya, kulai lemas bahu Gibran tak dapat dihilangkan. Dia lagi-lagi hanya sanggup mendesah penuh kepasrahan.

"Btw, makasih, Yan."

Zayyan melihat tangan Bomsu hinggap didadanya, menepuk, seraya menaikkan satu alis. "Buat?"

"Karena udah nolong gue dari Lex tadi."

Mulutnya membola manyun. Zayyan lalu menarik dua sudut bibirnya melempar senyum lebar kepada pemuda itu.

"Ustadz Zayyan gitulo~"

Husein dan Wain terpingkal-pingkal saat Zayyan bergaya menggunakan pose jari telunjuk serta jempol menyangga dibawah janggut. Sok sombong aja lah, kurang lebih begitu bunyinya.

Tahu-tahu hal tersebut berimbas kepada Gibran sampai membuatnya tak kuasa menahan senyum.

"Idih! Ngapain lo senyum-senyum? Intropeksi diri sana!" Wain sewot.

PMS apa ya?

***

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu