Lava - 01

826 106 7
                                    

De Lava menghela nafas pelan, sedikit tak percaya jika dirinya bertransmigrasi. Tapi ya dia mana peduli? Asalkan hidup nyaman, dia tak apa.

"Transmigrasi? Mana peduli, yang terpenting dimanapun gue berada, gue bisa hidup tenang tanpa masalah dan bisa bermalas-malasan."ucap De Lava yang sekarang namanya berubah menjadi Lava De Gallas.

Di Kehidupan pertama, De Lava hidup seorang diri. Orang tuanya sudah meninggal sejak dia berusia dua belas tahun, mau tak mau dia harus bekerja keras untuk bertahan hidup.

De Lava meninggal karena penyakit kanker otak yang sudah stadium 4. Tak pernah sekalipun dia berobat, dalam pikirannya berobat adalah hal yang sia-sia.

Sudah jelas dia mengidap penyakit mematikan, untuk apa berusaha menyembuhkan? Toh, pada akhirnya dia akan mati. Tak ada yang perlu ditakutkan, karena pada dasarnya setiap yang bernyawa, pasti akan pergi pada waktunya.

Yang De Lava lakukan hanya pasrah, dan menjalani hidup dengan lapang dada.

Bukannya pergi ke tempat yang seharusnya, De Lava malah nyasar ke tubuh seseorang yang tidak dikenalinya.

Beruntungnya, tubuh ini meninggal sebuah ingatan yang bisa membantunya.

"Jadi, pemilik tubuh ini bernama Lava De Gallas. Sedikit mirip sama gue. Terus dia tinggal sama Abangnya, dia juga punya pengawal setia."gumam Lava sambil mengingat kembali.

Mata tajamnya menelisik setiap sudut ruangan. "Berarti ni bocah orang kaya, akhirnya gue jadi kaya raya. Gak perlu repot-repot kerja, ditambah punya babu satu. Beuh, nikmat yang gue inginkan."bibirnya menyunggingkan senyum senang.

Lava bangkit dari tempat tidur, lalu pergi ke kamar mandi.

Setalah selesai, Lava berjalan kearah kaca. Sedikit syok saat melihat tubuh yang ia tempati sangat mirip dengan dirinya di kehidupan pertama, entah itu dari tinggi badan ataupun wajah. Ah, apakah ini yang dinamakan kita mempunyai 'tujuh kembaran'?.

Baguslah, sepertinya Lava akan betah tinggal di kehidupan kedua ini.

Tok

Tok

Tok

"Tuan Muda, apa anda sudah bangun?."ucap seseorang.

Lava menyudahi acara 'mengaca' nya, dia segera membuka pintu.

Ceklek

Terlihat seorang laki-laki gagah nan tampan berdiri di pintu kamar Lava, dia bernama Nuga Anyelir.

"Selamat pagi, Tuan Muda."sapa Nuga.

"Hm."jawab Lava.

Mereka pun turun kebawah untuk sarapan. Saat sampai, terdapat sosok laki-laki tengah menunggu dirinya di meja makan.

"Lelet banget sih, lumutan nih gue nungguin lo turun."ucap Rain Orca, Abangnya si pemilik tubuh.

"Baru turun udah disemprot, ngajak berantem?."balas Lava.

Orca membelalakkan matanya saat sang Adik membalas ucapannya. "Wah udah berani lo sama gue?."

Memutar bola mata malas, Lava memilih mendiamkannya.

Nuga yang sedari tadi diam, menyuruh maid untuk menghidangkan makanan. Dia juga sedikit kaget saat Tuan Mudanya membalas perkataan Tuan Besar (Orca), tapi tak ayal dia senang.

Keadaan hening, hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar.

Beberapa menit kemudian, mereka selesai sarapan.

"Bang, gue mau pindah sekolah."celetuk Lava.

Celetuk Lava membuat pergerakan Orca yang mengeluarkan buku hitam terhenti.

Ditatapnya sang Adik penuh selidik. "Kenapa? Lo buat masalah lagi?."tanya nya.

Memang, Lava yang asli sering membuat masalah. Orca bahkan sudah jengah dengan kelakuannya.

"Hm, gue juga mau nyari situasi baru."jawab Lava sekenanya.

Orca mengangguk paham. "Boleh."

Perkataan laki-laki dihadapannya, membuat Lava berteriak senang dalam hati. Pandangan Lava pada Orca yang 'menyebalkan' tadi, sudah terpatahkan.

Namun, hal itu tak berlangsung lama, begitu Orca kembali melanjutkan perkataannya.

"Biaya daftar kurang lebih 50 juta."Orca mencatat sesuatu di buku hitam tadi.

Lava menaikkan sebelah alisnya heran, sedangkan Nuga sudah menghela nafas. "Mulai."batinnya.

"Lo hari ini makan sama ayam dan kangkung, ditambah nasi. Oh, jangan lupa jus jeruk. Untuk ayam harganya 30 ribu per potong, kangkung 15 ribu, terus jus jeruk 20 ribu. Jadi hari ini lo makan udah 65 ribu, ditambah uang buat daftar tadi."jelas Orca panjang lebar.

"Lo kudu nyari kerja, biar ga bergantung sama gue. Utang-utang lo harus segera dibayar."ucap Abang seraya terus mencatat tanpa menatap Lava.

Lava sendiri terbelalak kaget. Kenapa? Kenapa ada orang yang perhitungan terhadap sesama saudara? Baru kali ini dia melihat orang seperti Orca.

"Utang? Berapa?."gumam Lava.

Orca menutup bukunya, beralih menatap Lava. "Dari usia lo sepuluh tahun sampe sekarang, totalnya 5 miliyar. Jadi kapan mau bayarnya?."

Syok. Itulah keadaan Lava saat ini, jadi selama dia hidup, Abangnya ini selalu menghitung pengeluaran untuk kehidupannya selama ini? Dan harus membayarnya ketika ia sudah bisa menghasilkan uang?.

Sungguh Lava tak percaya ada orang seperti Orca, dia sangat perhitungan sekali.

"Bang? Jadi selama ini lo--"Lava sampai tak bisa berkata-kata saking terkejutnya.

Orca mengangguk. "Hm, mana mungkin gue mau rugi ngurusin beban kayak lo. Inget ya, semenjak Papa sama Mama meninggal waktu lo berusia sepuluh tahun, lo menjadi tanggung jawab gue. Gue ngurusin lo, nyiapin kebutuhan lo, dan lain-lain. Jadi, udah saatnya lo balas kebaikan gue dengan uang. Impas, kan?."ucapnya enteng.

Brak

Lava menggebrak meja tak terima. "Tapi Papa kan ninggalin perusahaan, itu bahkan lebih dari cukup buat ngehidupin tujuh turunan! Kenapa harus gue ganti?! Gue kan anaknya juga?!."

Bagaimana Lava bisa tau? Itu karena ingatan dari tubuh ini masih ada.

"Heh, denger ya. Perusahaan itu udah Papa warisin buat gue, jadi gue bebas ngelakuin apapun. Lo ga usah komen kalo masih mau tinggal disini!."sentak Orca.

Kemudian dia merogoh saku jasnya, dan mengeluarkan sejumlah uang. "Nih, uang jajan lo. Ini juga bakal gue hitung."lanjutnya, Orca membereskan peralatannya, lalu melenggang pergi.

Meninggalkan Lava yang terbakar emosi. "SIALAN LO ORCA! BAGAIMANA BISA LO PERHITUNGAN SAMA ADEK SENDIRI! DASAR PAUS PEMBUNUH!."

Nuga mengelus punggung Lava dan berkata. "Sabar Tuan."

"Gimana gue bisa sabar! Tuh orang udah keterlaluan, masa sama gue dia begitu?! Apalagi cuma makan ayam sama kangkung, harganya 65 ribu, bangsul emang! Mana dia bilang gue punya utang 5 miliar lagi! GILA BANGET!."dada Lava naik turun karena emosi.

"Hancur sudah hidup nyaman nan damai yang gue impikan, percuma juga kaya tapi banyak hutang. Ini baru hari pertama, tapi udah bikin gue pusing."batin nya. Bahu Lava meluruh, tak ada lagi senyuman di bibirnya. Badannya pun lemas tak bertenaga.

Nuga kasihan melihat Lava, dia juga kesal dengan sikap Orca. "Sabar, Tuan."

"Sialan. Abang pemilik tubuh ini benar-benar pelit, gue sumpahin kuburannya sempit."gerutu Lava dengan nada kecil, sehingga Nuga tak dapat mendengarnya.

Lava De GallasWhere stories live. Discover now