"Ya?" Lelaki itu menyahut pelan. Mereka bersandar di pagar pembatas, memandang langit sore yang penuh dengan warna.

"Apa kau punya sesuatu yang sangat kau inginkan?"

Huh? Nagi tidak pernah mendamba sesuatu. Bila ada hal yang ingin ia lakukan sekarang, paling-paling itu adalah ponsel dan gim di dalamnya.

"Aku ingin memegang ponselku lagi," jawabnya, "aku rindu bermain gim."

"Kalau aku mengajakmu bermain gim dengan game console, apa kau akan tetap senang?"

Sepasang manik kelabu terbelalak. Selama ini ia hanya bermain gim dengan gawai seadanya. Bila diberi kesempatan untuk bermain dengan alat khusus, tidak ada alasan untuk menolak.

"Tentu saja."

Senyum lebar menghiasi wajah sosok berambut ungu.

"Kalau begitu temani aku bermain."

"Oke."

;

Kalau dipikir-pikir, pekerjaan ini terasa aneh. Untuk Nagi sendiri, rebahan di dalam kamar adalah sebuah passion. Tapi tidak sedikit orang yang mengejek atau menyuruhnya keluar sesekali. Isagi salah satunya. Setiap mengantar makanan, ia selalu memberi pesan untuk tetap berhubungan dengan dunia luar.

Tapi Mikage Reo, orang kaya ini tidak pernah melakukannya.

Manusia zaman sekarang tidak akan bisa bertahan tanpa memegang ponsel. Namun orang ini tidak pernah. Ia selalu menghabiskan hari dengan berdiam diri tanpa agenda, memandang langit dengan tatapan kosong. Ia bahkan tidak pernah beranjak dari mansion.

Atau mungkin tidak diperbolehkan melakukannya?

Nagi termenung di tengah pertandingan kesekian dan membiarkan Reo unggul. Mereka selalu bermain gim di waktu luang. Biasanya tuan muda akan menyeret Nagi setelah waktu makan malam.

Lelaki berambut putih itu cukup ahli bermain. Namun karena sedang sibuk berpikir, nyawanya di dalam monitor sekarang berada di ujung tanduk.

"Kenapa kau tidak membalas seranganku?" protes lelaki bersurai ungu sembari terus menerus menghunus pedang dengan joy sticknya.

"Aku mulai berpikir," balas Nagi sambil memasang perisai pada karakternya, "apa kau itu sedang dikurung?"

Reo mendadak diam. Ketika Nagi menyerang hingga nyawanya tersisa setengah, tidak ada balasan.

Apa Nagi baru saja mengatakan hal buruk?

Mungkin iya. Karena setelahnya monitor dimatikan paksa—oleh lemparan joy stick. Kacanya pecah dan berserakan di lantai.

Entah apa yang sekarang meliputi pikiran sang tuan muda. Nagi tidak tahu. Nagi juga tidak bisa menebak.

"Jangan panggil siapa-siapa," mohon Reo sembari menjambak rambutnya sendiri.

"Hei—,"

"Jangan panggil siapa-siapa," lirihnya pilu.

Hanya satu jawaban yang bisa menjelaskan perilaku tiba-tiba ini. Mungkin sang tuan muda baru saja mengingat sesuatu soal kurung-mengurung. Dan itu pasti menyakitkan.

Sungguh menyakitkan hingga ia tidak peduli akan rasa perih ketika mengambil pecahan kaca dan menyayat kulit tangannya sendiri.

Buru-buru Nagi mencengkram pergelangan lelaki itu. Ia memberontak, namun kemudian ditahan kuat-kuat. Si surai putih langsung memeluk tubuh Reo dengan erat. Pecahan kaca direbut lalu dibuang ke lantai.

Darah mengalir dari luka yang terbuka, sementara tangis ikut turun membasahi pipi. Napas Reo terasa berat dalam rengkuh, begitupun tubuhnya yang tengah gemetar hebat.

Nagi berpikir cepat untuk melakukan pertolongan pertama. Ia tidak diizinkan untuk menekan batu cincin dan memanggil siapapun. Untuk itu ia merobek kemejanya sendiri, mengikatkan kain putih kuat-kuat pada luka di tangan.

Darah merembes, membasahi, mewarnai kain hingga berubah merah. Namun lama-lama berhenti. Pula gemetar di tubuh lelaki itu dan napas beratnya. Nagi memeluk sepanjang sisa hari, membisikkan apapun ke telinga Mikage Reo. Apapun yang ia pikirkan. Apapun yang ia rasa bisa membuatnya tenang.

Nagi ingin sang tuan muda tetap baik-baik saja.

"Aku tidak akan memanggil siapa-siapa," bisiknya sambil memeluk lebih erat, mendorong Reo untuk bersandar di ceruk leher.

"Kau bisa menangis sepuasmu."

;

Ia berbohong. Pada akhirnya Nagi tetap menekan batu cincin selepas Reo terlelap di atas ranjang. Mereka sebelumnya bermain dalam kamar sang tuan muda. Jadi tidak sulit untuk mengangkat tubuhnya.

Dokter keluarga yang datang tergopoh-gopoh dan memeriksa kondisi Reo. Orang-orang lain membereskan kekacauan di kamar itu. Nagi berkutat dengan perban bersama kepala pelayan di bangsal. Ia tidak sadar telapak tangannya terluka ketika merebut pecahan kaca.

"Kenapa kau tidak langsung memanggil kami?" interogasi nenek sihir itu dengan nada geram.

Nagi tidak punya alasan lain. "Tuan muda menyuruhku untuk tidak memanggil siapapun."

"Dia selalu semaunya sendiri. Jangan menelan perkataan Tuan Muda Mikage Reo mentah-mentah," ceramah si wanita, "tetap di sini sampai telepon berdering. Pintunya akan kukunci dari luar."

Lelaki bersurai putih mendongak terkejut.

"Anggaplah ini hukuman karena membiarkan tuan muda terluka," ucap si nenek sihir sembari berjalan keluar kamar Nagi.

Apa semua orang di sini memang suka mengurung?

;

To be continued

会いたい (I want to meet you) | nagireoWhere stories live. Discover now