15. Titip

3 1 0
                                    

Happy reading!

***

Hari ini aku mengikuti ekstrakurikuler basket. Dalam artian pulang sore. Kami tengah melakukan pemanasan sebelum pertandingan mingguan. Setiap hari Rabu akan diadakan pertandingan untuk menguji kemampuan peserta. Sudah dibagi dua tim yang dipilih secara acak, yaitu; tim singa dan harimau. Aku mendapatkan tim harimau yang dikapteni oleh Leo. Sedangkan, Raffi dan Raffi di tim lawan yang dikapteni Basri.

"Semangat Kak Leon!"

"Kami ada untukmu!"

"Kak Leo!"

Terdengar beberapa teriakan dari kursi penonton. Itu adalah hal biasa karena apapun yang dilakukan oleh Leo pasti ada saja cewek-cewek yang meneriaki namanya. Menurut mereka Leo itu paket komplit; tampan, badan bagus, multitalenta dan masih banyak lagi.

Guru pelatih sudah siap dengan posisi wasit. Pertandingan pun di mulai. Suara-suara penggemar Leo semakin menjadi saat pria itu sudah memegang bola. Pertandingan terus berlanjut tanpa sedikitpun berkurang kericuhannya. Berjalan cukup sengit tampaknya kedua tim tidak ada yang mau mengalah.

"Beno!"

Aku yang sedang di posisi small forward harus menghadapi Bakti di dekat ring. Dia mengukungku. Aku mempertahankan bola dengan men-dribble bola. Mataku tertuju ke Leo yang memberi kode untuk langsung lempar ke ring. Namun, masalah aku kurang percaya diri untuk itu. Sudahlah, akhirnya aku menurut dan melakukan shooting sebisaku. Aku harus melompat sekuat tenaga hingga bajuku tersingkap ke atas, menampakan perutku. Bola berhasil masuk ke ring. Tim kami mencetak poin. Bahagia, 1-0 untuk tim kami. Kami melakukan selebrasi asal-asalan.  

"Itu siapa di tim Kak Leo?" Aku mencuri dengar dari kursi penonton yang seluruhnya perempuan.

"Gak tau. Dia emang ikut klub voli tapi gak tau kelas berapa," respons yang lain.

Ini membuktikan kalau aku sangat tidak terkenal. Mungkin jika aku tidak melakukan shooting selamanya mereka tidak melirikku. Namun, itu lebih baik dari perhatian yang berlebihan.

Kami diberi waktu 10 menit untuk beristirahat sebelum pertandingan selanjutnya di mulai. Aku memilih duduk di kursi panjang di pinggir tribun. Ini artinya lebih artinya

"Kamu liat gak tadi badannya putih mulus," suara dari salah satu mereka.

"Aku malah fokus ke mukanya yang keringatan. Ada aura-aura bintang gitu."

"Rambutnya itu lho!"

"Kayaknya dia itu blasteran deh. Kayak keturunan Belanda gitu."

Aku tidak tahu ternyata aku sekeren itu. Namun, aku tidak terlalu menyukai pujian semacam itu. Pada akhirnya jika mereka menemukan kekuranganku mereka akan berbondong-bondong merundungku. Jadi, tetap terlihat biasa saja, jangan menonjolkan. Tadi itu terjadi secara alami tanpa pemanis.

Seseorang menepukku. Saat kutoleh ke samping ternyata dia adalah pelatih. Ini tidak biasa. Pria dewasa itu sebelum-sebelumnya tak menyapaku duluan. "Saya enggak menyangka kamu memiliki kemampuan," katanya duduk di sampingku.

"Awalnya saya enggak terlalu memperhatikan kamu. Saya pikir kamu masuk cuma sekedar ikut-ikutan temen. Nama kamu siapa?"

Sudah satu semester ikut ekstrakurikuler tapi si pelatih tidak tahu namaku. Tak apa itu wajar. Selama sekolah aku tidak pernah menonjol atau mencuri perhatian. Seperti hanya ikut berbaris panjang, bertepuk untuk meramaikan saja. Aku lebih nyaman seperti itu.

"Beno, Coach!"

"Bagaimana kalau kamu masuk tim inti untuk turnamen nanti?"

Aku langsung menoleh ke arahnya. "Jangan terlalu cepat memutuskan, Coach. Mungkin aja yang tadi cuma kebetulan dan saya gak ada apa-apanya. Benar kata Coach tadi saya masuk ke ekskul basket karena ikut teman."

This is Beno [ #02 ]Where stories live. Discover now