22. (Masa Lalu) Menginap

Começar do início
                                    

"Dia bukan ibuku!" teriak Shin Woo.

"Ya, dia memang bukan ibumu, tapi tidak sepantasnya kau bicara begitu pada ibuku!" tiba-tiba Jae Han datang dan ikut berteriak di ambang pintu lalu berjalan cepat ke arah Shin Woo.

"Jae Han, hentikan," ucap Choon Hee berusaha menahan Jae Han.

Ketegangan memenuhi ruangan ketika dua orang yang tak ada kaitan darah harus tinggal serumah dan terpaksa menjadi adik kakak karena ikatan perkawinan kedua orang tua dan entah dari mana rasa benci di antara mereka menjalar semakin kuat seiring berjalannya waktu.

"Memangnya aku salah hah? dia memang bukan ibuku!" Mata Shin Woo memandang nyalang menantang pada Jae Han.

"Shin Woo, cukup! dia memang bukan ibu kandungmu tapi yang dikatakan Jae Han memang benar tidak sepantasnya kau berkata kasar seperti itu padanya." tegas In Wook panjang lebar.

Bukannya tambah tenang, hati Shin Woo semakin terbakar amarah menurutnya ayahnya itu selalu membela Jae Han si berandal itu. "Ya! aku yang salah dan Jae Han yang benar, kalian semua sama saja, menyebalkan." Shin Woo berjalan gusar dan sengaja menabrakkan bahunya pada Jae Han. 

Jae Han pun mundur beberapa langkah dia ingin melawan tapi melihat ibunya yang menggeleng pelan dia urung melakukannya.

"Shin Woo kau mau kemana?" tanya Choon Hee khawatir.

Shin Woo tidak menjawab dia melenggang pergi keluar dari rumah mewah namun bak neraka baginya.

"Sudah biarkan saja dia," ucap In Wook.

"Tapi dia … aku khawatir dia pergi dengan keadaan marah, ini tidak baik, Jae Han ku harus menyusulnya." pinta Choon Hee pada putranya

Shin Woo menghidupkan motor dan melanju kencang keluar dari halaman besar keluarga Go. Dia dengan emosi yang meluap melaju di jalan raya tak tentu arah, "Shibal! Saekkiaaaa!" pekik Shin Woo namun suaranya teredam oleh helm yang terpasang.

***

Pukul 10 malam Hwa Gi sudah selesai dengan tugasnya bekerja di toserba, saat ini dia berjalan santai untuk pulang dan di tangannya terdapat kantong kresek berisi mie cup yang hampir kadaluarsa, menurut tanggal yang tertera tiga hari lagi mie cup ini akan kadaluarsa dan itu dia dapatkan gratis dari toko. Menurut Hwa Gi dari pada terbuang sia-sia lebih baik mie ini masuk ke perutnya. Perutnya ini sudah tahan banting jadi tidak perlu takut pada mie yang hampir kadaluarsa.

Saat asyik memilih-milih mie rasa apa yang akan dimakan ketika tiba di rumah, Hwa Gi terkejut saat seseorang memanggil namanya.

"Hwa Gi!" 

"Kamchagiya! (astagaaa)" Hwa Gi terkejut bukan main, jantungnya terasa melompat dari tempatnya.

Orang itu berdiri di bawah lampu jalanan yang kadang mati kadang hidup mungkin telah terjadi konsleting pada lampu sehingga dia tidak nampak jelas melihat wajahnya. Jarak Hwa Gi dan orang itu hampir seratus meter dan perawakannya agak familiar bagi Hwa Gi, tapi karena insiden pencegatan tadi siang, dia merasa sedikit takut untuk mendekat.

"Si … siapa?" tanya Hwa Gi sedikit gagap. Dia siap mengambil langkah seribu jika orang di depannya ini lari dan menangkapnya.

"Aku Shin Woo." sahut orang itu, dia semakin berjalan mendekat dan raut wajahnya juga mulai terlihat. Shin Woo masih mengenakan seragam yang sama saat tadi siang dan dia terlihat berantakan.

"Shin Wo-ssi? apa yang kau lakukan di sini?" Hwa gi tanpa ragu berjalan mendekat.

"Entahlah, aku tiba-tiba ingin ke sini." Shin Woo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal merasa salah tingkah, dia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba motornya bisa singgah ke sini. 

Melihat tampilan Shin Woo yang kacau dan berkeliaran di jalan, Hwa Gi tahu pasti ada yang tidak beres terjadi pada Shin Woo, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh.

"Hwa Gi apa boleh malam ini aku menginap di rumahmu?" tanya Shin Woo tanpa basa-basi. Sebenarnya dia bisa saja menyewa kamar hotel untuk bermalam tapi sekarang Shin Woo bukan hanya butuh tempat untuk tidur tapi juga butuh seorang teman.

Hwa Gi melongo. "A-apa? kau mau menginap di rumahku?"

"Tidak boleh ya? yasudah tidak apa-apa." Shin Woo segera berbalik untuk menuju motornya.

"Tidak, bukan begitu hanya saja kita tidak bisa lewat jalan gang ini jika membawa motor, jadi kita harus lewat jalan memutar untuk membawa motor ini ke rumahku," jelas Hwa Gi.

Kendaraan tidak bisa melewati jalan yang biasa Hwa Gi tempuh setiap hari selain sempit itu juga karena struktur tanah yang menanjak dengan beberapa anak tangga, tapi jika melewati jalan ini dengan jalan kaki akan lebih cepat tiba ke jalan raya.

"Benarkah? kalau begitu ayo naik," perintah Shin Woo.

Hwa Gi menuruti saja dan setelah lima belas menit berkendara mengambil jalan memutar, akhirnya mereka tiba di rumah sederhana milik Hwa Gi. Dia bersyukur karena ayahnya tidak ada malam ini jadi dia bisa langsung membawa masuk Shin Woo ke rumahnya.

"Maaf, tapi rumahku kecil," ucap Hwa Gi saat membuka pintu rumahnya. 

Rumah Hwa Gi memang kecil, tapi terbilang rapi dan bersih. Ada dua kamar dan ruang tamu yang bisa berubah fungsi menjadi ruang makan, tidak ada sofa, hanya ada meja rendah yang pastinya digunakan saat makan dan di lantai tergelar karpet berbulu hangat yang nyaman. Di sudut juga ada sebuah televisi berukuran sedang tertempel di dinding dan letaknya juga tidak terlalu tinggi. 

Shin Woo langsung berbaring di karpet berbulu hangat, "Ah, ini nyaman," ucap Shin Woo, ternyata pergi ke rumah Hwa Gi adalah keputusan yang tepat, otaknya terasa lebih fresh dengan suasana yang baru ini.

"Emm … Shin Woo aku ingin mandi dulu, kau istirahat saja, kalau mau sesuatu, dapur ada di sana dan lemari pendingin juga ada di sana," tunjuk Hwa Gi pada ruang paling ujung dan itu terhalang oleh dinding tembok, pintunya pun unik tak ada daun pintunya.

Sebelum Hwa Gi pergi mandi dia masih sempat meletakkan kipas angin di dekat Shin Woo sambil tertawa hambar dia berkata," Mianhae, rumahku tidak memiliki AC hanya ada ini hehe."

"Tidak apa, lagipula ini musim dingin. AC juga tidak berguna di cuaca seperti ini." 

"Iya benar juga." Hwa Gi lantas ingin pergi ke kamar mandi.

"Apa kau tinggal sendiri?" tanya Shin Woo.

"Tidak, aku tinggal bersama ayahku, tapi mungkin malam ini dia tidak pulang karena pekerjaan." Hwa Gi jelas saja berbohong, padahal dia juga tidak tahu ayahnya ada di mana dan apa yang sedang ayahnya lakukan. Tapi kemungkinan besar ayahnya sedang mabuk dan bersenang-senang dengan wanita bayaran.

Setelah Hwa Gi mandi, Shin Woo juga membersihkan diri dan sekarang dia memakai hoodie dan celana milik ayah Hwa Gi itu karena size pakain Hwa Gi tidak cocok untuk Shin Woo, terlalu sempit.

Hwa Gi dan Shin Woo kini duduk menonton TV sembari makan malam dengan mie cup yang dibawa Hwa Gi dari toserba. Hwa Gi tak ada persiapan untuk menyambut tamu secara tiba-tiba.

Shin Woo sesekali mengganti channel TV dan berakhir pada acara tentang hewan-hewan langka. Narator di televisi menyebutkan hewan bernama Jakal. Shin Woo semakin fokus pada gambar yang menayangkan hewan yang disebut Jakal itu. 

"Eh, Jakal mirip seperti serigala tapi tubuhnya seperti anjing ya?" gumam Hwa Gi, sambil memakan mienya.

"Apa hewan ini ada di Korea? aku jadi ingin melihatnya secara langsung," celetuk Shin Woo.

"Mungkin ada, di kebun binatang, entah lah, aku juga tidak tahu." Hwa Gi mengedikkan bahunya.

"Bagaimana kalau besok kita pergi?" Shin Woo menatap Hwa Gi dengan mata yang berbinar.

"Pe - pergi kemana?"

"Kebun binatang atau taman hiburan," usul Shin Woo.

Hwa Gi tercengang. "Kenapa seperti anak TK? Yak! apa kau ingin bolos sekolah?" 

"Huh, aku malas sekolah." Shin Woo meletakkan remotnya lalu berbaring di karpet berbulu dengan wajah cemberut.

TBC
















HWA GI-SSI (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora