“Terserah lo!” Pasrah seorang lion dari hongkong.

Nyengir kuda, Sing tanpa babibu membongkar dengan sadis kotak yang ia temukan untuk melihat apa isi didalamnya.

“KAMVRED! ISINYA TANAH BAU KUBURAN MASA’?!”

***


Hari libur bertandang kembali, menuai warna-warni bagi pelajar karena mereka tidak dibebani tugas seperti biasa, mahasiswa kupu-kupu yang lebih bahagia karena bisa kabur kelas, serta pengangguran macam Husein yang berbaring seharian tanpa makan minum serta mandi.

Mungkin di sini tersisa Lex yang membenci holiday. Secara anak laki-laki itu gemar beraktivitas, maka hari minggu berarti ancaman dan gangguan yang seharusnya dibasmi segera.

Tetapi kali ini sekeluarga cemara kos ayahanda Kim Gibransyah menjadwalkan berkumpul bersama di dapur. Tepatnya ada di ruang lenggang yang bisa dimanfaatkan sebagai pertemukan perdana ketujuh pemuda.

Acara disaksikan oleh cicak yang terisolasi di dinding sebab nyamuk belum bersedia menyerahkan diri sepenuhnya untuk dilahap. Husein sebagai tertua dan orang paling berpengaruh adanya perubahan menempati tikar lesehan awal-awal sembari menunggu anak itiknya datang.

Terhitung dua menit saja, kaula anggota kos ayahanda Kim Gibransyah berbondong memenuhi sisi tikar yang masih kosong. Yang datang terakhir tidak usah susah-susah menebak, pastilah pangeran mahkota Lex.

“Widiuy! Berasa arisan bu ibu.” Kekeh Wain sembari menempatkan bokongnya ditempat yang tersedia. “Btw, ada apa nih, bang, ngajakin kita kumpul pagi-pagi begini?”

Husein menunggu yang lainnya duduk dengan nyaman, lalu baru lah ia menjawab kebingungan Wain.

“Sebelum gue hengkang dari kos, gue bisa aja stay di sini asal kita harus berunding dulu tentang pelaku penebar teror itu,”

Bomsu langsung menjelikan matanya. “Maksud lo?”

Aneh aja gitu, masih pagi, belum sadar penuh, berak juga belum keluar, eh Husein udah bahas masalah teror. Bomsu seketika jatuh mules.

“Kemarin sing dapet kiriman lagi, tanah kuburan---“

“Dari mana lo tahu kalau itu dari makam?” Wain menyerobot.

Wow!

Dan saat itu pula semua kepala merubah ekspresinya lebih datar dan serius dalam menghadapi pembicaraan tersebut.

“Baunya.” Ucap Husein. “Paket itu masih disimpan sing sampai sekarang. Menolak percaya? Leo bisa tolong ambilin?” Dia menyuruh sang terkecil membawakan kotak paket yang dimaksud tadi. Leo dengan patuh lantas berdiri menuju kamarnya.

“GILAAA!” Wain berdecak.

“Aneh gak sih? Kita gak pernah, tuh, berulah macam-macam selama tinggal di sini. Tapi kenapa teror yang muncul dari kapan? Entah, bisa datang terus?” Selorong Bomsu mulai membuat argumen lain yang bisa memperpanjang obrolan mereka.

“Kita bisa tanya bang Lex, bang.” Leo berjalan santai dan menyela, tangannya menggenggam sebuah kotak kecil seperti kubus berukuran super mini.

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Where stories live. Discover now