Bab 19

3.6K 844 78
                                    

Bab 19

Inka gelisah dalam tidurnya, meski dia tahu, dia tidak boleh membuat gerak berlebihan. Inka hanya tidur dua jam, saat alarm yang sengaja di setelnya bergetar. Begitu mendapatkan getaran pertama, Inka langsung tersentak bangun. Dia hanya mencuci muka cepat, sebelum keluar, dan mendapati Arya tidur di sofa dengan begitu pulas.
Pukul setengah lima, dan Inka bingung harus bagaimana membangunkan Arya. Arya harus bangun dan mengambil pakaiannya, jika Ibunya bangun lebih dulu dan melihat Arya masuk ke kamar itu, maka Ibunya akan curiga. Sementara… Inka tak mungkin berani memasuki kamar Arya, meski hanya sekadar menyiapkan pakaian suaminya.

Inka menundukkan tubuhnya. “Mas…” cicit Inka dengan begitu pelan, dan jelas Arya bergerak sedikit pun.

Napas Inka terembus panjang, dia berjongkok di dekat telinga Arya. “Mas…” kali ini suaranya lebih keras, namun tetap tak ada pergerakan.

Tangan Inka tergantung di udara. Ingin menyentuh pundak Arya, tetapi justru membeku, sebab matanya tak teralih dari bibir tipis dan berlekuk itu, matanya naik lagi menyorot hidung runcing Arya. Perasaan aneh berkecamuk di dada Inka.

Baik, sopan, tampan, adalah kata-kata yang menggambarkan seorang Arya, namun setiap manusia tidaklah sempurna. Bagaimana jika kekurangannya adalah tentang yang satu itu? Inka tersenyum kecut, tak tahu kenapa dia belum juga berhasil meredam kesedihannya, meski logikanya telah mencoba meyakinkan banyak hal.

“Mas…” ucap Inka lagi.

Arya tersentak, keningnya berkerut dengan mata masih menyipit khas orang bangun tidur. Hal yang sungguh tak biasa mendapati Inka membangunkannya, dan perlahan dengan kesadaran penuh Arya tahu dia tidur di sofa.

“Kenapa?” tanya Arya dengan suara serak. “Jam berapa sekarang?”

“Jam 5,” sahut Inka dengan begitu pelan.

Arya menatap langit-langit sebentar, untuk kembali menoleh, masih mendapati Inka berjongkok tak jauh darinya, dan dia merasa hatinya penuh pagi ini.

“Um. Mungkin… Mas bisa ambil baju Mas dulu sebelum Ibu bangun.”
Arya perlahan bangkit dan terduduk sebentar sebelum berjalan menuju kamarnya. 

Inka berdiri sembari mengusap-usap tangannya yang basah ke pahanya, dia merasa bersalah karena Arya jadi tak nyaman di apartemennya sendiri.
Inka ragu-ragu menatap Arya yang keluar dengan pakaian di tangannya lalu menuju kamar mandi tamu. Dia tak henti menggigit bibir bawahnya, sepanjang langkah menuju pantry, untuk memasak nasi dan menyiapkan sarapan.

Jantung Inka terlonjak, ketika Arya muncul dan mengambil gelas.
“Ibu pagi minum teh?”

Inka melebarkan bola matanya. “Um… iya Mas. Tapi nanti aja aku bikin,” sahut Inka ketika melihat Arya mengambil kantung teh. “Takutnya dingin.”
Arya menaikkan alis, seperti menyetujui ucapan Inka.

“Kamu?”

“Hah?”

“Kamu pagi juga minum teh?”

“Kadang-kadang.”

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mengambil toples kopi.
Inka bergerak salah tingkah. Dia hanya perlu memastikan telurnya tidak gosong sementara Arya terus berada di sekitarnya. Sulit menghentikan perutnya yang melilit dan matanya yang berkhianat dengan terus-menerus mencuri pandang. 

“Udah pada bangun?”

Ucapan itu membuat Arya dan Inka menoleh.

“Pagi Bu,” ucap Arya dengan santainya.
Sementara perut Inka semakin membuat ulah. 

Arya meletakkan kopi panasnya di atas meja pantry, dan Inka melirik suaminya itu membuat satu lagi gelas teh. Inka ingin menyela, namun dia tak bisa berkutik karena Ibunya berada di dekat mereka.

Let it be LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang