Bab 12

4.5K 891 100
                                    

"Pak—" Arya mengerutkan alis mengantisipasi pertanyaan Inka. "Um, M-mas. memberitahukan semua yang... bapak ketahui ke Pak Ibnu?"

Tatapan Arya melembut ketika Inka ingat mengubah panggilannya. "Tidak."

Namun, jawaban Arya sepertinya tetap belum membuat Inka tenang, wanita itu seperti masih menahan langkahnya. Mereka hendak menuju ke mobil. Arya menolak secara halus tawaran Mamanya agar mereka tetap tinggal sampai makan siang, dengan alasan banyak hal lain yang harus Arya kerjakan.

"Sampai kapan?" sela Inka lagi. Dan Arya kembali menoleh. "Sampai kapan... kita harus berpura-pura menjadi suami istri?"

Arya tertegun. Dia dipaksa untuk terus mengingat tujuannya membawa Inka ke sini, dan bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah untuk segera berpisah kelak.

"Minimal—setahun. Orang tuaku, harus percaya kita pasangan sungguhan."

Inka menyorot lurus, tidak membantah, kilatan di matanya seolah mengatakan jika dia harus menuruti perkataan Arya agar semua aman.

Sementara, Arya justru segera menarik matanya, bukankah seharusnya dia bertindak begitu meyakinkan? Arya hanya ragu, dia bertindak di luar dari logika. Jika waktu setahun yang dikatakannya, hanya untuk mengada-ada, meski dari sudut hatinya dia merasa perlu untuk tinggal dan mengenal Inka lebih lama.

Inka tersentak ketika Arya membuka pintu mobil untuknya. Inka masuk dengan wajah linglung dan serba bingung.

Inka kembali melamun, sebab dia memikirkan... apa ini artinya dia berhasil sedikit membuka pintu jalan keluar? Tanpa ada halangan lainnya? Tidak. Inka tidak bisa menyimpan harapan-harapan tak pasti.

"Besok kita cari kontrakan."

Bahu Inka kembali menegang dan menoleh.

"Kamu harus segera mendapatkan tempat tinggal yang baru," imbuh Arya.

Bibir Inka setengah terbuka. Inka terbiasa mengurus segala sesuatunya untuk orang lain, tetapi dia tidak pernah mendapati seseorang yang... memastikan sesuatu berjalan lancar untuknya. Terlebih dia mendapatkannya dari seorang Arya putra Ibnu Anggoro?

Inka sulit bernapas, segala ucapan dan perbuatan Arya mampu membuat seorang wanita melayang pastinya, akan tetapi, bagi Inka, dia harus mempersiapkan diri untuk sisi buruk lainnya, dan itu semakin membuatnya gelisah. Memikirkan, berbagai alasan paling tepat mengapa Arya harus sampai seperti ini?

"K-kenapa terburu-buru?"

Arya membalas dengan ekspresi lebih heran.

"Pernikahan kita seminggu lagi, dan di saat itu, kita tidak lagi direpotkan dengan urusan tempat tinggal. Lagipula, saya punya banyak pekerjaan lain yang harus diurus. Jadi, kita selesaikan lebih dulu yang perlu kita selesaikan."

Inka mengerjap, ingin menampar pipinya sendiri. Apa yang dipikirkannya? Sudah jelas, seorang Arya Satya Anggoro punya banyak agenda dalam hidupnya.

Inka menyandarkan punggungnya yang kaku ke jok, dan langsung memandang lurus ke depan begitu mobil bergerak.

"Kamu sudah menghubungi Ibumu?"

Tidak ada ketenangan dalam diri Inka barang sedetik. Dia kembali melirik tegang.

Arya balas melirik, dilihat dari ekspresi Inka sepertinya dia tidak ingin Arya membahas Ibunya?

"Ibumu baik-baik saja kan?" tetapi, dalam diri Arya bereaksi. Dia sama sekali tak bisa melupakan kejadian kemarin. Bagaimana Ibu Inka begitu rapuh serta bertahan. Bagaimana mata itu berkilat takut juga nekat. Yang lebih Arya ingat adalah, permintaannya untuk menjaga Inka, hal itu membuat darah Arya berdesir.

Let it be LoveWhere stories live. Discover now