3. Sampai Jumpa

Mulai dari awal
                                    

Di televisi itu sangat jelas sekali wajah tangis gadis yang baru saja diceritakan Artha ke Ibunya. Gadis yang disuruh Vina untuk diajak ke rumahnya.

***

Vanya melewati koridor rumah sakit dengan cepat. Melangkah melewati beberapa orang yang hampir ia tabrak. Artha mengikuti dibelakang berharap mereka akan cepat sampai di tujuan.

"Van hati-hati! Lo hampir nabrak pasien disini," ujar Artha menarik tangan Vanya.

Vanya menghempaskan tangan Artha, "gue ga punya banyak waktu!"

"Bukan cuman lo yang khawatir sama Aira Van, gue juga! Jadi please hati-hati atau lo akan lebih lama ketemu Aira," jelas Artha membuat Vanya diam mengerti.

Kali ini langkah Vanya lebih hati-hati. Artha benar dan ia tak ingin lebih lama lagi untuk bisa bertemu Aira.

"Lagian ni rumah sakit kenapa gede banget dah," dengus Vanya kesal.

"Aira pasti gapapa kan Ar," ucap Vanya menoleh ke Artha.

Artha menganggukan kepala, "semoga ya."

Di ujung koridor rumah sakit terlihat seorang gadis yang sedang duduk termenung dengan tatapan kosong. Dunianya kali ini benar-benar runtuh tak ada lagi harapan apapun untuk dia hidup.

Aira melihat sendiri bagaimana ibunya menatap dengan penuh benci. Aira melihat sendiri bagaimana ibunya ingin sekali ia tak ada di dunia ini. Aira juga penyebab ayahnya harus terbaring lemah di rumah sakit dan membuat ibunya harus mendekam di penjara. Lalu untuk apalagi ia hidup?

Tangan Aira merogoh saku celananya. Mengambil cutter yang entah sejak kapan ada disana. Aira mengarahkan cutter itu ke nadi tangan kirinya. Bayang-bayang ringisan ayahnya akibat tusukan gunting Firda demi melindungi dirinya kembali terputar.

Cutter itu mengiris indah pergelangan tangan Aira. Darah mengalir segar membuat Aira merasa lega. Lega akibat rasa sakit bukannya tak akan bertahan lama?

"LO UDAH GILA AIRA!" pekik Vanya melihat Aira mengiris pergelangan tangannya.

Vanya mengambil cutter tersebut lalu melemparnya asal. Sedangkan Artha kaget melihat Aira sehancur itu sekarang.

"Gue udah ga mau hidup Van!" ujar Aira menahan sesak di dadanya.

Vanya menggelengkan kepala, "Engga Ra, lo ga boleh ngomong gitu."

"Gue yang bikin keluarga gue hancur, terus untuk apa gue hidup!" ucap Aira menatap kosong pandangannya.

"Untuk apa Van? Kasih gue alasan untuk apa gue hidup!" bentak Aira frustasi.

"Untuk gue yang sayang sama lo Aira!" ucap Artha membuat Aira terdiam seketika.

"Untuk Vanya yang juga sayang sama lo," lanjut Artha.

"Seenggaknya kalau lo ga bisa bertahan buat diri lo sendiri, please bertahan buat orang-orang yang sayang lo," ucap Artha lalu membalut luka tangan Aira.

"Jangan pergi Aira," ucap Vanya sembari mendekap Aira.

Tiba-tiba dokter keluar dengan tatapan gelisah membuat Aira, Artha dan Vanya langsung menghampirinya. 

"Kondisi ayahmu saat ini sedang mengalami kritis Aira, kami akan berusaha semaksimal mungkin agar ayahmu bisa melewati fase kritisnya."

Djuarr

Kaki Aira tak sanggup lagi menahan tubuhnya. "Ya Tuhan apalagi ini."

"Saya tahu ini kondisi yang berat untuk mu. Tapi lebih baik kamu banyak-banyak berdoa untuk kesembuhan ayahmu."

"Terima kasih dok," ucap Artha lalu menuntun Aira agar segera duduk.

"Ayah lo pasti sembuh Ra," ucap Vanya menyakinkan.

***

"Lo mau pesen apa Ra?" tanya Artha ketika mereka sedang berada di kantin rumah sakit. Butuh waktu beberapa jam untuk membujuk Aira agar mau diajak makan. Harus Artha katakan jika Vanya adalah pembujuk yang handal sehingga membuat Aira yang mempunyai sisi keras kepala sangat tinggi  bisa luluh.

"Apa aja."

"Gue pesenin nasi goreng mau? lo pasti belum makan kan," tanya Artha berusaha membuat Aira sedikit bersemangat.

"Iya."

"Oke tunggu ya, gue pesenin dulu. Minumnya mau apa?" tanya Artha tanpa menyerah.

"Terserah."

"Oke-oke jawaban klasik cewe banget ya," ucap Artha lalu berjalan menuju pentry makanan.

Aira menatap pundak Artha yang semakin menjauh. Laki-laki itu entah sampai kapan tahan terhadap sikapnya. Aira tak habis pikir juga bisa-bisanya Artha lebih memilih menemani dia daripada melakukan urusan penting lainnya.

Artha telah kembali dengan dua piring nasi goreng. Menyodorkan sepiring tersebut ke hadapan Aira.

"Lo mulai suka ya sama gue?" tanya Artha dengan tatapan meledek.

"What?" kaget Aira.

"Atas dasar apa lo menyimpulkan seperti itu?" tanya Aira kesal.

Artha mengulum senyumnya, "mata lo ga berhenti liatin gue pas gue lagi pesen makanan, gue ga kemana-mana kok."

"Dih serah gue lah. Mata, mata gue!" kesal Aira membuat Artha hanya menahan cekikikannya.

Suasana menjadi diam kala tak ada lagi obrolan. Aira hanya mengaduk nasi nafsu makannya hilang entah kemana.

"Makan Ra, atau mau gue suapin?" tanya Artha.

Aira hanya mendelik kesal, "gausah modus!"

"Lo ngapain si disini?" tanya Aira yang mulai melahap nasi gorengnya.

"Emang ada aturan gue ga boleh disini?" tanya balik Artha.

Aira menghela napas kasar, "kalau lo cuman kasian ke gue, mending lo pulang! gue ga perlu dikasihani."

"Sehari aja bisa ga si lo ga ketus ke gue," ujar Artha.

"Ga bisa!"

"Kenapa?"

"Ya ga bisa aja, lo kenapa ngeselin si!" ujar Aira lantang-lantang.

"Lo makin lucu Ra kalau kayak gini," bisik Artha.

Drtdrtdrt
Handphone Aira berdering menandakan ada telpon masuk. Aira langsung menggeser icon hijau membuatnya langsung tersambung ke penelpon.

"Gue kesana sekarang!" ucap Aira lalu meninggalkan Artha tanpa memberitahu ada hal apa.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fatamorgana Arthaya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang