sentuh-sentuh

Mulai dari awal
                                    

"Iri aja yang jatahnya gak leluasa gara-gara kehalang cebong." Nata tersenyum mengejek melihat wajah melas Juna.

"Sinting."

Yang bersuara barusan adalah Haikal. Yang paling waras diantara para lelaki disana. Haikal tidak pernah ikut terjerumus perbincangan-perbincangan nyeleneh tersebut. Pokoknya dia yang paling suci.

Padahal kata Janu, apa salahnya bahas yang begini? Itung-itung diskusi dan edukasi untuk masa depan.

Calon papa muda itu mengelus perut Wenny yang sudah membesar karena usia kandungan nya sudah memasuki bulan ketujuh. "Disana kamu pake tali ari-ari ya buat headset, biar gak denger omongan-omongan penuh azab ini."

Tidak yang paling waras, hanya sedikit waras.

"Bubar-bubar! Saatnya minta jatah sama bini." Jerry beranjak dari duduknya, sedikit meregangkan otot. "Gio, ayo pulang!"

Mendengar itu Rosa melengos, "malem ini kamu tidur dikamar Gio."

"Yah, Mam?" Jerry mengikuti Rosa yang sudah berjalan keluar, tentunya setelah berpamitan dengan orang-orang yang sebenarnya sebelas duabelas dengan dirinya. Tapi mereka sepertinya merasa paling suci.

***

Nata memasuki kamarnya setelah memastikan Ziel sudah tidur dengan lelap. Ziel memang sudah bisa tidur ditinggal sendiri, asalkan sebelum tidur harus ditemani terlebih dahulu. Mungkin semua anak juga seperti itu.

Ayah satu anak itu mendaratkan tubuhnya diatas ranjang, lalu berubah posisi menjadi menyandar. Memperhatikan Ayyara yang masih fokus berkutat dihadapan cermin. Entah melakukan apa, Nata tidak tau dan tak pernah mencari tau.

Yang Nata tau, Ayyara pergi belanja, menghabiskan setengah dari uang belanjanya. Entah itu untuk kebutuhan dapur, kebutuhan Ziel dan dirinya. Dan terakhir kebutuhan ibu muda itu sendiri.

Nata tidak pernah repot-repot bertanya, yang dia tau Ayyara membutuhkan uang banyak untuk segala perawatan. Dan tugasnya hanya memberikan wanita itu uang. Terserah mau diapakan, yang penting itu masih dalam hal wajar dan tidak macam-macam.

Setelah selesai dengan urusannya, Ayyara beranjak menuju ranjang. Membaringkan tubuhnya di paha Nata yang masih menyandar.

"Mas, sadar gak sih kalo kamu tuh lebih sering sentuh-sentuh aku ketimbang ngasih kata-kata afirmasi?"

Nata mengerutkan kening mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Ayyara. "Ya memangnya kalo saya sentuh-sentuh kamu, dosa gitu?"

"Ya bukannya dosa. Tapi kan ada tuh suami yang love language nya tuh word affirmation. Jadi kalo istrinya lagi gegana tuh dikasih kata-kata semangat gitu."

"Terus yang sentuh-sentuh love language nya apa?" tanya Nata. Dia memang tidak tau soal beginian. Jika membahas naik turunnya saham, baru Nata tau.

Ayyara menjentikkan jari, "Nah yang kayak mas tuh disebutnya physical touch."

"Yasudah itu aja jangan minta afirmasi-afirmasi, saya bukan motivator." Nata bersedekap dada tak peduli. Padahal tampang Ayyara sudah memelas.

"Aku tuh pengen tau mas, sesekali dikasih kata-kata semangat gitu sama kamu." Ayyara masih mencoba membujuk Nata agar suaminya itu mau setidaknya mengatakan satu patah kata penyemangat untuk dirinya. "Kamu belum pernah kayak gitu."

Tadi Rosa sempat bilang, katanya meskipun jahil, Jerry ini romantis. Apalagi kalo lagi ngebujuk Rosa yang lagi ngambek. Sering puji-puji Rosa juga. Ayyara kan iri, dia mana pernah begitu.

"Pernah."

"Hah kapan?!" Ayyara mengerutkan kening. Dia ingat dengan betul kalo Nata mana pernah begitu.

"Pas kamu lahiran." jawab Nata acuh.

Ayyara menghembuskan nafasnya kesal. "Bukan kayak gitu mas!"

Nata mendelik, menangkup kedua pipi Ayyara sampai bibir wanita itu mengerucut lucu. "Terima aja yang sudah ada."

Setelahnya Nata menyerang Ayyara dengan kecupan dan ciuman bertubi-tubi. Sesekali laki-laki itu juga menggigit dengan gemas pipi istrinya. Sebelum akhirnya—

"Huwek!"

Nata melepaskan tangannya dari pipi Ayyara, menatap wanita itu dengan kesal. "Kamu pake apa sih?"

"Apa?" tanya Ayyara tak mengerti. Dia menahan tawanya ketika melihat tampang kesal milik Nata.

"Pipi kamu pait!" jawab Nata jutek. Tak terima kegiatannya harus terganggu dengan rasa pahit yang tiba-tiba terasa di lidahnya.

Ayyara tertawa, mengibaskan rambutnya dengan angkuh. "Skincare lah! Biar makin glowing. Biar kamu gak kegoda si resepsionis baru itu."

Nata mendengus, lalu berdiri berniat ke kamar mandi untuk kumur-kumur. Mulutnya benar-benar terasa pahit. "Kalo malem gak usah pake."

Kini giliran Ayyara yang mendelik. Apa katanya? Jangan di pake? Yang bener aja! Itu skincare Ayyara beli dengan harga mehong, masa gak boleh dipake. "Idih emang kenapa?!"

"Saya susah cium-cium kamu."

***

Satu aja dulu, otaknya saya mau meleduk

Cey, 4 Mei

—see u—

1000% GENGSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang