64. Mengungkap Tabir Kekuasaan

Mulai dari awal
                                    

Diana menyerahkan bukti rekaman kepada Ora yang langsung memberikan tatapan menusuk. Diana meringis, Mengerti kenapa sahabatnya tampak sangat marah.

"Peace, Ra," katanya.

"Sekali lagi kamu bertindak sendiri dan sengaja masuk jebakan kayak begitu, aku akan biarkan kamu selesaikan ini semua sendiri. Paham?" tukas Ora.

"Paham, Bu."

"Kamu tahu persis aku enggak pernah bercanda, Di."

"Aku tahu, sorry."

Ora melemparkan sorot mata menusuk sekali lagi, sebelum berbalik dan berjalan bersama asistennya menuju tempat konferensi. Diana mengawasinya sampai menghilang di belakang pintu, lalu buru-buru masuk ke toilet menemui Tyo yang bersembunyi di balik pintu kamar mandi.

"Aku masih berharap kamu bisa dampingin aku di situ, Tyo. Tapi aku tahu kamu enggak boleh kelihatan. Enggak pa-pa, ngumpet di sini dulu?" tanyanya berbisik.

Tyo mengangguk. "Begitu memungkinkan aku akan segera pergi. Tugas masih menunggu, Didi," jawabnya.

Diana mengangguk. "Janji, jangan terlibat bahaya dulu?"

Tyo tersenyum tapi tidak menjawab.

"Tyo!"

"Aku harus menemukan Kusno, Didi. Setelah tahu dia yang membunuh orang-orang yang kita sayangi, enggak mungkin aku biarin dia lolos, kan?"

"Tapi enggak harus kamu yang tangkap, Tyo. Lihat saja, dalam keadaan babak belur aja dia bisa kabur, dia enggak bisa diprediksi dan licik. Kamu bisa ...."

"Dia licik, tapi aku ini petugas intel yang dipercaya untuk menyusup ke geng preman paling brutal di Jakarta, Didi. Tolong percaya aku."

Diana mengerjap, beberapa saat tetap terlihat sangsi, tapi kemudian mengangguk. "Janji, kamu hati-hati?"

Tyo menatapnya tajam. "Didi, bukannya kamu yang harus janji? Aku enggak mau kamu main-main lagi kayak semalam. Kamu sama saja membunuh aku kalau begitu. Ngerti?" katanya, tegas.

Diana melebarkan matanya. "Ngerti," sahutnya, sok polos.

Tyo merapikan anak rambutnya. "Kamu ke ruang konferensi, deh. Aku pamit, ya."

Diana mengangguk. "Iya. Hati-hati, ya. Enggak berantem-berantem dulu, Tyo. Kamu masih pincang."

Tyo tersenyum. "Iya."

Diana balas tersenyum, lalu berbalik hendak menuju ruang konferensi. Namun, dia berbalik lagi, dan dengan cepat menghampiri Tyo yang tertegun, berjinjit lalu menciumnya di bibir.

*******

Ruang konferensi gempar. Bisik-bisik bergaung bagai dengung ribuan lebah dalam ruang konferensi, meningkahi suara rekaman tanya jawab antara Diana dan Kusno yang diperdengarkan oleh Ora. Berbagai rahasia yang tidak terpikirkan, dibuka begitu saja oleh rekaman itu, membuat semua kaget. Terlebih saat kemudian foto Diana dalam keadaan babak belur dan ibunya yang masih dalam keadaan koma ditayangkan melalui layar proyektor. Semua yang hadir menahan napas kaget. Bagaimana bisa sekelompok orang yang dianggap terhormat ternyata melakukan banyak kejahatan?

"Kalian sudah mendengar, kan?" Ora berkata dingin setelah rekaman berhenti. "Rekaman ini menjadi keterangan akurat tentang kenapa Diana Seto dan Rizky Munaf tidak bisa langsung mengklarifikasi semua isu yang secara masif diembuskan oleh pihak yang ingin menutupi kebenaran, bahkan dibantu oleh sejumlah media."

Hening sejenak karena kalimat menohok itu. Lalu keheningan pecah saat berbagai pertanyaan langsung dimuntahkan berbarengan menutupi suara Ora yang mulai membuka map di tangannya. Pengacara galak itu terlihat tidak acuh dan malah mempelajari catatannya sejenak sebelum kemudian mengangkat wajah dan mengedarkan pandangannya yang angker. Sontak, riuh rendah pertanyaan terhenti. Semua menatapnya, menunggu dia bicara lebih dulu.

"Saya akan memberikan pernyataan dulu, sebelum menjawab pertanyaan kalian dan memberikan kesempatan kepada Diana Seto untuk bicara. Bisa diterima?" tanyanya dingin, yang disahuti dengan kompak. Dia mengangguk puas dan menunjukkan rekaman di tangannya.

"Kalian sudah mendengar isi rekaman ini seluruhnya. Alasan kami memperdengarkan rekaman ini adalah karena kami tahu, betapa mudah bukti dimanipulasi. Rekaman ini dibuat semalam, saat Diana Seto diculik oleh pria bernama Kusno, dan nanti kalian akan menerima beberapa data mengenai semua nama yang disebutkan. Rekaman ini sendiri tidak akan menjadi bukti karena cacat hukum dan tidak akan diterima oleh pengadilan. Kami memperdengarkan kepada kalian, agar kalian tahu apa yang akan kita hadapi nanti dalam persidangan. Karena saat ini saya menyatakan secara resmi, kami akan menuntut pihak-pihak yang disebutkan berikut.

"Utomo Widiarto, Rachmat Widjaya, Herman Bulaeng, Musri Alamsyah, beberapa pengusaha lain yang datanya akan kami serahkan, dan terutama, Kusno Duaji, mantan polisi yang suaranya ada dalam rekaman, untuk kasus suap seksual. Berkas akan kami serahkan kepada KPK. Lalu, nama yang tadi disebutkan ditambah Isharyo Kusnandar, mantan pimpinan media tempat Aryo Seto bernaung, serta mantan gubernur Eddy, untuk tuduhan pembunuhan berencana terhadap Aryo Seto, wartawan, dan suami istri Beni Hermansyah dan Utami Larasati, pemilik perusahaan subkon pertambangan dari grup Olympus, yang terjadi delapan tahun lalu.

"Masih akan ada laporan lain mengenai pengambilalihan perusahaan dan tanah secara ilegal oleh pihak-pihak tersebut, dan penghilangan nyawa beberapa orang berkenaan dengan pengambilalihan tersebut, lalu penculikan terhadap Ibu Marini Seto, dan penganiayaan yang dilakukan terhadap Diana Seto dan Rizky Munaf. Berkas bukti akan kami serahkan kepada kepolisian dan kejaksaan kecuali rekaman tadi, tetapi ... kami membuat salinan yang sesuai, seandainya terjadi penghilangan bukti.

"Terakhir, kami akan mengajukan tuntutan hukum terkait pencemaran nama baik dan pencopotan jabatan untuk beberapa perwira kepolisian yang sebelumnya mengeluarkan pernyataan tidak benar dan sejumlah media daring ataupun luring yang telah melakukan penggiringan opini sehingga wartawati Diana Seto dan rekannya, Rizky Munaf, dituduh dan dicap sebagai pelaku pengedaran narkoba. Mohon untuk semua perwakilan media yang ada di sini untuk mewakili kami dan seluruh media massa, mengawasi dan mengawal jalannya kasus ini. Terima kasih."

Hari itu juga, kepolisian, kejaksaan, KPK, serta berbagai lembaga terkait gempar. Sejumlah orang melarikan diri ke luar negeri sebelum pelarangan dikeluarkan, dan mutasi besar-besaran terjadi di kepolisian. Sejumlah perwira yang terjebak rekayasa Kusno putus asa, sebagian dari mereka menemui Bram untuk mendapatkan pertolongan. Namun, mantan jaksa itu kini justru bertanya-tanya, adakah jejaknya dalam setiap bukti yang dimiliki oleh Diana dan pengacaranya? Dia tahu kalau namanya tidak ada dalam berkas rekaman Kusno karena dia tidak pernah secara langsung bertemu ataupun berkomunikasi dengan pria itu-Bram memandang remeh pada pecatan polisi tersebut dan tidak menyukainya sama sekali-tapi dia tidak bisa mengambil risiko sekecil apa pun.

"Tina, hubungi orang kita di KPK serta kantor polisi. Lihat apakah ada sedikit saja kemungkinan saya terbawa-bawa," katanya kepada Tina sambil dengan kening berkerut memandang layar televisi yang menayangkan acara konferensi pers itu. "Kita tidak boleh membiarkan celah sedikit pun."

"Baik, Pak."

"Kumpulkan divisi keuangan dan juga bendahara, hitung prakiraan kehilangan investasi dan dana partai karena ini. Lakukan sekarang."

"Baik." Tina menjawab patuh dan langsung melakukan perintahnya.

Bram tercenung selama beberapa waktu, lalu tertawa kecil, miris. "Diana Seto. Kamu bukan lawan yang mudah," gumamnya.

TAMAT.

Okeh, akhirnya cerita ini berakhir. Eike lagi mikir ... perlu gak ya, masukin ekstranya. Ehem!

So, makasih banyak, jangan lupa, dengerin ceritanya Devara di Spotify, podcast Aku Yang Berharga, Winnyraca, gratis!

Sampai ketemu kapan-kapan.

Winny.

Tajurhalang Bogor 28 Juni 2023

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang