58. Rencana Utomo

Start from the beginning
                                    

“Bagaimana menurut kamu, Tina?” tanyanya.

Tina menimbang sejenak. “Saya rasa dia akan jadi seperti ayahnya sepuluh tahun dari sekarang, Pak. Mungkin, akan mirip dengan Pak Utomo juga kalau seandainya dia mendapat posisi atau kekuasaan yang lebih besar dari sekadar putra konglomerat,” jawabnya. “Tapi, dia cerdas dan berprestasi, profilnya cocok untuk citra partai.”

Bram mengusap dagunya. “Tepat. Saya juga sependapat. Untuk periode ini, dia masih aman untuk menjadi salah satu kandidat yang ingin saya majukan, tapi periode berikutnya, kita harus mencari orang baru lagi.”

“Bagaimana dengan menggaet Pak Hadi, Pak? Bukankah Bapak berniat mengajaknya bergabung?”

Bram menggeleng. “Pak Hadi orang yang berbahaya. Semula saya memang ingin mengajaknya bergabung, tapi melihat taktiknya yang sulit terbaca sekarang, saya khawatir, tidak akan bisa mengendalikannya.”

Tina terdiam sejenak. “Saya sudah mengontak Putri Pak Benjamin, Kami akan bertemu besok siang dekat kampusnya.”

“Bagus. Buat ikatan yang tidak bisa dipatahkan, Tina, kalau perlu, kamu tahu apa yang harus dilakukan.”

“Apakah Bapak tidak ingin mendekati Bu Aurora Dinata, jaksa agung?”

Bram menggeleng. “Dia idealis dan bagus sekali untuk jadi salah satu kandidat kita di masa depan, tapi, idealismenya kelewatan. Dia tidak bisa fleksibel dan sulit berbaur, akan ada banyak konflik internal kalau dia menjadi bagian dari koalisi. Lagi pula, akan sulit mendapatkan kelemahannya dan mengendalikan dia. Saat ini kita cukup mendapatkan Pak Benjamin, tokoh lain yang sama suara dengannya pasti akan bergabung.”

“Kalau begitu, saya akan menggali lagi, kelemahan apa yang bisa kita pegang dari Pak Benjamin.”

“Bagus. Oh, Tina….” Wajah Bram mendadak keruh. “Bagaimana dengan jenazah Pak Bambang? Apakah berhasil ditemukan?”

Tina menggeleng. “Belum, Pak. Kanal Barat dalam kondisi permukaan air tinggi dengan arus cukup deras, dikhawatirkan jenazah Pak Bambang terseret arus sampai ke muara.”

Bram menghela napas. “Cari tahu, seberapa banyak bukti yang mungkin dimiliki olehnya, geledah rumah ataupun kantornya, kita tidak ingin rencana kita berantakan kalau ada bagian koalisi yang tertangkap karena kasus suap ini.”

“Sudah dilakukan Ferdy, Pak.”

“Bagus.” Bram mengerutkan kening, lalu menegakkan tubuh. “Kalau jenazahnya ketemu, kamu bantu keluarganya untuk mengurus pemakaman dan juga pastikan mereka dibantu sampai putra-putrinya di perguruan tinggi.”

“Baik, Pak.”

Bram memandang ke kejauhan. “Jangan meniru Bambang, Tina. Saya mengerti kalau hati nuraninya sudah tidak mampu mentolerir segala hal yang menurutnya busuk, tapi dia tidak mampu melihat gambaran besar. Harusnya dia terus menutup mata dan berkorban untuk menjaga bangsa ini tetap utuh. Ada banyak hal yang tidak boleh terekspos, hal-hal yang seharusnya tetap rahasia untuk menjaga agar tidak timbul kekacauan macam ini. Lihat saja, karena keputusannya yang ceroboh, mahasiswi itu, Bu Marini, Bu Diana, Pak Rizky, bahkan petugas yang melawan Ferdy, akhirnya jadi korban. Semua karena kelemahan hati Bambang.”

Tina termangu. Hatinya setengah tidak setuju, karena baginya Bambang sama sekali tidak salah saat memutuskan untuk membuka kebobrokan yang ada dalam sistem lobi. Tapi, dia tahu Bram punya alasan sendiri berpikir demikian.

******

Utomo mengetuk dagunya sambil mengerutkan kening mendengar laporan Kusno yang tertunduk di depannya. Dia menimbang sejenak sambil mendongak menatap Kusno.

“Mereka belum pernah ketemu kamu lagi dalam … delapan tahunan ini, kan?” tanyanya.

Kusno menggeleng. “Terakhir saya bertemu mereka setahun sebelum Aryo Seto meninggal,” jawabnya.

Utomo mengangguk-angguk. “Dengan kata lain, mustahil mereka tahu keterlibatan kamu dengan kematian Aryo Seto?”

Kusno mengusap belakang lehernya. “Uhm, saya rasa begitu.”

Utomo tercenung sejenak, sebelum kemudian menghela napas. “Lakukan dengan lebih baik kali ini, Kus. Delapan tahun lalu semua orang jelas menuding saya sebagai dalang kematian Aryo Seto, meski mereka tidak menunjukkan terang-terangan. Tapi saya tidak suka. Pekerjaan yang meninggalkan jejak hingga membuat orang bisa menuding saya menunjukkan mereka sudah memvonis saya bersalah lebih dulu. Meski itu betul, saya tidak suka. Saya tidak suka pekerjaan asal-asalan, dan saya sudah membayar kamu cukup besar untuk menghindarkan saya dari berbagai kecurigaan. Mengerti?”

Kusno memandang ragu. “Apakah saya harus menangani keluarga itu lagi?” tanyanya.

Utomo memberinya pandangan mencela. “Bukankah sudah jelas?” sahutnya, terdengar jengkel. “Kamu yang menyebabkan masalah ini karena mendengarkan Musri, kan? Sekarang bereskan. Tuntas. Para polisi itu tidak akan bisa selamanya diatur soal ini, jadi kita butuh sesuatu yang baru untuk menutupi.”

“Masalahnya, kalau sampai terjadi sesuatu pada istri dan anak Aryo Seto lagi, bisa-bisa saya langsung ditangkap polisi. Bapak juga bisa terseret,” kata Kusno, sedikit keberatan.

Utomo berdecak. “Yang suruh kamu mencelakai mereka, siapa? Sudah jelas nama saya pasti terseret kalau mereka sampai kenapa-napa. Pak Bram sudah mengingatkan kita soal ini. Kamu pakai taktik, Kus. Tangani mereka tidak harus dengan mencelakai, kan? Kamu tahu persis kalau seorang jurnalis itu harus bisa dipercaya, jadi apa pun yang dia tulis tidak akan dipercaya kalau dia kena skandal. Kamu ngerti sampai sini?”

Kusno tertegun.

Utomo tersenyum dingin. “Sampai sekarang Pak Bram berhasil membuat nama Aryo Seto rusak dan diragukan hanya dengan diksi yang dipakainya saat menghentikan kasus suap yang sebetulnya kurang bukti. Kamu bisa meniru itu, kan?”

Hening, Kusno pun menghela napas dan mengangguk. “Baik. Saya permisi kalau begitu, Pak,” pamitnya.

“Kus,” panggil Utomo.

Kusno mengangguk. “Ya, Pak.”

Utomo menimbang sejenak dan tersenyum keji. “Saya bisa bantu kamu kali ini. Bawa perempuan bernama Diana itu ke vila saya, dan siapkan seseorang yang bisa membuat gambarnya sedang dalam satu frame dengan seseorang yang sudah saya pilih. Kita akan membuat dia terlihat seperti perempuan mata duitan yang senang memeras.”

Bersambung.

Wokeh ... sampe ketemu di episode berikutnya. Yang lagi nungguin podcast eike di Spotify, mulai tanggal 12 ini, Senin, jam 8 malem kalian bisa dengerin episode pertama cerita terbaru eike yang enggak ada di mana-mana. Cerita fiksi, tapi diusahakan tetap ada nilai moral yang bisa diambil, dibacain ala-ala dongeng, GRATIS! Kurang apa coba? Cuss ... ke Spotify, Winnyraca.

Siyubai.

Winny
Tajurhalang Bogor 7 Juni 2023

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now