57. Gue Marah, Jo!

Start from the beginning
                                    

Kali ini Bram yang mengerutkan kening. “Tidak ada yang bisa memberikan informasi?”

Tina menggeleng. “Mungkin mereka dilindungi oleh LPSK, atau seseorang yang punya kekuasaan.”

“Terpikirkan, siapa?”

Tina diam sejenak, lalu mengangguk. “Teman Bu Diana adalah seorang pengacara yang saat ini sedang disorot oleh media karena berhasil memenjarakan beberapa pemuda dari kalangan baik-baik dengan latar belakang kuat. Lalu, sekarang dia hendak memidanakan walikota Bogor untuk tuduhan pelecehan seksual, dan kasusnya masih berjalan. Dia adalah keponakan Bu Aurora Dinata, jaksa agung, dan istri Kapolresta Bogor.”

“Keponakan Bu Aurora Dinata?” Bram tercenung. “Kamu curiga dia yang menyembunyikan mereka?”

“Kemungkinan besar, Pak.”

Bram menuju ke kursinya, lalu duduk dan berpikir sejenak. “Kalau yang berhadapan dengan kita adalah keluarga Dinata yang berbesanan dengan Jenderal Bimo, akan sulit karena mereka adalah oposan kita dan basis mereka adalah TNI dan Polri. Kita tidak mau berhadapan secara langsung dan membuat mereka bereaksi keras.”

Tina kembali mengangguk. Hening sejenak, Bram termenung dan menimbang selama beberapa waktu sebelum kemudian memandangnya.

“Kita kesampingkan dulu masalah ini, tapi tetap waspada. Untuk sekarang, siapkan seorang yang sangat bagus untuk menjaring Pak Benjamin. Kita harus membuatnya memihak kita dan pindah dari kubu keluarga Dinata dan Jenderal Bimo. Ini adalah momen yang tepat, karena berbarengan dengan Polri sedang bersih-bersih personilnya, dan seluruh negara memusatkan fokus pada mereka yang melakukan suap seksual serta para penerimanya.”

“Apakah perlu saya samarkan sebagai escort, Pak?” tanya Tina.

Bram menatapnya dengan mata menyipit. ”Tina, kita tidak semurahan itu. Kita ingin mengikatnya, bukan menghancurkannya.”

“Kalau begitu, saya akan mendekati putrinya, dan membuatnya berutang budi.”

Bram mengangguk puas. “Bagus! Lakukan itu.”

*****

“Ferdy!”

Ferdy yang baru saja memegang handel pintu, menoleh, dan mendapati Tina yang berjalan mendekat. “Ya?”

Tina berdiri di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata menelisik, sebelum kemudian bicara. “Apa petugas yang kamu hadapi itu benar-benar sudah berubah jadi abu sekarang?”

Ferdy tertegun. “Kenapa?”

Tina mengerutkan keningnya. “Hati-hati, tugas kita adalah membantu Pak Bram mewujudkan visi membangun Indonesia yang bersih dan kuat. Jangan sampai keputusan yang kita buat sendiri mengacaukan semua yang sudah terencana dengan baik.”

Ferdy tercenung.”Bukankah kamu sendiri menentang Pak Bram melenyapkan Bu Marini?”

“Bu Marini orang sipil, dia adalah salah satu dari warga negara yang ingin kita lindungi.”

“Petugas itu adalah petugas dengan moral bersih. Termasuk orang ideal untuk menjadi bagian dari negara baru kita nanti.”

“Bagaimana kamu bisa yakin?”

“Cukup melihat matanya. Hanya orang dengan hati nurani bersih yang bisa memandang orang lain dengan cara begitu.”

“Tapi … Pak Bram tidak akan setuju kalau….”

“Kamu ingin melindungi orang sipil, aku ingin melindungi sesama petugas, apa bedanya?”

Tina terdiam. Ferdy mengangguk hormat kepadanya, lalu membuka pintu dan pergi. Meninggalkan Tina yang masih termangu di tempatnya.

******

Bejo berjalan cepat melintasi koridor rumah sakit dengan mengenakan jaket bertudung serta masker dan kacamata hitam. Meski di sebelahnya ada seorang penjaga yang disewa oleh perusahaan, tetap saja dia masih merasa cemas. Seolah-olah ada orang yang sedang mengikutinya dan akan sekonyong-konyong muncul dari antara keramaian untuk menangkapnya.

“Mas Bejo, sebentar,” pinta penjaganya.

Bejo menoleh. “Kenapa Mas?”

“Anu … saya ditelepon. Boleh bicara sebentar? Mas tunggu dulu di sini.”

Bejo melihat ke arah dinding yang menonjol dan cukup untuk menyembunyikan sosoknya yang ditunjuk oleh si pengawal. Dia mengangguk. “Ya sudah, saya nyender di situ sampai Mas selesai telepon,” katanya. Dia langsung berjalan ke tempat yang dimaksud dan bersandar ke dinding, sedikit bersembunyi.

Si penjaga berterima kasih dan langsung menggeser tombol terima di ponselnya. Dia berjalan sedikit ke bagian terbuka untuk mencari sinyal yang lebih baik, sekaligus menghindari sekelompok nakes yang sedang mendorong brankar dengan pasien yang berdarah-darah di atasnya, dan lewat dengan tergesa-gesa. Kurang dari semenit dia bicara, tapi saat berbalik dia tertegun, melihat Bejo yang berdiri kaku di tempatnya, memandang arah kepergian brankar, dengan genangan air berbau pesing di bawah kakinya. Bejo mengompol.

******

“Lo harusnya ketemu psikiater, Jo,” kata Diana dengan iba. “Lo jelas trauma.”

Bejo yang sudah berganti dengan sepotong celana selutut yang dibelikan oleh si penjaga, termenung murung. “Gue juga kepingin bisa konseling, Di. Cuma, sekarang mana bisa? Pak Hadi bilang gue harus ngumpet demi hidup gue, dan mengingat kejadian di kantor polisi yang bikin gue merasa diincar, gue setuju.”

Diana mengangguk. “Ya ampun … sori banget, Jo. Gue nyesel lo harus ngalamin ini terus setiap ngelihat orang berdarah,” ucapnya tulus.

Bejo tersenyum lemah. “Lo sendiri? Mental lo baik-baik aja?”

Diana balas tersenyum, miris. “Gue enggak baik-baik aja, Jo. Gue memar hampir di sekujur tubuh, dan ada luka terbuka yang dijahit juga. Tapi, secara mental, mungkin gue belum sampe di tahap setrauma itu. Perasaan gue sekarang lebih ke marah, Jo. Marah banget.”

“Di?”

“Gue marah banget, dan enggak akan tinggal diam, Jo. Gue enggak peduli apa yang bakalan terjadi ke gue nanti, tapi gue akan pastiin, mereka yang bikin lo kayak gini, nyokap gue koma, Tyo hilang, dan mereka yang terlibat dalam kematian bokap gue, semuanya akan terima balasannya, Jo.”

Bejo menatap Diana, khawatir. “Di ….”

“Gue akan seret mereka semua, Jo. Kalo tadinya gue pikir gua cuma punya elo dan Tyo, sekarang gue sadar, gue punya banyak orang yang mau mendukung. Ada Ora, suaminya, Mas Gatot, dan nama besar keluarga Ora bisa gue manfaatin, Jo. Dan … gue punya Pak Hadi, Jo. Dia ternyata serius bantuin kita, bukan cuma karena agenda pribadi, tapi juga karena dia balas budi sama bokap gue. Dia yang akan jadi beking kita.”

BERSAMBUNG.

Yes! Akhirnya semangat Diana bangkit lagi. So, gimana sisa ceritanya? Tungguin terus ya, ti ggal sedikit lagi, kok. Tapi kalo enggak sabar, ya udah, ke Karyakarsa aja.

Sampe ketemu lagi hari Rabu, maacih buat kalian yang setia baca dan kasih vomen.

Winnyraca
Tajurhalang Bogor 5 Juni 2023.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now