52. Hanya Tiga Mayat

Start from the beginning
                                    

Sempat tertangkap telinganya, di tengah kekalutan, seorang nakes mengatakan kalau terlambat sedikit saja, maka Marini tidak akan selamat. Beliau dalam kondisi overdosis obat terlarang, luka di kepala akibat benda tumpul juga dalam kondisi sangat buruk. Marini banyak kehilangan darah, dan harus menjalani transfusi beberapa kantong darah. Membuat Diana tahu, dia memang tidak punya pilihan.

Kondisinya sendiri tidak kalah buruk. Beberapa luka di tubuhnya memerlukan pengobatan bahkan jahitan. Untunglah tidak ada tulang patah meski pembunuh tadi sempat melemparkannya sampai tiga kali. Sempat histeris karena kesedihan luar biasa, Diana akhirnya bisa tenang setelah perawat memberinya penenang. Meski, dia menolak untuk tidur dan memilih duduk sambil termenung dengan hati hancur.

Bejo sudah pergi ke kantor polisi usai mengganti pakaiannya yang berbau pesing, meninggalkannya dalam kesendirian dan sesal yang terasa begitu berat. Kenapa sejak awal dia harus mencari gara-gara dengan mereka yang terlalu berkuasa? Bukankah ayahnya saja gagal? Apakah dia sudah bersikap begitu arogan sehingga akhirnya ibu dan kekasihnya jadi korban?

“Di, kamu enggak pa-pa?”

Pertanyaan dari suara yang dikenalnya, membuat Diana mendongak. Matanya mendapati seraut wajah yang dikenalnya, dan tangis kembali pecah. “Ora!” panggilnya dengan suara serak.

Ora meraihnya ke dalam pelukan, sedikit membungkuk dengan susah payah karena perutnya yang mulai menyembul oleh kehamilan. Di belakang Ora, suaminya yang merupakan perwira polisi, mengusap punggung sang istri, lalu menepuk bahu Diana untuk menunjukkan simpati. Kemudian, pria gagah itu sedikit memberikan ruang kepada mereka berdua, sambil meneruskan percakapan yang kelihatan penting di telepon. Beberapa kali dia menyebutkan nama Diana kepada lawan bicaranya, tapi yang punya nama sama sekali tidak menyadari.

Beberapa saat Diana menangis dalam pelukan satu dari sedikit teman yang dianggapnya sahabat, sampai akhirnya dia lelah sendiri dan mulai kembali termenung. Ora duduk di depannya. Menunggu dengan sabar sampai Diana siap untuk bercerita.

“Mereka menyiksa Ibu sampai begitu, Ra. Apa mereka enggak punya ibu? Di mana otak mereka? Enggak pada punya perasaan, gitu?” Keluhan akhirnya keluar dari mulut Diana.

Ora menggenggam tangannya, menghiburnya meski tidak mengatakan apa pun.

“Apa aku salah, karena enggak bersimpati sedikit pun waktu mereka dibantai?” Kembali, Diana bicara. Kali ini dengan nada penuh dendam.

Ora menepuk punggung telapak tangannya. “Mereka mendapatkan hukuman mereka langsung, Di,” sahutnya.

Diana tertawa kecil, pahit. “Tapi kamu pasti berpikir, bukan mereka otak dari kejadian ini, jadi hukuman yang mereka terima terlalu berat dibanding yang memberikan perintah, kan? Kamu pengacara, dan banyak dari mereka yang kamu bela, adalah orang jahat.”

Ora berkedip lambat, perubahan pada ekspresinya membuat Diana langsung menyesal telah menjadikan perempuan dingin dan jutek meski baik hati  itu sebagai pelampiasan frustrasinya.

Sorry. Enggak seharusnya aku ….”

“Hei, enggak masalah,” sela Ora. “Aku ngerti, oke?”

Diana membisikkan terima kasih, dan menyeka air matanya yang berlinang. Beberapa saat dia terdiam sebelum kemudian kembali bicara dengan suara tersendat. “Aku … aku dan Bejo … kami ninggalin Tyo di sana. Mungkin … Tyo … Tyo … udah ….”

Ora bangkit dan kembali memeluknya, tangis kembali pecah. Diana menumpahkan segenap rasa sesak di dalam pelukan sahabatnya. Waktu berlalu, cukup lama sampai Ora merasakan kakinya pegal, tapi tak tega menghentikan tangis Diana. Akhirnya, Diana sendiri yang menyadari kalau sudah membuat Ora lelah. Dia melepaskan diri dari pelukan Ora sambil melirihkan maaf.

Keheningan kembali menggantung, Diana tenggelam dalam pikirannya sendiri, sementara Ora tahu kalau kehadirannya dibutuhkan meski dalam keadaan diam. Menit berlalu, Diana pun mulai merasa tenang karena kehadiran Ora dan suaminya. Otaknya mulai kembali jernih dan bisa mengingat kembali kejadian yang baru dialaminya dengan lebih jelas. Sesuatu melintas dalam pikirannya, dan dia mengerutkan kening, bingung. Dia meremas jemarinya sendiri dan memandang Ora.

“Ada yang bikin aku enggak habis pikir, Ra,” katanya ragu.

“Apa?” tanya Ora.

“Itu. Kenapa laki-laki yang datang belakangan itu bukan cuma membunuh bajingan-bajingan yang nyulik Ibu, tapi dia juga ingin membunuh Ibu, aku, Bejo. Kalau aja Tyo enggak datang, kami mungkin udah mati. Siapa orang itu?”

“Ehem!” Deham suami Ora, yang sejak tadi berdiri dalam kesunyian, membuat Diana dan Ora menoleh. Perwira tampan dan gagah itu mendekat dan memandang Diana. “Kalau saya menanyakan beberapa hal pada Mbak Diana, apakah sudah bisa?” tanyanya, tenang dan peduli.

Diana mengerjap. “Tanya apa?” Dia balik bertanya.

AKBP Bayu, nama suami Ora, mengambil bangku lain dan duduk. Sejenak menimbang apa saja yang harus ditanyakan. “Mbak Diana bilang, ada seseorang bernama Tyo, yang melawan pembunuh misterius, berarti total korban kira-kira ada lima orang, betul?”

Diana mengingat sejenak. “Yang saya lihat betul-betul terkapar berlumuran darah itu ada tiga orang, Pak Kapolres, lalu Tyo juga terluka parah, tapi terakhir dia masih melawan pembunuh itu. Kemudian, ada satu orang terluka di kamar sebelah tempat ibu saya disekap. Tapi, yang melukai orang itu, saya, dan dia masih hidup terakhir kami tinggalkan tubuhnya.”

Bayu mengangguk-angguk. “Berarti betul-betul lima seharusnya.”

“Memangnya kenapa, Pak Kapolres?” tanya Diana, heran.

Bayu menatapnya. “Polisi yang datang ke TKP hanya menemukan empat orang di sana. Tiga orang tewas, dan satu orang dalam keadaan syok. Tapi korban satunya, yang Mbak Diana dan Mas Rizky identifikasi sebagai ‘Tyo’ tidak ditemukan. Makanya, tadi pihak reskrim menghubungi saya karena tahu saya akan menemui Mbak Diana bersama istri.”

Diana termangu. Tyo hilang? Apakah dia tewas, atau … diculik? Tak sadar dia mulai gemetaran, tapi dengan sigap, Ora memeluknya.

“Jangan berpikiran negatif dulu,” bisik Ora. “Tetap positif dan berharap.”

Tetap positif dan berharap? Diana tertawa pahit, lalu perlahan, tawanya berubah histeris. Kesedihan kembali menyerangnya.

Bersambung.

Gimana kelanjutannya? Tunggu Senin depan yak. Buat yang keburu gemes, ada tuh di Karyakarsa.  Udah ampe tamat, malah.

Sampe ketemu di episode berikutnya, maacih udah mampir.

Winny
Tajurhalang Bogor 17 Mei 2023

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now