48. Mewawancara Herman Bulaeng

Start from the beginning
                                    

Tyo menelan ludah, dan mengangguk dengan ekspresi terpaksa. “Cukup, Bang.”

“Ya, udah. Sana lo suruh yang lain, yang baru pada balik noh, nyebar juga. Biar camer lo cepet ketemu.”

“Oke, makasih, Bang.”

Tyo berbalik, dan hendak beranjak. Namun, seseorang yang tampak berjalan berlawanan arah dengannya, menuju langsung ke arah Rosyad yang melambaikan tangan, membuatnya tertegun. Dia merasa mengenali pria itu, dan … luka di wajahnya.

******

Diana tidak punya pilihan selain bersikap biasa saja dan beraktivitas normal meski kepalanya terasa penuh dengan kekhawatiran. Bersama Bejo, dia mendatangi dan mewawancara Herman Bulaeng yang masih bersikap ramah kepadanya seperti dulu. Wawancara terlihat lancar, tapi, setelah beberapa saat bicara dan sering kali Diana terdiam di tengah wawancara, pria asal Sulawesi yang terlihat sehat di usia tidak muda lagi itu akhirnya menyadari kalau ada yang tidak beres. Dia menatap Diana yang sedang memandangi catatannya cukup lama, dan mengulurkan tangan untuk menyentuh lutut mantan calon menantunya itu.

“Kamu baik-baik saja, Didi?” tanyanya.

Diana mengangkat kepala dan memandang Herman dengan mata melebar, terlihat merasa tidak enak hati. “Apa, Om? Oh … iya, baik. uhm … kita lanjut?” sahutnya sambil mengulas senyum yang terkesan gugup.

Herman menelisik ekspresinya. “Kamu tidak terlihat baik-baik saja, Didi. Apa … kamu merasa tidak nyaman karena harus mewawancara Om?”

Diana buru-buru menggeleng. “Ah … sama sekali enggak, Om. Cuma … ada sedikit gangguan teknis aja, kok. Boleh saya lanjut ke pertanyaan berikutnya, Om?”

Herman mengangguk. “Silakan.”

Diana melihat ke catatannya lebih dulu. “Bulaeng Corps adalah salah satu yang paling terdampak dalam setiap perubahan undang-undang atau penetapan peraturan baru, itulah sebabnya, netizen berpendapat kalau pihak Bulaeng Corps bisa jadi adalah sponsor dari suap seksual yang dilakukan terhadap anggota dewan, dengan tujuan memuluskan jalan agar undang-undang dan peraturan bisa ditetapkan sesuai dengan keinginan perusahaan serta sekutunya. Apa tanggapan Om Herman soal ini?”

Herman tersenyum. “Sama dengan jawaban mereka yang ada dalam sorotan netizen, Bulaeng Corps tidak terlibat dengan itu semua. Tentu ada lobi yang dilakukan oleh perusahaan untuk keuntungan, tapi tidak sampai harus menyuap dengan seks, dan menyasar pada anggota dewan pula. Itu berlebihan,” sahutnya.

“Begitu?”

“Ya. Lagi pula, anggota dewan kita adalah wakil rakyat terhormat yang terpilih langsung dan tentunya mengemban kepercayaan rakyat, masa iya, mereka melakukan politik kotor dengan menerima suap … katakanlah, seksual, dari kami para pengusaha?”

Kalau saja benaknya tidak sedang kalut, Diana akan menyungging senyum ironis mendengar pernyataan dengan jargon kosong yang disampaikan Herman.

“Bagaimana kalau memang ada bukti yang kami punya, yang membuktikan kalau suap seksual itu ada?”

“Kalau begitu, saya akan bicara dari sudut pandang pembisnis, ya. Kami tidak memiliki keuntungan apa pun, melakukan suap macam itu. Terlalu berisiko, kapan pun bisa bocor, jadi untuk apa? Ada banyak cara lain, yang lebih bermartabat tentunya.”

“Singkat kata, Bulaeng Corps sama sekali tidak terlibat dengan apa pun yang disebutkan dalam artikel?”

“Tepat.”

“Apakah artikel itu mengangkat sesuatu yang tidak ada, atau, artikel itu benar, hanya orang-orang yang dianggap terlibatlah yang kurang tepat?”

“Pilihan kedua. Saya yakin, media yang menaungi kamu bukan media sembarangan yang mengizinkan penayangan artikel tanpa dasar. Tapi, respons pembacalah yang sepertinya terlalu liar.”

“Baik. Itu pertanyaan terakhir. Terima kasih banyak karena menyediakan waktu untuk mengklarifikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman.”

“Sama-sama, Didi. Senang bertemu kamu lagi setelah sekian lama.”

Diana tersenyum. Dalam keadaan normal, dia akan berujar dalam hati, yang bener? Namun, kekalutan sedang menguasainya, jadi dia tidak sedang dalam kondisi terbaik untuk bersikap sinis.

Getar di ponselnya saat dia berjabatan tangan dengan Herman, membuatnya bergerak spontan dan terlalu cepat melepaskan tangan sang mantan camer. Dia meraih ponsel sambil tersenyum minta maaf dan buru-buru membuka pesannya.

Kasih bukti kamu sudah menarik laporan dan juga komitmen untuk tidak menelusuri kejadian delapan tahun lalu, kalau tidak, video Bu Dosen mabuk dan digilir banyak laki-laki akan tersebar dan viral. Mengerti?

Diana membeku di tempatnya. Dia menoleh kepada Bejo yang ikut memucat melihat ekspresinya. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan, sehingga tidak menyadari saat Herman bangkit dan berdiri di belakangnya untuk mengintip ke arah ponsel Diana. Pria itu terlihat menegang saat bisa membaca pesan yang tertera.

Kisah masa lalu melintas, seolah-olah dejavu, membuat Herman tanpa sadar merebut ponsel Diana dan membaca pesan dengan lebih saksama.

“Apa ini, Didi?” tanyanya, gemetaran. “Kamu harus lapor polisi!”

Bersambung.

Yes ... that's it for this episode. Buat yang nunggu episode baru podcast Winnyraca di Spotify, sabar ya. Cerita baru yang merupakan spin off dari cerita A Simple Love akan hadir di situ, tapi dibawain secara audio alias didongengin.

Penasaran? Cek di Spotify, Winnyraca, sebentar lagi.

Buat yang gak sabaran buat baca cerita ini sampe abis, cuss ke Karyakarsa.

Wokeh, maacih semua.

Winny
Tajurhalang Bogor 8 Mei 2023

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now