*****

Diana memeluk dirinya sendiri, sementara Bejo meremas-remas jemari  sendiri karena gugup. Di hadapan mereka, Tyo membaca pesan dan foto ancaman yang dikirimkan ke ponsel Diana. Ekspresi wajahnya mengeras. Rahangnya mengetat, jelas berusaha menahan diri untuk tidak membiarkan emosi menguasai otaknya.

“Mereka masih ketat ngawasin aku, Tyo,” bisik Diana, gemetar. “Itu sebabnya mereka tahu aku lapor polisi untuk ngebongkar identitas maling itu.”

Tyo mengangguk. “Mereka enggak akan lolos, Didi. Aku sudah punya nomor pelat mobil si penguntit. Kamu berikan aku sedikit waktu untuk menangkap mereka, ya?” hiburnya.

Diana menggigit bibir. “Kenapa mereka menyasar Ibu? Kenapa harus Ibu yang diculik? Apa mereka enggak punya ibu? Kenapa mereka enggak punya hati? Kenapa enggak hormat sama seorang ibu?” racaunya.

Tyo langsung memeluknya. “Mereka penjahat, Didi. Tapi jangan khawatir, aku bisa jadi lebih jahat dari itu. Kamu tunggu dan bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa. jangan sampai mereka curiga kamu lapor polisi soal penculikan ini. Oke?”

Diana mengangguk. Tubuhnya gemetaran, tapi Tyo bisa melihat sorot mata penuh tekad darinya. “Apa aku harus menurut untuk cabut laporan pencurian itu?”

Tyo ikut mengangguk. “Kita enggak punya pilihan. Lagi pula, kayak kubilang tadi, aku sudah mengingat nomor pelat mereka. Aku bisa minta bantuan seseorang untuk mengecek siapa pemilik mobil.”

“Gue yang anter Didi untuk cabut laporan.” Bejo mengajukan diri.

Tyo menatap penuh terima kasih. “Tolong, Mas Rizky. Tapi, jangan sampai lengah. Usahakan untuk melihat sekeliling, dan kenali orang sekitar. Kalau kalian merasa pernah melihat seseorang lebih dari dua kali dengan situasi yang terlalu janggal, foto kalau bisa, dengan ponsel.”

“Oke.”

Tyo menatap Diana dan memegang kedua sisi kepalanya, memaksa gadis itu untuk balik menatapnya. “Kamu harus tetap tenang, Ibu butuh ketenangan kamu, oke?”

Susah payah Diana mengangguk. “Iya.”

“Aku akan menemukan Ibu, janji.”

Diana kembali mengangguk, tapi kali ini dia hampir menangis. “Iya.”

Tyo menatapnya iba, lalu, tanpa memedulikan kehadiran Bejo di antara mereka, dia mendekatkan bibirnya ke dahi Diana dan mengecupnya lembut. “Aku pergi, ya?” pamitnya.

Diana membeku, untuk sejenak teralih dari kepanikan dan mengangguk lemah. “Hati-hati. kamu juga enggak boleh kenapa-napa.”

Tyo mengangguk. Dia menatap Bejo. ”Saya pamit, Mas.”

Bejo ikut mengangguk, gugup.

Keras Tyo mengembuskan napas, lalu langsung pergi meninggalkan Diana yang melepas kepergiaannya dengan air mata yang akhirnya tumpah. Untuk pertama kali sejak delapan tahun lalu, dia kembali merasakan ketakutan dalam hidupnya.

******

Berto melihat pesan di ponselnya dan menghela napas berat. Tatapannya beralih ke arah Lena yang terlihat tak peduli, tetap menikmati sarapannya yang terlambat. Rasa bersalah menguasai benaknya.

Lewat pesan, Utomo mengingatkan kembali misi yang diberikannya kepada Berto untuk mendekati Diana lagi dan menimbulkan skandal dengannya. Pria jahat itu menanyakan banyak hal mengenai mantan Berto itu, segala hal yang sifatnya pribadi. Membuat Berto menduga kalau dia sedang ditekan agar segera melakukan rencana busuk itu, dan semakin menambah beban rasa bersalah. Bukan hanya kepada Diana, tapi juga kepada Lena.

Sebelum kamu membuat skandal dengan wartawati itu, aku ingin kamu bantu aku untuk lebih dekat dengannya dulu, Robert.

Pesan lain kembali masuk, membuat Berto mengerutkan kening. Apa maksudnya pria ini? Kenapa dia ingin lebih dekat dengan Diana?

Lalu pemahaman itu muncul … dia ingat. Utomo adalah pria petualang. Dia suka bermain-main dengan perempuan, dan Diana jelas adalah perempuan yang sangat menarik dan memenuhi kriteria yang disukainya. Tangan Berto seketika mengepal karena marah, giginya gemeletuk. Cukup sudah. Ini keterlaluan!

“Lo kenapa?” tanya Lena tiba-tiba.

Berto menoleh dan menatapnya. Sebuah ide mendadak melintas, sebuah ide cukup gila yang kemungkinan gagalnya jauh lebih besar daripada berhasil. Dia mengetuk kayu meja dengan jemari, sejenak menimbang. Lalu, keputusan pun dibuat. Dia akan melibatkan Lena. Bukankah ayah Lena adalah orang yang sangat berkuasa juga?

“Len.”

Lena menatapnya. “Ya?”

“Menurut kamu, Pak Utomo itu berbahaya?”

Lena mengerjap lambat. “Kenapa lo tanya?” tanyanya, curiga.

Berto menghela napas. “Kamu tahu soal artikel suap seksual yang bikin papiku dan papi kamu disorot?”

Lena mengangkat bahu. Tak acuh. “Yang ditulis sama mantan lo, kan?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Pak Utomo salah satu yang merasa paling dirugikan karena artikel itu, dan dia kepingin membalas Didi.”

Lena mendengkus sebal. “Urusannya sama gue?”

Berto menatapnyan lekat. “Pak Utomo mau aku deketin Didi lagi dan tidur sama dia, supaya ada skandal untuk nutupin isu yang diangkat Didi. Menurut kamu?”

Lena mendongak kaget dan membelalak. “Maksud lo?” semburnya.

Berto menghela napas. “Aku enggak mau nyakitin Didi dan kamu. Aku juga enggak mau bikin kamu malu. Jadi please, bisa bantu aku cari jalan keluar supaya aku enggak perlu ngerjain itu?”

BERSAMBUNG

Wokeh ... sampe ketemu lagi di bab berikut hari Rabu. Yang pengen buruan baca ampe abis, silakan ke Karyakarsa.

Makasih banyak. Jaga diri kalian dan semua yang kalian sayang.

Winny
Tajurhalang Bogor 01 Mei 2023

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now