44. Kekasih Yang Mengenalnya Dengan Baik

Start from the beginning
                                    

Tyo mengangguk tegas. “Saya sudah janji pada Bapak, juga kakak saya, untuk melindungi keluarga Bapak sampai kapan pun selama saya bisa,” jawabnya. “Apalagi, sekarang saya punya alasan yang lebih kuat, Bu.” Sambil mengatakan itu dia memandang Diana dan tersenyum, membuat Diana merasakan kepak sayap kupu-kupu di perutnya.

Astaga … kenapa harus senyum begitu, sih? Jadi deg-degan, kan? Tanpa sadar, Diana menggigit bibir. Tangannya bergerak menyentuh dada, merasakan debar jantungnya yang berubah cepat.

Marini tersenyum tipis. Ada sedikit kelegaan di wajahnya, meski sorot mata khawatir tetap memancar. Dia menyerahkan air hangatnya kepada Tyo dan menepuk punggung tangannya. “Tetap saja, Ibu berharap kamu jangan terlalu menantang bahaya, ya, Mas. Jangan mau diseret Didi, kamu justru harus mengontrol sedikit lajunya Didi karena dia betul-betul enggak punya rasa takut. Ibu yang takut.”

Tyo mengangguk dan menatap penuh kesungguhan. “Saya juga takut, Bu, kalau urusannya menyangkut Didi. Tapi, saya dan Didi sama, kami berdua kehilangan yang kami sayang, dan kami mampu untuk membuat mereka yang menyebabkan kehilangan kami, membayar. Jadi, Ibu jangan khawatir. Mereka yang harus khawatir, karena Didi yang mengejar mereka. Bukan hanya kita yang bisa terancam, mereka juga.”

Diana menatap kekasihnya yang tampak begitu sungguh-sungguh dan kehilangan kemampuan berkata-kata, sementara ibunya tampak berkaca-kaca. Tidak menduga kalau polisi muda yang baru saja menjalin hubungan dengan putrinya itu ternyata mengenal Diana sama baik dengannya. Seperti kata Tyo, Marini pun berpikir kalau siapa saja yang dikejar oleh Diana, sudah pasti berada dalam kondisi tidak aman. Bukan hanya berani dan cerdas seperti ayahnya dulu, Diana juga jauh lebih waspada dan licin. Sepertinya, dia belajar banyak dari tragedi ayahnya dan menjelma jadi seorang jurnalis yang lebih tangguh.

Marini mengembuskan napas keras dan ikut mengangguk. “Mas Tyo benar. Didi memang berbahaya untuk siapa pun yang dikejarnya. Tapi, dia tetap anak Ibu, yang Ibu khawatirkan, dan ingin selalu Ibu jaga. Karena Mas Tyo yang lebih mampu, maka Ibu titip. Tolong, Didi dijaga. Dibantu juga semua yang saat ini sedang dia kerjakan,” pintanya tulus.

Tyo mengangguk tegas. “Pasti. Saya akan menjaga Didi sebaik-baiknya. Ibu tahu bagaimana perasaan saya pada Didi.”

“Memangnya perasaan kamu pada Didi seperti apa, Mas?” goda Marini, membuat Diana mengangguk-angguk latah sambil melebarkan matanya.

“Iya, perasaan kamu ke aku gimana Tyo?” timpalnya, penasaran.

Tyo menatap Diana lurus. Tidak ada senyum di bibirnya saat berucap, tapi sorot matanya menunjukkan isi hatinya. “Kamu lebih tahu dari siapa pun, Di. Karena perasaan itu sudah ada sejak lebih dari delapan tahun lalu.”

Hening. Diana kembali kehilangan kata, sementara ibunya menatap salut kepada pria muda yang dengan berani menyatakan perasaan kepada putrinya, di hadapannya. Menunjukkan sebesar apa kesungguhannya.

*******

“Pak Musri memberi tahu kalau orang Pak Utomo menghubunginya. Katanya, Bu Diana sudah mengambil isi kotak deposit Pak Aryo dan isinya uang sepuluh juta rupiah.” Tina memberi tahu Bramantyo yang sedang menyesap tehnya.

Bram menoleh dan mengerutkan kening. “Uang sepuluh juta?” ulangnya.

Tina mengangguk.

Bram mendengkus. “Untuk apa uang sepuluh juta dimasukkan ke dalam kotak deposit? Pak Aryo tidak sekuno itu, dia pasti tahu soal investasi atau deposito, dan bahkan delapan tahun lalu pun, sepuluh juta itu cuma uang receh. Yang betul saja!”

Tina tidak menjawab. Kesal, Bram menaruh cangkir tehnya di meja dan meminta ponsel yang dipegang asistennya. “Biar saya bicara langsung dengan Pak Musri.”

Tina menyerahkan ponselnya yang masih tersambung. Dia menunggu beberapa saat sampai sang anggota dewan selesai bicara, lalu menerima kembali ponsel darinya. Wajah Bram terlihat kesal sekaligus jengkel saat mengembalikan benda itu kepadanya.

“Katakan pada Pak Utomo, urus anak buahnya dengan benar, kita tidak punya waktu mengurus hal remeh seperti ini. Sekarang, jelas, gadis cerdas itu pasti tahu kalau dia dibuntuti, dan sesuatu yang ada di bank itu atas nama ayahnya yang sedang diincar. Bikin repot saja, kerja kok belepotan.”

“Baik, Pak.”

“Oh …,” Bram mendadak teringat sesuatu. “Sampaikan juga pada Pak Musri, barusan saya lupa, saya ingin dia memutuskan hubungan dengan orang yang menghubunginya itu. Ganti nomornya, dan blokir si preman itu supaya kita tidak terseret kalau ada apa-apa.”

“Baik, Pak.”

“Kamu sudah selesai mengatur ulang dokumen yang saya minta?”

“Malam ini selesai, Pak.”

“Bagus.”

“Untuk penyelidikan yang Bapak minta, kesimpulan sementara sudah saya buat.”

“Oh, bagaimana?”

“Dari tiga serangkai yang memodali kampanye Bapak, kemungkinan, Herman Bulaeng yang tidak terlibat dalam urusan Pak Aryo Seto. Beliau memiliki hubungan pribadi dengan Pak Aryo, dan saat Pak Aryo menyelidiki kasus penyerobotan beberapa perusahaan tambang di Kalimantan, justru proyeknya malah dibatalkan, kemungkinan karena hubungan tersebut.”

Bram termangu. “Herman Bulaeng punya hubungan pribadi dengan Pak Aryo?”

“Benar. Mereka hampir jadi besan. Pak Roberto Bulaeng dan Bu Diana sempat bertunangan. Berita pertunangan mereka sempat dipublikasikan.”

“Ah ….” Ekspresi Bram berubah cerah. “Apa mereka masih berhubungan? Coba kamu hubungi Roberto ini, saya ingin bertemu dengannya.”

Tina terdiam sejenak. “Uhm … sebetulnya, dia adalah salah satu orang yang tadi ingin diperkenalkan dengan Bapak oleh Pak Utomo,” jelasnya.

Bram melebarkan matanya, antusias. “Oh ya? Yang mana? Pasti yang tinggi dan ganteng dengan kemeja batik itu, kan?”

Tina mengangguk.

Bram menjentikkan jari. “Hubungi dia, rahasia, suruh temui saya. Juga Pak Herman, saya ingin bicara secara rahasia.”

“Baik, Pak.”

Bram tersenyum puas. Ini menarik. Ternyata ada salah satu konglomerat yang bisa dijadikannya sebagai sekutu tanpa harus terlibat dengan Utomo dan Rachmat yang selama ini lumayan menyusahkan. Tapi pertama-tama, dia harus memilih pion dulu untuk dipakainya mengadu domba ketiga serangkai. Roberto Bulaeng sepertinya cocok.

Bersambung.

Wokeh. Segitu dulu buat hari ini. Buat yang pengen baca langsung sampe abis, silakan ke Karyakarsa yah.

Sampe ketemu lagi, jaga diri kalian dan orang yang kalian sayang.

Winny.
Tajurhalang Bogor 24 April 2023

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now