03 : Hinaan Diujung Petang

55 42 39
                                    

Siang itu tak seterik di hari - hari sebelumnya, Ibu Akas dengan tenaga yang masih tersisa melepas sepatu penuh lumpur yang ia kenakan untuk menanam padi di sawah orang guna memperoleh sejumlah Rupiah, hari ini dia pulang lebih awal karena cuaca sedang tidak bersahabat dan hujan diperkirakan akan turun lebat sebentar lagi sebab angin dan nyanyian petir telah memberi peringatan terlebih dahulu.

Dengan penuh kehati - hatian dan sedikit lunglai Ibu Akas mendorong pintu yang hampir koyak di makan usia, sudah berkali - kali anaknya mengeluhkan pintu tua itu dan berniat menggantinya tapi sang ibu selalu mengabaikan dan melarang mereka menggantinya dengan alasan tak perlu membuang uang untuk sesuatu yang masih bisa dipakai, sebab tak perlu ada yang ditakutkan meski rumahnya tak berpintu sekalipun karena tidak akan ada yang berminat mencuri di rumah tua yang diisi dengan barang rongsokan.

Saat hendak masuk terdengar suara teriakan memanggil - manggil namanya sehingga membuat langkah kakinya terjeda. Sang ibu berbalik dan terkejut melihat Ibu Tukiah berjalan tergesa - gesa menggandeng anaknya yang dia kenal sebagai teman sekolah Sakira.

"Lihat !!! lihat ini... lihat apa yang dilakukan anakmu pada anakku !!!"

Ibu Akas tidak mengerti dengan apa yang terjadi, dia tidak diberi kesempatan bertanya apa yang membawa Ibu Tukiah bertamu dengan tidak beradab ke rumahnya dan membawa Anaknya yang masih berseragam sekolah berhias noda merah serta hidung diperban.

"Bu Tukiah, bisakah kita bicara dengan tenang ? saya sungguh tidak mengerti jika ibu berteriak seperti itu".

"Hey lihat !!! lihat anakku ini... hidungnya berdarah dipukul anakmu !!!"

Emosi bu Tukiah tak teredam sedikit pun, dia berteriak nyaring dengan amarah yang tergambar dimatanya sehingga beberapa tetangga keluar mencoba mengintip apa yang terjadi dan beberapa tetangga lainnya yang sedari awal mengamati situsi panas itu mencoba mendekat berniat menjadi penengah.

"Anakku ???"

"Yaaa anakmu yang tidak kau didik dengan benar !!! jangan kerana mereka tidak punya ayah hingga kau membiarkan anakmu hidup tanpa didikan !!!"

"BU TUKIAAAH !!! kau sudah bicara terlalu jauh !!! bisakah kau jelaskan inti permasalahan tanpa menyangkut pautkankan segalanya !!!"

Ibu Akas ikut terpancing begitu mendengar suaminya dilibatkan dalam masalah yang menurutnya masih buram lantaran ibu Tukiah berbicara dengan emosi yang kian memuncak di setiap kalimatnya.

"Benar bu Tukiah, cobalah bicara tanpa berbelok dan utarakan tujuanmu kemari"

Seorang tetangga angkat suara untuk menengahi pertengkaran sebelum situasi menampilkan adegan kekerasan sebab kedua belah pihak nampak terbakar suasana.

"Dengar... kau dengar ini !!! anakmu telah memukul anakku di sekolah hingga berdarah, lihat hidungnya !!! lihat juga darah di bajunya !!! itu semua ulah anakmu !!!"

"Tapi mana mungkin seorang anak bisa memukul begitu keras hingga berdarah"

"Oh kau pikir aku berbohong ??? atau kau pikir anakku yang berbohong ??? tanyakan pada gurunya jika kau tidak percaya !!! gurunya yang mengantar anakku pulang setelah di bawa ke rumah sakit dan memberitahuku apa yang terjadi !!!"

"Anakmu memang nakal bu Akas, bukankah kemarin dia juga mencuri telur di kandang ayamku"

Ah tetangga lain yang biasa dipanggil bu Siti makin menambah suhu panas, setelah mendengar tuturan penuh gejolak bentakan dari Bu Tukiah tidak ada tetangga yang mengeluarkan argument pembelaan untuk Ibu Akas yang terlihat memucat menahan malu.

"Tidak mungkin adikku memukul tanpa sebab, pastilah telah terjadi pertikaian yang menimbulkan perkelahian keduanya"

Itu bukan suara Ibu Akas maupun tetangga yang sengaja ikut menengahi pertengkaran untuk mencari informasi dan dijadikan bahan cerita esok hari. Itu adalah suara berat Akas yang rupanya baru saja pulang dan mendengar bu Tukiah meceritakan kisah seolah adiknya adalah penjahat yang sedang buron. Akas memandang semua orang di sana dengan tatapan datar tanpa ekspresi, juga mengamati Ana yang tampak sesegukan dengan penampilan sedikit kacau.

"Ah aku tidak peduli dengan pertengkaran anak kecil, yang aku tau adikmu telah melukai anakku !!! aku telah begitu baik pada kalian dengan membiarkanmu berhutang sebanyak yang kau mau !!! kalian makan dari hasil meminjam padaku !!! dan sekarang apa ??? adikmu membuat anakku masuk rumah sakit dan kalian malah membelanya !!! ORANG MISKIN MEMANG TIDAK TAU CARANYA BERTERIMA KASIH !!!"

Hinaan pedas itu keluar bersama jari telunjuk yang diacungkan bu Tukiah dengan kokoh di wajah Akas. Bu Akas membekap mulutnya dengan sebelah tangan dan menundukkan kepala bertanda ia tak mampu memandang raut muka macam apa yang sedang dikeluarkan oleh para tetangganya di sana setelah mendengar hinaan yang menginjak harga diri keluarganya. Bu Akas terlalu malu dan hatinya benar - benar panas, ia mencoba melirik Akas yang masih tetap dengan wajah datarnya. Sementara para tetangga mulai saling menyenggol, melirik, dan berbisik, mereka mendapat bahan cerita menarik hari ini.

"Saya ucapkan terima kasih banyak atas kebaikanmu selama ini bu, sekarang katakan apa mau ibu, setelah itu pulanglah dan hitung berapa totalnya hutang saya, malam nanti saya akan datang melunasinya"

"Lagakmu sombong sekali Akas, baru saja subuh tadi kau mengemis ke rumahku dan sekarang kau mengusirku ??? Aku sangat ti_"

"HENTIKAN !!!"

Perkataan bu Tukiah dipotong oleh ibu Akas yang sedari tadi menahan ledakan di hatinya, dia tidak membiarkan bu Tukiah menyelesaikan kalimatnya. sudah cukup penghinaan yang dilontarkan untuk putranya, dia tidak akan menahannya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Dia memanglah miskin tapi apakah dia harus dihina sedemikian rupa karena dia miskin ?. Setelah suaminya pergi dan tidak lagi kembali, masyarakat mulai membicarakannya, berasumsi buruk tentangnya, menghinanya dengan cerita - cerita bernuansa negatif yang disebar, memandangnya dan anak - anaknya dengan tatapan merendahkan dan mengucilkannya.

Bu Akas melangkah maju dan berdiri tepat di depan bu Tukiah yang menatapnya waspada.

"Sudah cukup kau menghina kami !!! memangnya apa yang kau punya hingga kau berbicara seolah hartamu menggunung dan rumahmu bertingkat ? KATAKAN APA YANG MEMBUATMU BANGGA HAH ?"

Keterkejutan nampak mencetak wajah mereka yang ada di sana tak terkecuali bu Tukiah yang kini terdiam namun masih menyimpan gumpalan emosi di dadanya. Bu Tukiah siap memberi perlawanan dan meledakkan emosi yang lebih besar.

"SETIDAKNYA AKU BUKAN ORANG MISKIN YANG MEMINTA MAKAN PADA ORANG LAIN"

"LANTAS ADAKAH AKU MEMINTA MAKAN PADA ORANG LAIN ?"

"KAU DATANG MINTA BERHUTANG DI RUMAHKU !!!"

"AKU BERHUTANG !!! BUKAN MEMINTA - MEMINTAAA !!!"

Bu Tukiah diam mematung, dia kehabisan kata - kata untuk menyanggah bu Akas yang kini terlihat sangat marah dengan mata berair, muka memerah, dan urat leher yang nampak menonjol keluar akibat teriakan kerasnya. Sementara para tetangga belum mengedipkan matanya menyaksikan pertengkaran yang menurut mereka sungguh menegangkan, mereka merasa bangga karena menjadi saksi mata dalam pertengkaran itu. Sedangkan Akas tak lagi berniat membuka mulut, dia rasa ibunya saja sudah cukup untuk membungkam mulut bu Tukiah, dia hanya akan bereaksi ketika keadaan tidak lagi terkendali.
Setelah menarik nafas dalam - dalam dan mengeluarkannya secara perlahan untuk meredahkan amarah dan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat, bu Akas kembali membuka suara. Namun kali ini tidak dengan berteriak, dia akan mengakhiri pertengkaran ini sebab hujan mulai turun dan angin mulai menggila.

"Dengar bu Tukiah, bukannya aku tidak berterima kasih padamu, kau sudah menghinaku terlalu jauh, siapa pula yang tidak marah jika berada di posisiku, dan ya... aku minta maaf karena anakku telah melukai anakmu, aku akan bertanggung jawab, tunggulah aku malam nanti di rumahmu"

"Dan untuk kalian, apakah sudah selesai menikmati pertunjukannya ? jangan lupakan jemuran kalian, tidakkah kalian merasa cuaca semakin buruk hingga kalian lebih memilih mencari bahan cerita dari pada bergegas pulang mengangkat jemuran ?"

Akas dengan nada dingin dan sorot mata yang masih mendatar menegur halus mereka semua agar dengan segera meninggalkan kediaman tuanya. Akas sangat tahu kebiasaan mereka yang sering kali melayangkan cerita buruk satu sama lain, tak jarang cerita - cerita itu sampai di bawa angin ke telinganya, tak jarang pula terselip nama ibunya dalam cerita itu. Dan sekarang Akas sudah menebaknya, kejadian ini akan menjadi cerita panas yang akan menari di udara desanya esok hari.

..................................................

YANG TERBUANGWhere stories live. Discover now