2.4. Kuil di Perut Gunung

62 5 3
                                    

Kuil Verita dibangun di puncak sebuah gunung api bernama Valeos. Gunung itu dikenal sebagai sumber keabadian bagi orang-orang yang bisa bertahan dari panasnya magma yang berpendar merah di kawahnya. Lukas merasa legenda itu absurd karena tidak mungkin ada manusia yang bisa memenuhi persyaratan itu. Namun, berdasarkan catatan, ternyata banyak orang gila yang mempertaruhkan nyawa mereka demi keabadian.

Kembali tentang Kuil Verita, bangunan kuil agung tersebut lebih mirip gua. Kuil itu dibangun dengan membentuk ruangan luas di perut gunung Valeos dengan melubanginya. Gua yang menjadi pintu masuk menuju kuil, dihiasi dengan dua pilar raksasa yang penuh dengan ukiran dedaunan. Di puncak pilar tersebut terukir malaikat berwujud bayi telanjang dengan halo di atas kepalanya.

Ketika melewati gua, pengunjung akan memasuki sebuah aula dengan tujuh pintu yang menjulang setinggi lima meter. Pintu tersebut terbuat dari kayu ulin berkualitas tinggi yang masing-masing diukir sosok malaikat utama Verita. Tujuh pintu dan tujuh malaikat, kuil tersebut terkesan memiliki cita rasa seni yang tinggi. Terlebih lagi, banyak hiasan keemasan yang ditorehkan di atas tembok yang ternyata marmer.

Penerangan kuil diperoleh dari batu cahaya yang berpendar dalam gelap. Semacam batu glow in the dark tetapi jauh lebih terang. Sepertinya batu-batu tersebut memiliki unsur kimia tertentu yang bereaksi dengan udara di sekitarnya sehingga menghasilkan pendar.

Ketika melihat tujuh pintu dengan wajah malaikat yang berbeda-beda, aliran listrik seperti menjalar di tulang punggung Lukas hingga menyentuh kepalanya. Kekuatan spiritual yang dipancarkan pintu-pintu tersebut terasa nyata. Setidaknya, kuil ini memang diberkati kekuatan ilahi. Sebagai seorang Yogi, Lukas tidak mungkin salah mengenali kekuatan itu.

"Pintu-pintu yang mengerikan," ujar Farrel, membuat Lukas yang mendengarnya terhenyak.

"Apa kamu merasakan sesuatu dari pintu-pintu itu?" tanya Lukas yang penasaran.

"Aku merasa ukirannya terlalu detail. Patung-patung itu terlihat hidup. Menakutkan."

Pembicaraan sepasang kekasih itu didengar oleh paladin yang mengantar mereka. Dengan bangganya, dia menjelaskan pengajaran kuil Verita pada dua makhluk sesat yang katanya mau bertobat.

"Mereka adalah tujuh malaikat maut yang mengantarkan seseorang menuju surga. Malaikat Renia mengantarkan orang-orang yang mati karena bekerja untuk membahagiakan orang lain. Malaikat Alea mengantarkan orang yang mati setelah menyumbangkan hartanya untuk kebaikan dunia. Malaikat Kylan mengantarkan orang-orang yang seumur hidupnya selalu sabar. Malaikat Leetia mengantarkan orang-orang yang mati demi mempertahankan kebenaran. Malaikat Bellatra mengantarkan orang-orang yang selalu menyimpan kebaikan di dalam hatinya. Malaikat Tintera mengantarkan orang-orang yang tidak pernah sombong dan selalu rendah hati. Malaikat Zelvi mengantarkan orang-orang yang berpengetahuan.

"Tujuh kualitas itu adalah kualitas-kualitas yang diberkati Dewa Verita. Oleh karenanya, tujuh itulah yang menjadi pedoman utama."

Paladin itu kemudian bertanya, "jadi, pintu mana yang akan kalian pilih?"

Pertanyaan sulit. Lukas menoleh ke arah Farrel dan mendapati kalau suaminya juga mengerutkan kening. Namun, meski terlihat berpikir, pandangan Farrel sudah menyorot satu pintu, pintu Malaikat Leetia, pintu bagi orang-orang yang rela mati demi mempertahankan kebenaran.

Dan observasi Lukas tidak salah. Tidak lama kemudian Farrel menoleh ke arahnya lalu berbisik. "Gimana kalau kita pilih Leetia? Mungkin aku akan menyukai malaikat ini karena namanya diawali dengan huruf L, sama seperti namamu."

Lukas pun balas berbisik. "Honey, gimana kalau sesekali kamu memilih dengan menganalisis secara logis, bukan dengan selera?"

"Tapi memilih yang mana pun tetap saja sulit. Gimana kalau percaya pada keberuntunganku?" Farrel kukuh dengan pilihannya. "Apa kamu punya pilihan lain?" tanyanya.

"Ah, nggak." Lukas tersadar kalau dia juga tidak bisa memilih.

Karena tidak ada perdebatan lagi, Farrel menoleh ke arah paladin dan bicara. "Kami memilih pintu Malaikat Leetia."

Paladin itu terperangah. "Malaikat Leetia?"

"Apa ada yang salah?" tanya Farrel.

"Ah tidak. Biasanya para bangsawan akan memilih Malaikat Alea. Sangat jarang ada orang yang memilih Malaikat Leetia. Kebenaran bukanlah hal yang mudah."

Farrel mendengkus. "Apa ada yang mudah dari tujuh itu? Biarpun Malaikat Alea mengatakan tentang menyumbangkan harta untuk kebaikan dunia, seberapa banyak yang harus diberikan untuk bisa diakui? Atau, apakah jumlah itu penting? Jangan-jangan yang penting adalah seberapa berharga sesuatu yang diberikan itu bagi orang yang memberikan."

Sang Paladin tertawa kecil. "Kamu benar. Tidak ada yang tahu apa yang dinilai oleh para malaikat."

Setelah memastikan, paladin itu memutar sebuah mekanisme di samping pintu Malaikat Leetia. Suara terbukanya pintu menggema ke setiap sudut ruangan. Ruangan di balik pintu tersebut terlihat bercahaya kuat sehingga Farrel dan Lukas perlu menyipitkan mata karena silau.

"Para pendosa yang memasuki ruangan malaikat, tidak pernah bisa keluar dari tempat ini," ujar Sang Paladin bangga.

Lukas memutar bola mata ke arah Farrel. Hari ini mungkin ada dua pendosa yang bisa keluar karena salah satu punya skill teleportasi. Omongan angkuh itu hanya sebuah lelucon.

Saat pintu sudah benar-benar terbuka, Farrel dan Lukas memasuki ruangan. Sebuah altar panjang berhiaskan gurat ukiran keemasan berdiri tegak di hadapan barisan bangku doa. Di belakang altar, terpajang lukisan sosok bercahaya dengan latar belakang taman firdaus. Lukisan itu memenuhi tembok di belakang altar hingga menjangkau langit-langit. Sepertinya itu adalah lukisan Dewa Verita.

Di depan altar, seorang pendeta laki-laki berusia 40 tahunan sedang mengucapkan doa sambil mengaduk air di dalam wadah yang terbuat dari batu marmer. Dia mengenakan setelan putih emas dengan jubah yang menjuntai hingga lantai. Pendeta itu memiliki rambut pirang dan mata biru. Rambut sebahunya dijepit hiasan rambut berbentuk carang pohon yang terbuat dari emas. Pintu ditutup kembali dan pendeta itu menyelesaikan ritualnya.

Ketika pendeta itu mengalihkan perhatiannya ke arah dua pengunjung yang baru datang, sepasang mata pendeta itu terlihat berkilau seperti permata safir. "Perkenalkan, saya Pendeta Deos. Apa yang membawa bangsawan muda seperti anda mendatangi kuil sederhana kami di sini?"

Karena kalian memprotes hubungan kami. Lukas membatin dongkol. Sejak dulu dia tidak suka berurusan dengan pemuka agama. Kali ini pun kejengkelannya tidak berkurang.

"Kami ke sini untuk bersaksi tentang kebenaran. Kami saling mencintai dan tidak ada yang salah dengan itu. Jadi, meskipun kalian mengancam kami dengan tiang gantungan, kami tidak takut," ucap Farrel dengan gayanya yang mendominasi.

Lukas langsung bingung karena rencana awal Farrel bukanlah ini. Bukannya suaminya berencana untuk pura-pura bertobat? Kenapa sekarang malah menantang Kuil Verita? Dia yang kaget, memelototi Farrel nanar.

Apa yang kamu pikirkan? Kenapa rencananya berubah? Kata Lukas dalam hati. Ekspresinya sepertinya terbaca jelas oleh Farrel. Suaminya itu tersenyum penuh arti meski Lukas sudah mengepalkan tangan, bersiap untuk memukul.

"Sayang, ini adalah ruang kebenaran. Jadi, hal yang harus kita lakukan adalah mengemukakan kebenaran kan?"

"Persetan dengan kebenaran," maki Lukas emosi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eternal Sun and Moon Vol 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang