Bram meliriknya dengan kening berkerut. Beberapa saat dia tercenung sebelum kemudian mengubah posisinya dan menghadap Utomo yang menoleh dengan sedikit heran.

“Pak Utomo … ada satu pertanyaan yang selalu ingin saya tanyakan,” katanya, nadanya tenang tetapi berbahaya.

Utomo mengangguk. “Silakan.”

Bram menatapnya tajam. “Apa Bapak pernah mengingatkan diri sendiri kalau presiden dan mayoritas orang dalam pemerintahan saat ini berasal dari sipil dan juga merupakan oposan pihak Bapak? Apakah Bapak masih mengira kalau cara yang dulu diterapkan di masa ayah Bapak masih akan efektif kalau dilakukan sekarang?”

Utomo tertegun, tidak menduga sama sekali akan mendengar pertanyaan yang sarat dengan sindiran itu. Dia balas menatap Bram dan mendapati sorot mata kesal di situ dan merasa gentar. Meski terbiasa seenaknya, dia pun sadar kalau posisinya saat ini tidak memungkinkannya untuk menentang sang anggota dewan paling berpengaruh itu. Sedikit tersurut, dia mundur, lalu tersenyum.

“Maaf, saya hanya sedikit heran. Biasanya Pak Bram tidak butuh waktu lama untuk membuat semua masalah seperti ini menghilang. Saya tidak bermaksud menggurui, jangan tersinggung.”

Tatapan tajam Bram masih tertuju pada mata Utomo sebelum kemudian dia berpaling dan kembali melihat ke arah taman. “Paling buruk, kita akan membatalkan rencana lobi kali ini. Biar saja dewan bersidang sesuai mekanisme normal, kita akan melewatkan kesempatan kali ini untuk meraih keuntungan.”

Utomo tersedak kaget. “Apa? Apa maksud Pak Bram? Bapak ingin RUU diputuskan berdasarkan mekanisme sidang? Bagaimana kalau nanti hasilnya tidak berpihak kepada saya dan sekutu kita? Pak Bram lupa? Masih ada mimpi yang harus kita capai ke depan, Bapak akan maju menjadi presiden, dan itu butuh dana sebesar-besarnya.”

“Saya yakin, RUU yang akan dibahas tidak seburuk itu hasilnya kalau diserahkan pada mekanisme sidang. Jadi jangan terlalu berlebihan.”

“Berlebihan? Maksud Bapak? Pak Bram, kampanye Bapak nanti butuh banyak biaya, saya dan semua sekutu kita tidak sepenuhnya mampu mendukung Bapak kalau kita tidak bisa sedikit saja mengambil untung dari proyek-proyek yang ada di masterplan kita.”

Bram tersenyum dingin. “Tidak bisa mengambil untung sedikit? Pak Utomo, Anda dan sekutu Anda saat ini memonopoli pertambangan batubara di Kalimantan, termasuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan kecil dengan cara ilegal untuk menekan pengeluaran kalian. Untung seberapa besar lagi yang masih kalian incar?”

Utomo tersurut. “Agenda kita butuh biaya. Tidak masalah angka, sebanyak mungkin semakin baik.”

Bram menaruh cangkir tehnya dan tercenung sejenak sebelum kemudian bicara dengan nada tak terbantah. “Pak Utomo, mundur satu langkah demi kemajuan di masa depan adalah sebuah harga yang layak. Tolong mengerti.”

Utomo terdiam. Beberapa saat hening, sampai kemudian dia terkekeh dan mengembuskan napas keras. “Mohon maaf, saya tidak setuju. Bagi saya, satu kemunduran sudah pasti akan disusul kemunduran lain. Saya tidak bisa membiarkan itu terjadi.”

Bram mengangguk. ”Baik. Kalau begitu, Anda siap menghadapi semua tanpa bantuan saya, kan?”

Utomo termangu. “Bapak lupa, kita punya perjanjian,” ujarnya. “Kita sama-sama memegang kelemahan masing-masing, dan itu membuat kita harus saling membantu.”

Bram tertawa kecil. “Saya hanya membantu mereka yang mau dibantu. Kalau salah satu sekutu saya memutuskan untuk menenggelamkan diri, kenapa saya harus ikut?”

“Begitu? Apa Anda akan mengkhianati saya seperti dulu Anda mengkhianati Aryo Seto?”

Ekspresi Bram berubah dingin. “Jangan mengingatkan saya pada pilihan buruk yang saya buat hanya untuk membantu Anda, Pak Utomo. Saya tidak akan pernah memaafkan Anda karena kematian Aryo Seto. Mengerti?”

Utomo tertawa. “Mungkin saya yang memerintahkan kematian Aryo Seto, tapi Anda yang mengirim nyawanya pada saya. Anda juga yang mencemarkan namanya sampai seluruh dunia menganggapnya sebagai noda di dunia pers. Perlu saya ingatkan? Dia sahabat Anda.”

Tatapan Bram menusuk, semakin menakutkan. “Anda tahu apa yang bisa saya lakukan pada orang terdekat jika dia tidak sejalan dengan tujuan saya, bukan? Menurut Anda, haruskah saya mengorbankan semua rencana besar saya demi memuaskan keinginan Anda untuk mendapatkan receh saat ini? Tidak ada sekutu abadi di dunia ini, Pak Utomo, adanya kepentingan yang abadi. Saya harap, kita tetap memiliki kepentingan yang sama supaya tidak perlu saling menjatuhkan.”

Tawa Utomo menghilang sama sekali. Meski dengan segala embel-embel dan latar belakangnya sebagai putra mantan penguasa, bukan berarti dia tidak mengalami rasa gentar sama sekali saat pria sebayanya ini melontarkan ancaman. Bram bukan hanya cerdas, dia juga sedikit gila. Lebih gila dari Utomo yang biasa melakukan banyak hal melanggar hukum.

*****

Roberto Bulaeng dan salah satu anggota partai yang bersamanya merasa tidak enak melihat perubahan suasana hati Utomo setelah bertemu dengan anggota dewan paling berpengaruh di Indonesia, Bramantyo. Tadinya, Utomo berniat memperkenalkan Berto dan si orang partai kepada Bram, tapi tak dinyana,  sang anggota dewan menolak dengan tegas karena dia harus melakukan pekerjaan lain dan hanya bicara berdua saja dengan Utomo. Tentu saja itu membuat mereka merasa dikecilkan, terlebih saat asisten sang anggota dewan meminta mereka menunggu dan mengatakan kalau mereka bisa menjadwal ulang pertemuan dengan Bram kalau memang merasa perlu menemuinya.

Mereka tahu Bramantyo adalah seorang berpengaruh, dia sanggup menjatuhkan seorang presiden sekalipun kalau mau dan memiliki jaringan yang sangat kuat, tapi bukan berarti boleh meremehkan mereka, kan?

“Bert,” panggil Utomo yang sejak tadi diam saja.

“Ya, Pak?” Berto cepat-cepat menjawab.

Utomo menimbang sejenak. “Wartawati yang membuat artikel soal paket proposal itu mantan pacar kamu kata Pak Herman, betul?”

Berto ragu. “Uhm … betul, Pak.”

Utomo mengangguk sambil berpikir. “Kalau begitu, saya punya misi untuk kamu.”

Berto langsung waspada. “Uhm … misi?”

Utomo menatapnya. “Kamu jebak dia dalam sebuah skandal. Saya ingin kamu tidur dengannya dan merekam semua yang kalian lakukan lalu berikan kepada saya hasil rekamannya. Beri tahu apa pun yang kamu butuhkan untuk mendekati dia, yang penting, kamu harus berhasil.”

Berto termangu dan berpandangan dengan orang partai yang terlihat sama terkejutnya dengan dia mendengar instruksi Utomo.

“Maaf, Pak Tomo. Kami putus sudah lama … dan saya sudah ….”

“Aku yakin, Pak Rahmat dan juga Pak Herman tidak akan keberatan kalau kamu sedikit terkena skandal. Jangan khawatir, kita bisa mengatur pers dan menempatkannya sebagai pihak yang bersalah, bukan kamu.”

Berto langsung merasa sakit kepala. Instruksi Utomo adalah sebuah perintah yang tidak boleh dibantah, tetapi mendekati lalu meniduri Diana setelah bertahun lalu dia meninggalkannya dengan kejam, apa tidak keterlaluan?

BERSAMBUNG.

Seru? Episode berikutnya Rabu nanti, ya. Buat yang gak sabaran, eike udah taruh lengkap di Karyakarsa. Ada beberapa bab yang cuma eike taruh sana karena muatannya yang cukup dewasa.

So, sampe ketemu dan maacih buat kesetiaan kalian. Jaga kesehatan dan sayangi orang terdekat kalian ya.

Winny.

Tajurhalang Bogor 10 April 2023

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now