38. Kekasih Yang Cerdas

Start from the beginning
                                    

Diana langsung bungkam. Benar juga. Tyo tidak mempertanyakan atau melarang, dia barusan hanya bertanya dengan nada biasa, kan? Kenapa Diana justru bersikap defensif?

Sorry, Tyo. Kayaknya aku lagi rada sensitif, nih,” akunya. “Kamu sih, dari kemarin rada jaga jarak gitu sama aku.” Sebagai perempuan, boleh dong dia melemparkan kesalahannya kepada sang pacar? Perempuan itu enggak pernah salah!

Ekspresi Tyo langsung berubah, membuat Diana seketika curiga. Jadi betul? Tyo menjaga jarak darinya?

“Kita bicara lebih banyak nanti, ya? Kamu masuk dulu saja, tunggu tanda dari aku,” pinta Tyo, langsung mengalihkan pembicaraan.

Naluri perempuan Diana ingin mendesak sang pacar untuk bicara saat itu juga, tetapi, naluri jurnalisnya tahu kapan dia harus membuat prioritas. Sedikit segan, dia pun mengangguk dan langsung turun dari mobil. Tanpa menoleh—sesuai instruksi Tyo agar tetap terkesan kalau dia memakai taksi daring—dia pun langsung melangkah menuju ke warung kecil yang ada di depan kantor bank. Sesuai instruksi Tyo juga, dia melemparkan lirikan ke sekeliling, memastikan tidak ada apa pun yang mencurigakan. Di situ, dia membeli beberapa permen dan juga plester luka, sempat tergoda untuk membeli rokok tapi membatalkan niatnya. Setelah menunggu beberapa menit, sebuah pesan dari Tyo masuk ke ponselnya, memberi tahu kalau dia sudah bisa masuk. 

Saat memasuki lobi, Diana melihat kekasihnya sudah berganti samaran. Tyo terlihat betul-betul mirip orang Arab dengan hidung mancung dan tinggi tubuhnya yang di atas rata-rata. Dia berdiri di lobi, bersedekap dengan tenang dan berada dalam antrian. Meski tampak begitu arogan dan tidak pedulian, Diana tahu kalau tatapan Tyo tengah menyapu sekeliling, memeriksa keadaan. Samaran yang membuatnya terlihat menyolok, otomatis mengalihkan perhatian semua yang ada di situ. Diana pun memasuki ruangan dengan leluasa tanpa ada yang memperhatikan.

“Mbak Diana? Silakan ikut saya,” pinta seorang petugas setelah Diana menunggu selama beberapa menit. Petugas itu membawa Diana ke sebuah ruangan penuh kotak, mengambil sebuah kotak deposit yang disewa Aryo Seto, dan membantunya sampai dia siap melakukan urusannya sendiri. Setelah itu, sang petugas meninggalkannya sendirian.

Dengan perasaan bercampur baur, Diana membuka kotak dengan kunci yang selalu dibawanya ke mana pun. Tangannya sedikit gemetar saat membuka tutup kotak, dan matanya melebar melihat apa yang ada di situ. Beberapa lembar kertas berwarna kekuningan, map-map usang menunjukkan logo lembaga tertentu, lalu beberapa disket, diska lepas, perekam mini, dan sebuah agenda. Tak sadar, napasnya mengembus keras. Ternyata ada bukti yang luar biasa di dalam kotak ini!

Diana mengepal dan membuka tangannya, berusaha mengusir gemetaran karena antusiasme yang membumbung naik. Dia meraih tas belanja yang dibawanya, memasukkan seluruh isi kotak ke situ, lalu keluar. Setelah bicara sejenak dengan petugas yang tadi membantunya, dia pun melangkah ke ruang tunggu kasir, di mana Tyo sedang duduk sambil melihat ponselnya. Tak kentara, Diana menaruh tas belanja dekat Tyo, lalu meraih tas belanja lain yang serupa, yang sudah disediakan Tyo. Setelah itu dia melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun, dan berdiri di depan gedung bank. Menunggu Tyo menjemput dengan samaran supir taksinya.

*****

Rahang Tyo mengeras. Ekspresinya makin lama makin gelap, dan kemarahan memancar dari sorot matanya yang tajam. Tangannya yang kekar bahkan mulai gemetaran melihat lembaran kertas tertentu yang memiliki bercak kecoklatan di beberapa bagian, sementara Diana menatapnya iba.

“Mereka betul-betul serakah! Bisa-bisanya mereka berpikir surat macam ini memiliki dasar hukum yang kuat? Sudah jelas ada unsur pemaksaan di sini,” lirihnya sambil menjauhkan kertas itu sejenak dan mengusap wajahnya, frustrasi. Dia menunjuk pada bercak-bercak cokelat di kertas. “Ini pasti bercak darah karena penganiayaan.”

Diana mengusap punggungnya, ekspresinya juga menunjukkan kemarahan yang sama. “Pemindahan hak atas perusahaan, tanah, dan bangunan hanya dalam selembar kertas kayak begini …. Ini sebabnya, Bapak, juga kakak dan kakak ipar kamu sampai harus disingkirkan. Kalau saat itu mereka membawa ini ke polisi atau jaksa, sudah pasti ini akan membuat gempar.”

“Mereka memang berniat melakukan itu, Di. Kata Mbak Tami, mereka akan ke polisi setelah menemui seseorang yang katanya bisa dipercaya. Orang itu adalah seorang petinggi kejaksaan. Karena Utomo ini adalah orang kuat berlatar belakang kekuasaan lama, dia enggak bisa sembarangan diseret gitu aja. Makanya, Pak Aryo, kakak, dan kakak iparku berniat mencari orang kuat juga untuk membekingi mereka.”

“Kalau begitu, siapa orang kuat yang mereka temui?” Diana mengerutkan keningnya.

Tyo ikut berpikir. “Aku … sama sekali enggak tahu, Di.”

Hampir berbarengan mereka menghela napas.

“Kebiasaan jelek, nih, si Bapak. Enggak pernah ngomong sama sekali soal agendanya. Mau ketemu siapa atau pergi ke mana, selalu aja selonong boy,” gerutu Diana.

“Mbak Tami juga,” keluh Tyo.

“Ya sudah, kita berusaha lebih keras lagi, Tyo. Aku akan lihat lagi ponsel kakak kamu dan coba menerjemahkan kode yang mereka pakai. Kamu, bawa semua dokumen ini, nyamar jadi orang Arab atau apa kek, sewa kotak deposit. Usahakan, jangan di bank yang sama denganku dan Bapak, atau kakak kamu. Jangan juga di bank tempat gaji kamu biasa ditransfer. Sebisa mungkin kita sembunyikan fakta kalau kita sudah melihat bukti ini, minimalisir risiko apa pun. Oke?”

Tyo mengangguk. “Aku akan minta bantuan Yoyo.”

Diana langsung semangat. “Iya. Yoyo! Tapi, jangan sampai hubungan kalian terungkap, Tyo. Dan usahakan, kalian jangan ketemuan sebagai sepupu terang-terangan.”

“Baik.” Tyo menatap Diana yang terlihat masih serius berpikir. Rasa bangga meluap di dada, menyadari betapa cerdas gadis cantik yang berstatus kekasihnya itu. Dalam situasi yang mengingatkan kembali pada kejadian traumatis delapan tahun lalu, Diana masih tetap mampu berpikir jernih dan terkendali. Dia bahkan bisa mengatur berbagai langkah dan tindakan yang harus diambil, sementara, Tyo sendiri malah merasa kepalanya kosong karena emosi. Tak sadar, dia mengulurkan tangan dan mengusap pipi Diana, lembut, membuatnya tertegun.

“Didi … aku beruntung, bisa lihat dan buktikan sendiri, betapa pintar dan hati-hati pacarku,” pujinya, tulus.

Diana mengerjap beberapa kali, sejenak termangu dan melayang karena pujian itu. Saat tersadar, dia salah tingkah dan mendorong Tyo hingga membentur jendela mobil. “Ih, Tyo! Aku, kan, lagi serius. Kenapa kamu malah bikin aku ge’er?” serunya, manja bercampur malu.

Tyo meringis sambil mengusap lengan atasnya yang sedikit sakit. Waduh … perempuan satu ini, mulai deh, kumat liarnya. Untung cantik, untung juga dia sayang.

Bersambung.

Okeh... segitu dulu, ya. Kayak biasa, kalo mau baca lebih cepet, silakan ke Karyakarsa, tapi kalo kalian emang sabar, tunggu aja di sini.

Buat yang mau dengerin eike jadi host podcast, silakan klik icon spotify di bagian bawah cerita. Mulai awal Mei nanti eike akan bawain cerita baru secara audio, loh, di sana. Yang suka ngantuk kalo harus baca, cuss, dengerin aja eike yang bacain alias dongengin. Di Spotify, podcastnya Winnyraca.

Sampe ketemu besok di bab berikutnya.

Maacih banyak.

Winny.
Tajurhalang Bogor 3 April 2023.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now