Audrey terkekeh, memperhatikan perubahan ekpsresi Arkan. Dari terdiam, lalu bengong ketika Emily mengatakannya tidak 'gentle' sebagai pria. Audrey berdeham. "Em, aku yang menyarankan kami menonton netflix. Kami ingin menonton film horor. Dan Arkan sulit menerima tawaranku. Aku tak ingin menyeretnya ke bioskop dan kejang disana."

"Ah, kau takut film horor?" Emily menatap Arkan dengan tatapan menuduh.

"Ya, aku takut hantu. Dan aku benci menonton film horor."

"Kenapa kau takut film horor? Kau laki-laki kak."

"Tak ada hubungannya dengan gender, Em. Apa kau tak takut film horor?"

"Aku takut."

"Nah, kau juga takut. Kita sama. Mungkin ini penyakit keluarga." Akran melemparkan tatapan bersimpati. "Jadi jangan salahkan aku. Kau takut karena alasanmu, dan aku takut dengan alasanku. Jangan seksis." Putus Arkan.

Emily mengertkan wajah masam. Dia mendesah dan melewati Arkan lalu kembali ke kamarnya.

"Ada apa dengan anak itu? Aku tak mengerti dengan perubahan moodnya." Sikap Emily menimbulkan enigma setiap kali mereka berinterkasi. Dia tak mengerti sama sekali. Arkan menatap Audrey memintanya menerjemahkan apa yang baru saja terjadi. Tapi Audrey malah mengedikan bahu dan tersenyum penuh arti.

"Apa maksud senyum mu itu?"

"Kalian mulai dekat satu sama lain." Jelas Audrey, dan raut wajah Arkan sedikit berubah. Arkan tak ingin dekat dengan Emily atau keluarga baru papanya. Dia tak ingin melibatkan diri dan menerima keluarga baru papanya terasa sulit baginya. Bukan berarti Arkan lebih suka mama dan papanya bersama, perceraian mereka adalah yang terbaik, tapi fakta bahwa Sonya ada dia antara kedua orang tuanya yang bertengkar dan dampak pertengkaran itu secara langsung baginya dan adiknya sulit untuk Arkan terima.

Audrey memeriksa ekspresi Arkan. Ekspresinya berubah. Itu perubahan halus. Tapi karena Audrey memperhatikan wajah Arkan, dia bisa melihat dengan tepat jika komentarnya barusan menyadarkannya dari sesuatu.

"Kita akan menonton setelah makan malam. Aku akan ke kamar." Arkan berlalu, meninggalkan Audrey yang heran.

***

Arkan menemukan Audrey yang sedang sibuk di dapur, sambil menelepon seseorang. Wanita itu membuhul rambutnya tinggi-tinggi. Audrey berdiri di depan kompor, memasukan sesuatu dan aroma harum menguar. Arkan mendekat, duduk di kursi bar. Menonton Audrey memasak.

"Tidak, aku belum dapat ide." Kata Audrey, dia menuangkan sesuatu, dan mulai mengaduk.

"Denis yang dipesta Lola kemarin tak memberimu ide satupun?" Itu suara Anjani.

Arkan ingat laki-laki yang di kenalkan Anjani pada Audrey. Arkan ragu ia tak akan menonjok laki-laki bernama Denis itu jika saja Audrey tidak berbalik dan menyudahi percakapan berlumpur mereka. Laki-laki yang membuat amarah Arkan mengelegak.

Dia mengincar Audrey! Dia playboy! Tentu saja Arkan tidak akan keberatan jika dia laki-laki baik-baik, bersikap sopan dan Audrey nyaman bersama dengannya. Wajar jika Audrey berfikir 'mengamankan' laki-laki itu segera. Tapi Denis sama sekali tidak melakukan dua hal itu. Itulah alasan Arkan marah. Karena ia melecehkan Audrey. Inilah sangkalan yang coba ia katakan pada dirinya. Arkan mengabaikan suara batinya yang mengatakan bahwa intervensinya tak ada hubungannya dengan Audrey, melainkan sepenuhnya kerena dirinya.

Karena dia cemburu! Konklusi dari malam-malam yang menyebabkan pikirannya sara bara akibat perasaannya.

Suara decakan Audrey mengalihkan pikiran Arkan. "Tidak, dia sibuk menerawang menatap tubuhku. Dan aku tak sanggup harus berdiri lama didepan laki-laki yang terus melecehkanku."

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now