Paundra hanya tersenyum seolah apa yang dikeluhkan oleh istrinya bukan masalah besar dan itu membuat Radisti sedikit kesal karena merasa disepelekan.

"Kak," Radisti memukul dada Paundra pelan untuk menarik perhatian suaminya.

"Hmm," gumam Paundra yang malah semakin menarik Radisti ke dalam pelukannya.

"Aku serius, kerjaan aku belum selesai," rajuk Radisti. Kendati begitu, Radisti akhirnya malah merapatkan dirinya ke Paundra.

"Nanti aku bantu, tentang apa sih memangnya? Paling seputar tidak kompaknya Presiden dan Wapres, kan? Atau tentang isu reshufle Menteri?" tanya Paundra sambil membelai rambut Radisti.

"Presiden mengaku sudah mengantongi nama-nama Menteri yang dianggap buruk kinerjanya dan nilai raportnya merah..." kata Radisti.

"Hmm...lalu?" Paundra mengatur bantalnya agar ia dapat bersender dengan nyaman.

Radisti menggeser dirinya, kepalanya ia sandarkan ke dada suaminya, sementara tangannya bermain di perut Paundra. "Kabarnya ada Menteri yang langsung dicopot, tapi ada juga yang bertukar posisi," kata Radisti. Perempuan itu merasa nyaman berdekatan dengan Paundra, menghirup wangi tubuhnya, mendengar detak jantungnya. Ah, ia sungguh tak ingin waktu lekas berlalu. Seandainya ia tak perlu ke Paris, seandainya Paundra tidak harus ke Inggris.

"Menurut analisa kamu, siapa aja Menteri yang akan diganti?" tanya Paundra.

Radisti menatap suaminya. Sejenak ia terpesona dengan tampilan suaminya yang agak berantakan karena bangun tidur. Baru saja ia akan menjawab pertanyaan suaminya, dering handphone terdengar. Radisti cemberut karena ia tahu nada tersebut dari handphone suaminya. Ia merasa tak adil hanya ia yang handphonenya mati.

Paundra tersenyum, menundukkan kepalanya hingga ia dapat mengecup bibir istrinya sekilas, meminta maaf. "Aku harus nerima telepon ini," sesal Paundra. Laki-laki itu menggerakkan tubuhnya perlahan dan bangkit dari tempat tidur membuat Radisti merasa kehilangan. "ya?" sapa Paundra tenang lalu menjauh dari Radisti.

Radisti kendati sebal karena terganggu namun tak bisa berbuat banyak, ia menyadari bahwa Paudra pasti menerima telepon yang sangat penting. Ia lalu melangkah ke luar kamar dan menuju dapur untuk membuat minuman. Tiba-tiba ia merasa haus dan ingin membuat minuman hangat.

Lima menit kemudian, Radisti sudah duduk di sofa dengan dua cangkir milo hangat di atas meja. Ia duduk bersila di karpet tebal berwarna coklat, tatapannya lurus ke arah layar televisi.

Sesekali ia menoleh ke arah kamar, namun Paundra tak juga terlihat. Mungkin pembicaraan itu sangat penting hingga berlangsung cukup lama. Ia mendengus kesal. "Katanya mau berduaan," gumam Radisti.

Radisti meraih cangkir lalu menyesapnya perlahan. Menikmati rasa manis nan hangat meluncur nikmat ke tenggorokannya. Ia suka sekali dengan milo...tatapannya lalu kembali tertuju ke arah televisi. Ia menyimak dialog pagi tentang isu reshufle kabinet sang Presiden. Pas sekali dengan tugas yang ia terima sebagai agen. Dengan serius Radisti melihat berita sambil meluruskan kakinya. Sesekali keningnya berkerut dan dari bibirnya mengomentari dialog yang berlangsung seru.

Suara langkah kaki terdengar membuat Radisti menoleh. Matanya membulat tak percaya melihat Paundra sudah rapi dan aroma wangi tercium dari tempat ia duduk. Rambut Paundra pun terlihat basah karena mandi.

"Mau kemana?" tanya Radisti dengan nada tak suka. Tadi katanya mau berduaan sekarang malah sudah berpakaian rapi. Ia merasa kesal sekali.

"Aku harus pergi," hanya tiga kalimat itu yang keluar dari bibir Paundra. Mata laki-laki itu menatap penuh sesal ke arah Radisti. "Aku..."

"Fine, aku ngerti," Radisti tidak ingin mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Paudra. Ia tahu itu pastilah sangat penting dan mungkin rahasia.

"Dis," nada suara Paundra terdengar lirih. Laki-laki itu sungguh tak ingin pergi meninggalkan istrinya, apalagi perempuan itu akan pergi malam ini.

Bibir Radisti mengerucut, cemberut. Namun toh ia akhirnya tetap menghampiri suaminya. Lihat saja, ia merasa seperti pembantu dengan daster biru mininya dan rambut yang dicepol asal.

"Maaf," kata Paundra. Tatapan laki-laki itu lembut ke arah Radisti. Mata bertemu mata...Paundra melihat ada kekecewaan di mata istrinya.

Radisti mengangguk. Menyambut uluran tangan suaminya yang lalu mengecup kedua punggung tangan istrinya.

"Aku pasti akan ce..."

"Nggak usah janji," Radisti menggelengkan kepalanya pelan. Radisti melepaskan tangan suaminya. Ia tersenyum menenangkan. Ia tak ingin Paundra merasa bersalah. Ia tak ingin lagi ada pertengkaran menjelang keberangkatannya.

"Dis,"

"Tugas yang utama, Kak...aku ngerti," Radisti mengalungkan kedua tangannya ke leher suaminya. Mendekatkan wajahnya ke arah Paundra. Ia dapat merasakan hembusan napas Paundra sangat dekat...Radisti mengecup bibir Paundra pelan, ada rasa mint yang segar. Ia suka sekali dengan wanginya...ah tepatnya ia suka semua yang ada pada Paundra.

Paundra mendesah pelan. Kecupan kecil menjadi lumatan yang membuat ia enggan melepaskan Radistinya. Kedua tangannya memeluk dan mengelus punggung istrinya. Ia sungguh tak ingin berpisah...tapi...tugas penting tak bisa dihindari. Ia harus pergi.

"Kak," Radisti menjauhkan wajahnya. Bibirnya bengkak karena ciuman mereka, napasnya terengah-engah. Wajahnya memerah...ah sangat menggemaskan. "Kamu harus pergi," kata Radisti.

"Dis," Paundra menatap Radisti tak rela. Matanya bertemu dengan mata Radisti...ah seandainya saja ia bisa menolak tugas yang diberikan. "Aku akan antar kamu nanti ke bandara."

Radisti walau tahu sepertinya hal tersebut mustahil namun ia berharap keinginan Paundra menjadi kenyataan. "Iya, mudah-mudahan urusannya lekas selesai, ya." kata Radisti tersenyum. Ia menggandeng tangan Paundra dan mengantarkannya ke depan pintu.

Terdengar suara klakson dua kali saat Paundra akan membuka pintu. Paundra sudah dijemput. Laki-laki itu menghela napas panjang.

"Aku nggak papa,"

"Aku tahu,"

"Ya udah, berangkat sana,"

"Iya, ya..." Paundra mendengus sebal, ia tak rela istrinya dengan mudah merelakan ia pergi. Paundra menatap lagi ke arah Radisti dengan intens, dari ujung rambut ke ujung kaki...seolah berusaha menyinpan kenangannya.

"Kak, udah waktunya," kata Radisti saat mendengar bunyi klakson. Sepertinya penjemput Paundra sudah merasa tak sabar.

"I love you," kata Paundra yang lalu mencium dahi Radisti. Tangannya lalu mengacak-acak rambut Radisti membuat perempuan itu mengerang protes.

"Kak,"

"Nggak usah ke luar, aku nggak mau orang lain sirik karena aku punya istri cantik walau hanya pake daster biru belel gini." goda Paundra sambil memencet hidung Radisti.

Sebelum Radisti protes, laki-laki itu dengan segera membuka pintu lalu menutupnya. "Sebentaaaar, sabar dong!" teriak Paundra.

Radisti mengintip dari balik tirai jendela. Ia melihat Paudra menaiki mobil alphard putih lalu mobil itu berjalan menghilang dari pandangannya. Ia tersenyum sedih. "Aku belum bilang, I love you too," mata Radisti berkaca-kaca. Perlahan ia menyeret langkahnya kembali ke kamar. Ah setidaknya ia sekarang dapat kembali mengerjakan tugasnya. Namun pun begitu ia merasa hatinya sesak dan berat, ia tahu masih akan berbulan-bulan lagi baru ia akan bertemu suaminya...seandainya saja mereka dapat selalu bersama...seandainya saja....

Catatan Mayya
Halooo....apa kabar? Maaf baru upload, agak sibuk-sibuk nih soalnya huhuhu...

Terima kasih ya untuk semua vote dan commentnya...let me know what u think yaaaak...

Maaf kalo ada typo, cuman sedikit dan gaje...ngetiknya di handphone di sela-sela kegiatan.

Thank u sekali lagi

I heart u...

The Mahesa'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang