21. Sia-sia

142 15 7
                                    

Tetap di sebut cinta, walau apa yang terjadi hanyalah sebatas angan dan tak pernah ada titik temu, membeku dan hambar.
Dan selamanya akan tetap di panggil cinta, walau entah rasa apa yang menghiasi.

Walau apa yang terjadi hanyalah sebatas angan.

Membeku dan hambar.

Afridial Tama Wibowo, berusaha menetralkan napasnya yang kembang kempis, bersandar pada pintu kamar yang baru ia tutup rapat-rapat, memejamkan mata mencerna perasaan aneh yang menjalari tubuhnya. Berteman untaian kata yang mengikat isi kepalanya saat ini.

Perasaan aneh yang Airin salurkan, sungguh ia tak pernah merasakannya. Tangan kirinya ia tempelkan pada dada, merasakan betapa cepat gerak degup jantungnya.

Seketika kepalanya serasa pening, pria itu membawa langkahnya menuju sisi ranjang mengambil posisi duduk bersandar pada kepala ranjang.

Pandangannya sayu menatap satu obyek, yaitu pantulan dirinya pada cermin panjang di sudut kamar.

Ada banyak hal yang berkecamuk pada dirinya saat ini, terutama kebodohannya karena pergi begitu saja dan tak mengindahkan ucapan Airin yang justru kini membuat rasa ingin tahunya membuncah. Oke, baiklah, itu memang Tama. Bisa saja, kedekatan mereka hanyalah sebatas teman. Mana mungkin kakak sepupunya itu akan melupakan pesannya. Pria itu tahu betul Tama menyukai Airin.

Ia tak menyangka jikalau kedatangannya mengantar kue lapis legit justru membawanya terbang menembus ganasnya rasa sakit. Tama tersenyum kecut, mencoba menepis penyesalannya.

Rangkulan tangan yang mampu meredam amarah, saling menuntun walau tak beriringan.
Saling berdekatan walau tak sejalan, satu ke barat dan satu ke timur, mereka selalu ada untuk melengkapi satu sama lain. Ya, itulah Tama dan Airin.
Bagi Tama itu saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka pantas untuk menjadi 'kita'.

Binar bola mata pria itu menyiratkan kecemburuan, tatapannya yang hangat kini berubah begitu dingin. Wajah yang selalu memancarkan senyum kotak itu kini terlampau datar.

Hati Tama bergetar hebat di relung yang paling sunyi, sekelebat kejadian-kejadian yang pernah ia lalui dengan Airin terlintas tanpa permisi. Mana mungkin bisa, dia melupakan begitu saja. Dia bukan seorang pengecut dan maniak hati.

Bulan, demi bulan telah mereka lewati, hingga berganti menjadi tahun. menciptakan serpihan memori dengan cerita-cerita baru yang bermunculan setiap harinya. Suka, duka yang seakan bergantian menghadang tiap jamnya. Cinta yang tak kunjung berujung dan semakin kacau, keromantisan romeo-juliet yang mengenaskan, atau kisah si olaf dengan ratu es yang diam di tempat. Entah yang mana, seakan menjadi bumbu penyedap kehidupan nyatanya selama beberapa tahun ini.

Lagi-lagi helaan napas kecewa terdengar dari bibir tebalnya. Menyadari betapa tersiksa dirinya yang selalu bersama kini berdiri seorang diri di tengah panas-dingin hatinya.

Bodoh, kenapa baru sekarang ia tersadar betapa berpengaruhnya keberadaan Rayyan diantara dirinya dan Airin.

Tama menggeleng, sepertinya teh hangat akan menetralkan pikirannya. Niatnya hendak ke dapur terhenti kala lampu tiba-tiba padam. Lupa sudah dengan niat awalnya, Tama justru membalik badan dan kembali ke kamarnya. Tapi bukan untuk mengerjakan tugasnya, namun duduk menggalau di tepi ranjang, yah, semood swing itu Tama. Kini ia memilih untuk memutar lagu-lagu bang fadli, dan mulai meratapi syair. Dasar kurang waras.

Hingga tak terasa, lantunan syahdu itu membawanya ke alam mimpi, tanpa ia sadari ponselnya berdenting ada satu pesan terabaikan di sana.

Bahkan hingga sinar mentari mulai meninggi, namun sama sekali tak mengganggu tidur nyenyak sang pangeran. Hasil begadang un-faedah semalam bahkan masih belum tuntas, dan tanpa sengaja terabaikan.

Suara teriakan sang ibu menggelegar menerobos mimpi, yang justru memperburuknya. Tama segera terduduk dari tidurnya, sembari berusaha membuka mata selebar mungkin. Berusaha menulikan pendengarannya.

"Yaelah," pekiknya, napasnya tersengal, tangannya terulur memijat pangkal hidungnya, mencari ketenangan di sana. Ia melirik sejenak ke arah jam dinding.

Oh, tidak, ini sudah terlalu siang! Kepalanya menoleh ke segala arah, mencari sesuatu di sekitarnya. Astaga, dia bahkan lupa meletakkan ponselnya dimana. Bahkan lagu yang ia putar pun tak lagi terdengar.

"Hadeh, kayaknya kemaren gue taro atas kasur deh, setan mana sih yang ambil?" gerutunya sembari melompati ranjang.

Ia melirik kembali ke arah jam, sudah tak ada waktu lagi, mata kuliah pertama akan dimulai 20 menit lagi. Tama menepuk kening, ia melupakan tugasnya. Lagi, dan lagi, semua karena waktu yang terbuang sia-sia.
Tama memang sekonyol itu.
Tapi, apa mungkin mengejar Airin, adalah hal yang sia-sia?
Bisa jadi, pesan yang gadis itu kirim semalam juga sia-sia.
Iya, kisah konyol yang sia-sia.

Lupakan sejenak tentang sia-sia, Tama mencoba membuka halaman selanjutnya dengan penuh kehati-hatian, berharap hari ini jauh dari kata bad day. Bahkan beberapa kali ia membenahi tatanan rambutnya yang mulai memanjang, kemeja bergarisnya yang tampak rapih, terakhir topi buntut dengan warna hitam yang hampir memudar. Ia siap membuka lembaran baru hari ini, matanya menelisik isi ranselnya, dan seketika menepuk kening tatakala ia melupakan tugas akhirnya yang bahkan tak tersentuh. Pria itu menghela napas panjang, entah apa yang akan ia katakan nanti sebagai alibi.

Dengan semangat baru, Tama membawa kemudi menyusuri jalanan dengan senyum merekah, dengan harapan harinya akan mengimbangi senyumannya. Tapi siapa sangka jika alam berpihak padanya secepat itu. Baru saja Tama turun dari motornya, ada hal lain yang menarik radar pria itu.

Ia berjalan empat langkah mundur, lantas menoleh ke arah gadis dengan setelan serba putih yang tengah berdandan di kaca spion.
Tama melipat tangan di depan dada, diam memperhatikan gerak-gerik sang gadis, beberapa kali ia menengok ke sekitaran memastikan jika tak ada yang memperhatikan gadis itu lagi selain dirinya.

Betapa terkejutnya Tama kala gadis itu justru sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan garang. "Lain kali gue bakal teriak kenceng kalo lo, terus ngintai gue kayak gini."

Kening Tama mengerut, "justru seharusnya lo berterimakasih sama gue, karena baju lo yang terlalu transparan itu."

Kerutan itu berpindah pada kening Bella, gadis itu memperhatikan penampilan yang sebenarnya tampak biasa saja baginya. "Bukan urusan lo, dasar mata keranjang."

Alih-alih memberi jalan, Tama justru menanggalkan jaket parasitnya yang ia tanggalkan pada lipatan lengannya. "Sama-sama." Ujar Tama sebelum beranjak mendahului Bella yang masih diam mematung, mencoba mengeluarkan serapahnya yang tertahan di pangkal lidah.
Untuk yang ini, sepertinya bukan hal yang sia-sia.

Belum jauh meninggalkan area parkir, Tama dikejutkan oleh tepukan Juno pada bahunya.

"Cie, romantisnya Bang Tama, dedek kan geli liatnya."

Abai, Tama lebih memilih diam fokus pada jalan. Namun, ia tak bisa diam kala tangan Juno bergerilya di area dagunya.

"Stres ya lo, minggir-minggir." Tama mendorong tubuh Juno hingga terjatuh ke semak-semak. Bukan hanya Tama yang menahan tawa bahkan beberapa mahasiswa lain tampak terbahak dari kejauhan.

Tak sampai hati, Tama kembali memutar badan, dan mengulurkan tangannya.

"Dedek butuh bantuan, sini abang bantuin," celetuknya dengan nada menggoda, membuat Juno mengeraskan rahang.

"Pikir-pikir dong lo, ancur deh kerapian gue," sungut Juno sembari membenahi penampilannya.

"Temen laknat lo."

Tama mengerjap mendapati kepergian Juno, selebihnya ia hanya mengendikkan bahu lantas pergi menyusul karibnya. Sepertinya pria bergigi kelinci itu benar-benar marah.

"Eh, Riana." teriak Tama, benar saja pria di sana sontak menoleh dan mencari-cari keberadaan gadis bernama Riana. Tama? Jangan ditanya ia tengah menggigit bibir menahan tawa. Laknat memang.

Menyadari Tama telah mengerjainya, Juno melepas sepatunya dan melempar bebas ke arah Tama- seharusnya. Tapi lihat, pria itu justru terbahak kala lemparan itu meleset dan-

Oops, seketika Tama terdiam setelah mendapati Juno berdiri mematung dengan wajah menegang. Perlahan Tama menoleh ke belakang, lantas meringis sembari tersenyum paksa.

Sepertinya Tama harus melupakan lembaran barunya, hari ini akan sama dengan hari-hari sial sebelumnya.

Kembar SialWhere stories live. Discover now