Chapter 6. Kecewa

Start from the beginning
                                    

"Ce Fiony sendirian? Dokter Freya mana?", tanya satpam di lobi yang kebetulan dekat dengan kami.

"Masih ada rapat pak Tedjo,  jadi pulang sendirian deh"

"Oalah, gak kehujanan 'kan ce? Deres banget itu di luar"

"Engga, bapak. Aman kok"

Pak Tedjo mengangguk ramah dan mempersilahkanku masuk ke apartemen. Aku melambaikan tangan ke arahnya saat ingin pergi naik lift untuk menuju ke kamarku. Bukannya senang ada yang memperhatikanku, aku malah jadi tambah galau. Sebutlah aku Fiony yang terlalu wanita untuk masalah seperti ini.

Aku membuka kunci pintu kamar, lalu memasukinya perlahan dengan salam. Melepas sepatu heels-ku yang menyakiti kaki karena berdiri sejam lebih menunggu dokter menyebalkan itu.

From: Freyanaku

Aku lembur, Piyo. Jam 10 baru selesai, kamu udah sampe?

-

Benar, aku tak akan membalasnya. Biar saja, aku sudah tidak peduli dengannya lagi. Pesan itu muncul sekitar jam 7 setelah aku mandi dan beberes ruangan. Aku tetap menyiapkan makan malam meski tau, lagi dan lagi kami tidak makan bersama.

Masak nasi goreng dari nasi sisa pagi tadi mungkin sudah cukup, toh Freyana juga pasti sudah makan saat rapat berlangsung.

Sesaat ketika aku masih sibuk di dapur, aku mendengar handphone-ku bergetar dari arah ruang tamu. Seperti ada yang sedang meneleponku tapi ku abaikan dan tetap fokus memasak.

15 menit setelahnya, telepon rumah berdering kencang dari ruang tamu pula. Aku malas mengangkatnya, maafkan aku yang sedang tak ingin berbicara dengan siapapun. Aku hanya menebak itu dari petugas kebersihan karena ini hari Sabtu. Hari biasanya mereka memberikan informasi untuk pengecekan dan pembersihan kamar untuk hari minggu.

Sudah memperkirakan begitu, jadi ku tinggal menikmati makan malam syahduku dengan nasi goreng telur dan naget kesukaan Freyana. Aku sisakan agak banyak karena takut ia tak menghabiskan nasinya nanti.

Selesai aku makan, handphone-ku bergetar terus menerus. Aku yang sedang menonton acara televisi akhirnya merasa terganggu dan tanpa melihat siapa yang menghubungiku itu langsung mematikan handphone.

"Lah malah iklan"

Momen terbaik tadi menjadi membosankan karena di jeda seperti ini. Sejujurnya, aku kesepian juga menunggu Freyana pulang. Tetapi--

"Piyo!?"

Suara pintu kamar terbuka dengan sangat keras dan menampakan sosok gadis berkacamata yang muncul di ambang pintu. Bajunya basah, rambutnya basah, semua yang ia bawa pun basah. Aku terkejut saat itu juga.

"Kamu nga-"

"Kenapa gak angkat telepon?"

Aku mengernyitkan dahi bingung. Melihat ke arah handphone lalu buru-buru menghidupkannya.

"Kenapa mati?", tanya Freyana lagi.

Aku menelan ludah panik.

"Kenapa gak bales chat? Kenapa gak angkat telepon? Kamu darimana aja sampe gak lihat hape?"

Aku menarik nafas, "Aku gak tau itu kamu, jangan marah dulu".

Aku takut, sebetulnya. Freyana marah sekarang. Aku beranjak dari sofa dan mengambil tasnya yang basah kuyup.

"Ganti baju dulu, nanti masuk angin", ucapku kepadanya dengan hati-hati.

Aku menutup pintu kamar sambil melihat Freyana yang terduduk dengan ekspresi muka yang masih menahan kekesalan. Aku membantunya melepas tali sepatu, namun segera ia menarikku untuk duduk di sampingnya. Ia melepas sepatunya sendiri.

Aku bingung.

Ia melepas kacamatanya lalu mengucek kedua matanya intens.

"Kupikir ada hal buruk terjadi.."

I feel bad. Aku tak terpikir sedikitpun telepon itu dari dia. Dan tak menyangka Freyana akan sekhawatir ini.

"Maaf, Fre"

"Kamu cuma nyantai daritadi, sengaja gak angkat teleponku?"

"Aku gak tau itu kamu, beneran"

"Kenapa gak di cek? Masa iya ada call gak di cek dulu langsung main matiin hape. Aneh. Kalo gak tau harusnya hape kamu gak mati"

Aku berusaha untuk tidak terbawa suasana. Aku menghela nafas kasar.

"Aku cape dari sore nunggu kamu yang ternyata rapat, mana pake lembur, aku males cek hape karena ku pikir.. ah. Aku mau tidur duluan"

Bersambung..

FREYANAWhere stories live. Discover now