05. Gangguan Dimulai

Start from the beginning
                                    

"Apaan itu?"

Batari memicingkan kedua matanya diantara kegelapan. Ia berusaha fokus ketika melihat ada sesuatu yang bergerak didekat meja makan sana. Tak terlalu tinggi, mungkin hanya sebatas lutut orang dewasa. Bodohnya lagi karena penasaran, perlahan Batari turun dari tangga. Ia semakin menajamkan penglihatannya.

Tunggu, apa makhluk itu tuyul?

"Bukan bukan, kalau tuyul kan botak. Tapi itu mah pake topi" Gumam Batari.

Kini Batari mendengar suara seperti seseorang sedang menguyah. Menguyah? Tunggu, memangnya hantu bisa menguyah? Ah, artinya sosok yang ada di dapur itu bukan hantu.

"Maling ini mah"

Setelah dirasa yakin, Batari mengendap-endap untuk menuju samping tangga. Seingatnya ada sapu disana. Ternyata benar masih ada. Tanpa suara sedikitpun, Batari mengambil sapu itu dan mulai menghampiri area dapur. Setelah semakin dekat, ia langsung menyalakan saklar lampu. Dan..

Cklek.

"Eh?"

Batari terlihat semakin bingung ketika dalam keadaan terang, ia sama sekali tak melihat apapun. Bahkan suara yang ia kira benda jatuh dan pecah, tidak ada tanda-tanda serpihan apapun disini.

"Batari.."

Sial. Tubuh Batari membeku seketika saat suara itu kembali terdengar. Tubuhnya semakin menegang ketika merasa ada desiran angin lembut yang menyapa leher dan pipi kirinya. Ketika hendak menoleh, tiba-tiba ada yang menarik ujung piyamanya dari bawah. Otomatis pandangnya teralih menunduk dan saat dilihat..

"Hallo.."

Tepat di hadapan Batari, ada sosok anak kecil laki-laki yang memakai topi baret dengan wajah begitu pucat. Saking pucatnya, semua urat di tubuh anak itu terlihat sangat jelas. Ditambah lagi, kedua mata sosok itu putih semua.

"Aaaaaa!!!" Batari berteriak sambil menggenggam erat sapu ditangannya.

"Boo!"

Hingga akhirnya tubuh Batari limbung ke lantai dan tak sadarkan diri. Sedangkan sosok anak kecil itu berlari sambil tertawa menembus dinding saat terdengar ada derap langkah kaki yang mendekat.

*****

"Ri.."

"Batari.."

Batari mengerutkan dahi dalam tidurnya. Ia menggeliat pelan diatas sofa tua ruang tengah. Hingga akhirnya, kedua matanya terbuka perlahan.

"Aaaa!!!"

Brukk!!

Batari menendang sosok di hadapannya hingga terjungkal ke bawah. Ia segera mengubah posisinya beringsut duduk ke ujung sofa. Dan tak lama kemudian sosok yang sempat jatuh tadi, kini muncul. Dia berdiri menatap Batari geram.

"Dek, apa-apaan sih? Sakit tau!"

Batari langsung menautkan kedua alisnya bingung. "Kakak?"

"Bukan!" Sewot Lokamandala sambil mengusap bokongnya yang sakit.

"Kok Riri disini sih? Kakak yang pindahin?"

Batari semakin bingung ketika terbangun dirinya sudah ada diatas sofa. Bukankah sebelum pingsan dirinya ada di dapur?

"Dih, ngapain juga pindahin adek dari kamar kesini? Malesin banget" Sahut sang kakak sambil meraih ranselnya.

Kamar? Itu artinya Lokamandala tak tahu kalau Batari sempat tergeletak di dapur? Lalu siapa yang memindahkannya ke sofa? Retania? Tidak mungkin. Ibunya itu pasti tidak akan kuat menggendongnya. Sialan, Batari paling tidak suka teka-teki. Membuatnya pusing saja.

"Eh dek, engga kuliah? Sekarang udah jam setengah delapan hayo" Sambung sang kakak seraya menuju ke arah dapur.

Membulatlah sudah mata Batari. "Apa? Setengah delapan? Ihh, kenapa engga bangunin lebih awal sih kak?!"

"Tuh ya! Tadinya kakak itu niat buat bangunin tau, tapi malah ditendang! Lagian punya kamar sendiri malah tidur di ruang tengah. Aneh"

Batari tak melayani omelan kakaknya, ia secepat kilat menaiki tangga dan langsung masuk ke kamarnya. Tanpa mandi terlebih dahulu, Batari langsung mengenakan kemeja moka dan celana joger hitam lalu meraih ransel diatas meja belajarnya.

"Kak, Mama mana?" Tanya Batari seraya menuruni anak tangga.

"Udah berangkat" Singkat Lokamandala sembari menyeruput habis segelas susu cokelat yang dibuatnya barusan. "Heh, mau ngapain?" Cegahnya ketika Batari hendak mengambil kotak susu.

"Bikin susu buat sarapan. Kenapa?"

Lokamandala langsung memperlihatkan jam yang bertengger di tangan kanannya. "Udah jam 07. 45, engga ada waktu buat sarapan. Kita berangkat sekarang"

"Ihh tapi kak, kan Riri belum sarapan" Rengek Batari sambil mengekori langkah kakaknya keluar dari area dapur.

"Derita sih, suruh siapa juga bangun telat. Kebiasaan. Kalau mau sarapan, silakan. Berarti engga berangkat bareng kakak"

Batari menggeram kesal walau langkahnya terus mengikuti Lokamandala hingga ke teras depan. Ia langsung menyambar kunci rumah yang kakaknya berikan.

Cklek.

Setelah mengunci pintu, Batari segera menghampiri Lokamandala yang sudah berada diatas motornya. Kemudian sang kakak langsung memasangkan helm pada kepala mungilnya.

"Cepet naik, sarapannya di kantin aja. Minta anter sama Arsa, jangan sama si kunyuk itu"

Batari yang sudah duduk di belakang Lokamandala, langsung mencubit pinggang sang kakak pelan. "Ih namanya Dudi, kak. Jangan gitu ah dia juga temen Riri tau"

"Serah. Kakak engga suka sama tuh anak"

Setelah adu mulut ringan itu, mereka berdua bergegas meninggalkan rumah untuk menuju tempat tujuan. Dan tanpa disadari, ada satu sosok yang memperhatikannya. Sosok itu hanya terdiam di samping pohon halaman rumahnya sembari tersenyum. Rambutnya yang pirang berhembus seiring dengan angin yang meniupnya sampai tak beraturan.

"Hansen, wat doe je hier?"

Anak laki-laki yang baru saja muncul sembari membawa boneka beruang kecil, langsung bertanya apa yang sedang Hansen lakukan.

Pria itu menggeleng sambil tersenyum, lalu jongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan anak lugu tersebut. "Hei, William. Kamu tau kan, kita sedang berada dimana?"

Anak laki-laki dengan kisaran umur lima tahun itu mengangguk lugu.

"Bagus. Kalau begitu, kamu harus bicara bahasa negeri ini juga. Mengerti?"

Dan untuk kedua kalinya anak yang dipanggil William itu mengangguk. Hal tersebut sukses membuat senyum Hansen kembali mengembang.

*****

Anjayy, apa jadinya coba kalau kalian ada diposisi Batari?

Malem-malem pingin pipis, malah disusuguhin pertunjukan kayak begitu. Hahahah.

Gapapa, saya juga pernah kok. 😌👍

*****

reginanurfa
-04032023-

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now