Bab 36 Jadi Asisten Pribadi Lagi?

88 14 0
                                    

Bab 36 Jadi Asisten Pribadi Lagi?

Mata Gea nyaris tak bisa berkedip, sibuk bergerilya memerhatikan tiap sudut ruangan rumah yang didominasi oleh warna putih pucat. Dari mulai sofa, lemari, hiasan dinding, sampai lampu gantung. Kepalanya nyaris meledak mengekori Ibu Gara yang melangkah dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Belok ke kiri, ke kanan, ada tiga lorong, belok kanan lagi, ruangan lagi, dan begitu seterusnya sampai mereka berakhir di ruang tempat makan yang luasnya dua kali rumah Gea!

“Ayo duduk, Ge. Gak perlu sungkan. Hari ini kebetulan chefnya akan membuat masakan dari Italia. Kamu suka pasta?”

Gea mengangguk meski ragu. Tak mau protes. Sungkan juga sih protes. Nanti ia dikira cerewet lagi.

Selang beberapa menit kemudian, beberapa orang pelayan menyajikan makanan di meja. Tepat di depan Gea dan Ibu Gara. Keduanya hanya diam saja sementara para pelayan sibuk menata, mengatur, sampai memosisikan hidangan pasta yang besarnya tak lebih dari kepalan tangan bayi di meja.

“Ayo, cicipi. Jangan sungkan, Gea. Anggap saja rumah sendiri.”

Gea malu-malu mengambil garpu. Memelitir helaian pasta yang teronggok di piring, lalu dengan hati-hati melahapnya.

“Bagaimana? Enak?” tanya Ibu Gara yang bahkan tak menyentuh garpunya sama sekali. Dari tadi hanya melihat Gea.

Gea mengangguk. “Enak, Bu.” Bukan enak lagi sebenernya. Karena rasanya tak pernah Gea temukan sebelumnya. Ini benar-benar enak! Sampai Gea begitu bersemangat menghabiskan makanan di piring. Baru setelah semuanya habis, ia tersadar akan sesuatu sampai membekap mulutnya sendiri.

“Mau nambah lagi? Pelayan akan menghidangkannya, Gea.”

Gea buru-buru menggeleng. Tampak panik sekali. “Gak usah, Bu. Segini aja cukup. Tapi … toiletnya di mana, yah? Gea … tiba-tiba pengen ke toilet.”

“Pelayan akan mengantarmu.”

Ibu Gara membiarkan Gea pergi. Setelahnya ia menatap pasta di depannya yang masih utuh dengan raut wajah kusut. Sebelum kemudian ia berkata, “bersihkan piringnya!”

Beberapa menit kemudian Gea kembali. Meja sudah bersih kembali seperti tak terjadi apa-apa di sana. Malu-malu ia kembali duduk di kursi.

“Ibu mengajakmu kemari untuk menanyakan soal berita itu, Gea.”

Sudah Gea duga. Tak mungkin juga kan Ibu Gara mau repot-repot menemuinya bahkan mengajaknya ke sini kalau bukan karena sebuah tujuan penting.

“Gea udah gak kerja lagi di Molapar, Bu. Terkait berita itu, semuanya gak bener. Tapi kalau Gara ngomong sebaliknya, Gea serahkan sama Ibu mau percaya ucapan siapa.”

“Kalau emang gak bener, harusnya kamu tetep kerja di Molapar dan membuktikan berita itu salah.”

“Gea gak punya waktu untuk mengurusi hal itu. Gea juga gak berpengalaman ngurusin beginian, apalagi sampai nama Gea terseret ke media dan dikenal banyak orang. Gea gak sanggup ketemu siapapun, Bu.”

“Jadi maksud kamu, kamu gak selingkuh sama Gara?”

Gea menceritakan secara detail akar permasalahan itu. Tanpa ada satu pun yang ditutup-tutupi pada Ibu Gara. Meski ia tak berharap banyak kalau situasi akan berubah. Toh namanya bahkan wajahnya sudah dikenal sebagai pelakor kok. Gimana caranya coba membersihkan nama baiknya ini? Gea juga gak punya cukup uang untuk melayangkan gugatan atas pencemaran nama baik.

Biarlah. Mungkin emang ini nasib dia karena sikap pengecutnya selama ini. Andai saja dulu dia tak takut dengan ancaman Gara, mungkin saja kan kejadiannya gak seperti sekarang ini. Ya! Ini juga salahnya sendiri sih karena bersikap pengecut.

FAT(E) LOVEWhere stories live. Discover now