"Kau betul tentang otak bisnisnya, tapi akan lebih baik jika kalian mengelolanya bersama. Cecil juga akan lebih santai bekerja denganmu, dia sedikit tertekan bekerja dengan semua orang tua di toko. Dia akan menjadi bosnya, tapi semua karyawannya berumur 40-an." Joe terdengar cemas. Audrey menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kakaknya yang selalu protektif. Bahkan untuk hal yang tak penting.

"Akan aku pikirkan ketika aku tak lagi berniat menulis. Dan Cecil tidak tertekan. Kau hanya terlalu overprotektif. Dia baik-baik saja." Dia mencuci cumi dan ayam. Lalu mulai membuat bumbu cumi asam manis dan ayam teryaki.

"Aku tidak overprotektif, Au. Dan menunggumu tak berminat menulis itu mustahil."

"Nah, aku senang kau mengerti maksudku." Terdengar desahan Joe. Dia yakin kakaknya memutar bola mata kesal padanya saat ini. "Bagaimana persiapan pernikahannya? Cecil pasti kesulitan menanganinya."

"Sejauh ini, kakaknya dan mamanya akan membantu. Dan dia memintaku untuk memaksamu membuat wedding cake nya. Makanya aku meneleponmu."

Audrey mengerinyit heran. "Kau meneleponku dalam rangka memaksaku?"

"Ya, sekarang aku sedang memaksamu." Nada lembut itu tak bisa dikategorikan 'memaksa'.

Audrey mendengus geli mendengar jawaban kakaknya. Tak yakin apakah ia harus tertawa atau prihatin dengan kemampuan Joe bernegosiasi. "Baiklah, aku terima paksaanmu itu. Tapi kau harus tau, kau memang bodoh dalam tawar menawar Joe. Yang tadi bukan paksaan tapi permintaan. Kau harus belajar lagi dari Memem, mulai lah mengikutinya ke pasar membeli bahan dapur toko." Joe mengerang di balik telepon. "Aku benci pasar tradisional. Becek, sepatu dan kemejaku bisa rusak."

Dan sekarang giliran Audrey yang memutar bola matanya. Pria necis dan rapi seperti Joe, akan sulit diseret ke pasar. "Itu sama mustahilnya denganku yang berhenti menulis." Audrey terdiam sebentar. "Apa ada lagi yang bisa aku bantu? Selain wedding cake? Mungkin menghias kamar pengantin kalian? Atau kau mau aku membelikan Cecil lingerie? Katakan padaku? Kakakku tercinta ingin aku membelikan warna apa? Aku bersedia melakukannya." Audrey mengupas bawang bombay. Lalu mulai memotongnya dan mencincangnya.

"Oh yang benar saja, aku tak percaya aku membicarakan kamar pengantinku dengan adikku yang lugu. Dan jangan menghadiahkannya sesuatu yang akan aku robek, kau buang-buang uang."

Audrey tergelak mendengar suara malu-malu kakaknya. "Oh, apa yang perlu kau malukan. Kau mencuri ideku. Ingat. Aku yang memberikanmu ide melamar Cecil di danau itu. Bagaimana? Dia bilang kau romantis? Aku yakin dengan banyaknya lilin yang kau sebar disana, itu menjadi hari romantis baginya."

"Jangan tanya, dia menerorku setiap saat bertanya-tanya dari mana aku mendapatkan ide romantis itu untuk melamarnya." Joe berhenti sebentar, bertanya dengan khawatir. "Apa disana hujan? Kau baik-baik saja? Bosmu tidak menerkammu kan? Dia tidak mulai merayu atau menyentuhmu kan?"

Audrey berhenti ketika ia sedang melumuri tepung di ayam teriakinya. Arkan memang tidak menerkamnya, tapi dia tak yakin itu tidak akan terjadi. Melihat mata Arkan yang panas setiap kali menatapnya, dia akui, dia mulai takut dan- bersemangat. "Aku baik-baik saja, tidak terjadi apa-apa. Kau bisa tenang. Dan aku bisa menghadapi hujan disini. Aku tak sendirian."

Audrey yakin ia bisa tenang. Setidaknya ada Arkan. Dia tak akan sendirian jika ada petir atau guntur. "Aku tak bisa tenang mendengarmu tinggal dengan bosmu, Au. Tidak, sebelum aku yakin dengan mata kepala ku kau baik-baik saja."

"Oh, kau memang overprotektif-obsesif. Apa kau tau itu penyakitmu? Aku heran, Cecil bisa bertahan denganmu. Dia gadis bebas, aku yakin dia cukup bersabar denganmu, Joe."

Audrey mulai menggoreng cumi yang sudah ia lumuri tepung dan bumbu. "Itu juga yang membuatnya memilihku. Apa kau membawa lilin aroma terapimu?"

"Tidak, aku tak sempat. Tapi aku punya teh chamomile."

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now