- 19 -

290 66 20
                                    

“Pertolongan untuk Toga-chan, uhm ....”

Walaupun Toga masih muda dan tidak tahu apa-apa, mendukung bakatnya lebih dini adalah pilihan terbaik saat ini.

Aku bertanya-tanya di internet, ada 'kah yang tahu cara mengarahkan penyuka darah ke jalan pahlawan?

Mereka jawab itu mustahil. Mungkin karena aku menulis 'penyuka darah', sehingga penolakan langsung memenuhi halaman pertanyaan.

Ingin aku minta bantuan pahlawan darah seperti Vlad King, tetapi jika dihitung dengan waktu sekarang, dia dan guru lain masihlah baru sebagai pahlawan.

Napasku berembus. Udara semakin dingin. Bulan desember mendekati tugas akhir kuliah. Aku sudah selesai menghapal tarian untuk menyambut tahun baru, selain itu perubahan orang-orang dalam mengunjungi kuil berhasil meningkat pesat berkat promosi yang kami—para mahasiswa—lakukan.

“You-chan!”

Suara Atsuhiro membuat kepalaku menoleh ke belakang. Aku yang awalnya asik memandang kota di bawah pun melambaikan tangan atas kedatangannya.

“Maaf terlambat!”

Dengan mantel hitamnya, Atsuhiro mendatangiku ke pagar pembatas, menyerahkan minuman kemasan. Itu sangat hangat untuk tanganku yang kedinginan akibat melupakan sarung tangan di laci meja tempat les. Tetapi genggaman hangat dari jemari besar milik pemuda di sebelah segera menyentakku kembali pada kenyataan.

Aku mendongak ke kanan, mendapati Atsuhiro yang tersenyum percaya diri.

“Tidak keberatan, bukan?” tanyanya.

Aku mengerjapkan mata, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepala bersama perasaan hangat, balas menggenggam tangannya dengan mengaitkan jari-jemari kami.

Atsuhiro mengulum bibirnya melihat tautan tangan kami, lalu membuang muka dan mendesah lemah.

“Mengingat pertemuan pertama kita, tidak seharusnya aku mencoba menggoda You-chan.”

Sontak aku tertawa, teringat dengan pencopetan yang dilakukan Atsuhiro sebelum pemuda itu kena getahnya dan berakhir menghadapi sikap agresifku dalam melawannya.

“Tidak keberatan, bukan?” balasku.

Atsuhiro menutupi mulutnya dengan kaleng minuman, seakan menahan tawa. “Tentu saja tidak!”

Aku merengut. “Apa itu lucu? Kau mengejekku?”

“Tidak, sumpah! You-chan terlihat sangat menggemaskan!”

Pun aku membuang muka, berharap pipi panas ini tak memperlihatkan semburat merah walau tahu betul lampu jalan tidak begitu terang.

“Heh! Tidak mempan!”

Aku melepaskan tautan tangan kami, berniat membuka minuman sebelum dingin merebut hangat. Namun Atsuhiro terperanjat, bertanya khawatir apakah aku tersinggung.

“Ti-tidak, kok! Kenapa jadi seserius itu ‘sih? Kita sudah sering bercanda ‘kan? Santai saja!”

Aku terbahak, menyenggol lengan Atsuhiro yang kini bernapas lega.

Kini pemuda itu ikut serta membuka kaleng minumannyanya, Milk Tea. Lalu perhatian kami tertuju pada pemandangan kota yang berkilauan saat dilihat dari atas bukit.

Rasanya damai sekali meskipun ada banyak manusia lainnya di sekitar kami melakukan kegiatan yang sama, mengobrol dan menikmati waktu bersantai selepas kerja.

“Kau sudah bilang pada adikmu kalau pulang larut?”

“Tidak. Nanti ditanyainya macam-macam.”

“Nanti dia khawatir, lho?”

Villain ShelterWhere stories live. Discover now