- 18 -

284 69 8
                                    

Tidak ada surat atau undangan Komisi Pahlawan Keamanan Publik dari Hawks setelah aku memberitahunya mengenai quirkku. Padahal aku sangat menunggu balasan mereka sembari melaksanakan tugas akhir dan bekerja. Kalau begini caranya, Dabi akan semakin membara dan terlihat mirip penjahat ketimbang pahlawan. Aku mendukung balas dendamnya terhadap Endeavor, tetapi aku tidak tega melihat Dabi terus terluka. Selain itu, aku berharap agar Dabi menjaga kondisi tubuhnya supaya masih bisa mandi.

Aku mengapit dagu, memandang serius makan malam. Kali ini hanya ada aku dan Shigaraki—maksudku Tenko. Sangat sunyi, hanya terdengar suara alat makan yang dia gunakan. Aku masih asik melamun, memikirkan cara agar dapat menemukan dokter yang tepat.

Harus 'kah aku minta bantuan para pahlawan? Harusnya ada yang baik.

Dan tentunya All Might baik. Tetapi bagaimana caranya agar kami bisa bertemu? Kalau aku mengungkit Shimura, nanti dicurigai—misal, mengapa aku bisa tahu bahwa Shimura Nana adalah guru All Might dan tiba-tiba membawa nama tersebut? Padahal Dabi atau Toga tidak ada hubungannya dengan Shimura. Selain itu, wali kelas Dabi juga pasti kerepotan, tidak punya waktu mengurus muridnya secara khusus.

Neesan?”

“Hm?”

“Kenapa tidak dimakan?”

“Dimakan, kok.”

Aku memasukkan makan malam dengan cepat sebelum tersedak ringan oleh ketidaksabaran.

Tenko tercengang, segera pindah duduk untuk menepuk punggungku.

“Kenapa terburu-buru?” ia bertanya. “Katsudonnya tidak akan lari.”

Sontak aku tertawa mendengar guyonan Tenko, maka semakin ganaslah batukku.

“Maaf, Neesan ...!”

“Tidak apa—uhuk! Lagi pula, sudah lama kita tidak bercanda berdua!”

Tenko tersenyum, lalu mendadak memelukku dan menempelkan pipinya di kepalaku. “Kalau begitu usir saja para pengangguran itu, mereka mengganggu waktu kita sampai-sampai Neesan tak terbiasa lagi bersama adiknya.”

Aku terbahak, balas memeluknya dengan erat hingga Tenko mengaduh sakit punggung dan kami terbaring menatap langit ruangan.

Neesan berpikir menyewa kamar yang lebih besar untuk mereka. Bukan 'kah bakal asyik kalau kita semua tidur bersama?”

Tenko mendengkus. “Lebih baik uangnya untuk foya-foya.”

Mendengar ucapannya, mau tak mau mataku membelalak. “Ten-chan! Siapa yang mengajarimu hidup tidak tahu aturan begitu?!”

“Tapi aku benar 'kan?!”

“Iya 'sih ....”

Aku merengut, mengajaknya kembali makan malam. “Tapi 'kan seru kalau kita tinggal bersama?”

“Tidak.” Tenko mengerutkan hidung. “Neesan nanti akan menyesalinya. Menyukai mereka bukan berarti harus tinggal bersama selamanya 'kan? Kita juga perlu waktu sendiri.”

Aku mengerjapkan mata, tanpa sadar menutup mulut menggunakan telapak tangan dan menatap Tenko tidak percaya. Anak ini—sudah dewasa!

“Bagaimana kalau nanti uangnya kita pakai jalan-jalan saja? Misal ke gunung atau pantai,” usul Tenko.

Aku mengangguk semangat. “Ide bagus! Kita pergi saat libur musim dingin bagaimana?! Ke penginapan di atas gunung, lalu menikmati pemandian air panas!—eh, tapi kuliah Neesan belum selesai ...,” balasku, lesu di akhir kalimat.

“Pemandian air panas ...,” lirih Tenko, dengan alis tipis bertaut. “Lebih baik kita ke pan—atau ke taman bermain saja!”

Tiba-tiba Tenko mengepalkan tangan dan memukulkannya ke atas meja. Aku terheran-heran, lalu mengangguk setuju melihat ekspresi seriusnya.

Villain ShelterWhere stories live. Discover now