"Siap, Mama!" jawab Laras sambil memberi hormat pada ibu negara rumah ini.

Laras pun mengajak Stevy pergi. Dengan canggung, Stevy memberi senyum pada Airin. Sekedar meminta ijin untuk pergi mengikuti Laras. Dengan sepatu converse hitam yang masih ia kenakan, kaki Stevy berjalan mengikuti. Mengikuti gadis yang mulai menaiki satu demi satu anak tangga.

Kini keduanya sampai di kamar berukuran lima meter persegi dengan cat berwarna merah muda. Banyak ornamen berwarna merah muda di sini. Stevy tahu betul jika Laras teramat menyukai warna itu daripada warna lain. Itu sebabnya, ia tidak terlalu kaget dengan dominasi warna ini.

"Sekarang, lo mandi dulu sama ganti baju. Gue mau ke bawah buat bantuin Mama. Nanti kalau makan malamnya udah siap, gue kesini." Laras menginterupsi dan Stevy mengangguk kecil. Senyumnya terkembang.

"Laras, terima kasih. Lo udah bantuin gue," ujar Stevy.

Laras merespon dengan senyumnya. Lalu, berlalu keluar dari kamar. Gadis itu kini sendiri di kamar kawannya. Stevy menghela napasnya panjang. Sejenak, ia berpikir apa hal yang dilakukannya benar atau tidak. Namun buru-buru ia tepis pikiran itu.

"Stevy, lo udah ngelakuin hal yang benar. Lagi pula, Ayah udah enggak sayang lo lagi. Jadi, buat apa lo di rumah?"

***

Suasana makan malam kali ini berbeda dari malam-malam sebelumnya. Stevy bisa rasakan perbedaan itu. Ketika sebelumnya, akan ada ceramah dari sang ayah dan segelintir peraturan. Hari ini, hal itu tidak ada lagi. Suasana hangat amat terasa. Stevy memang orang luar di keluarga ini. Namun, mama Laras terlihat memperlakukannya seperti anak sendiri. Termasuk Setya Adiguna, papa Laras.

"Om denger dari Laras, kamu jadi wakil ketua OSIS di sekolah, bener?" tanya Setya pada kawan anaknya itu.

Stevy mengangguk malu-malu. Di luar dugaan, Setya malah menepuk tangannya. Seolah bangga pada Stevy. "Hebat, dong. Tugas wakil ketua OSIS itu juga sama beratnya dengan ketua. Jadi, Stevy termasuk siswa yang hebat."

Stevy kini tampak malu-malu di tempatnya. Laras yang melihat itu lantas berceletuk, "Lihat, Pa! Stevy jadi malu gara-gara Papa!"
Laras tertawa kecil. Diikuti Setya, ayahnya. Sementara itu, Stevy hanya bisa menendang kaki Laras sambil menatapnya tajam. Kebetulan Laras duduk tepat di hadapan Stevy. Namun, gadis itu enggan berhenti tertawa.

"Udah, udah! Fokus makan! Jangan bercanda terus!" Airin mulai mengomel. Membuat suami dan anaknya berhenti. Meskipun sesekali mereka saling menatap dan tertawa kecil.

Airin beralih menatap Stevy yang duduk di sisinya. "Stevy, kalau kurang nasinya bisa tambah. Makan yang kenyang," ujarnya.

Gadis di sebelahnya itu tersenyum kecil sambil mengangguk. "Terima kasih, Tante."

"Enggak perlu terima kasih. Anggap saja, kamu ini anak tante juga. Jadi, enggak perlu sungkan, ya?" Sekali lagi Stevy hanya bisa mengangguk. Demi apa pun, jika begini ia rindu bundanya. Ia rindu ketika wanita itu menuangkan beberapa masakan ke dalam piring. Padahal lauk itu belum habis. Namun, ketika ia teringat bentakan Ayah. Membuatnya mengurungkan niat untuk menyesali kepergian ini. Stevy memang harus pergi.

***

Stevy menatap langit-langit kamar. Terdapat beberapa lukisan bintang yang menyala di dalam gelap. Kata Laras, itu buatan Setya. Papanya sengaja memberi hiasan itu di langit-langit kamar, agar Laras tidak takut tidur sendirian. Namun kali ini, Laras tidur bersama Stevy.

Sempiternal [✔️]Where stories live. Discover now