Andra sendiri tidak protes sama sekali. Ia dan Atherine memang hanya sebatas tetangga yang tidak terlalu banyak berinteraksi kecuali sekedar mengucapkan salam sapa saja. Tentu untuk memulai interaksi yang lebih dari itu terlalu sulit untuk mereka berdua. Terlebih lagi Atherine jarang sekali terlihat berinteraksi dengan banyak orang di sekitar sini.

"Kamu pengen ngomong sesuatu?"

Atherine mengangguk, "Tapi saya tidak mengerti harus bagaimana memulainya,"

Andra mengangguk. Ia tersenyum tipis yang disambut tatapan bingung dari Atherine. Dengan senang hati lelaki itu menunjukkan beberapa cara dan ekspresi pendukung interaksi—secara cuma-cuma kepada Atherine. Ia tidak memiliki maksud lain selain untuk membantu memudahkan wanita itu dalam berinteraksi dengan orang lain termasuk dirinya.

"Yang mana dulu yang ingin kamu coba?"

Atherine mengangkat sebelah alisnya, "Mengungkapkan terimakasih?"

"Ya?"

"Saya ingin berterimakasih padamu,"

Salah satu tangannya terjulur ke arah Andra. Menunggu lelaki itu meraih dan menjabatnya. Namun tak ada sambutan semacam itu nyatanya. Andra masih berdiam diri di tempatnya seraya memandangi tangan Atherine yang terjulur tepat dihadapannya.

"Atherine sa–saya ingin ...."

Pintu apartemen kembali terbuka, menampakkan seorang gadis dengan balutan piyama pink yang manis. Atherine menarik kembali tangannya sebelum menyambut gadis tadi masuk dalam dekapannya. Andra masih berdiri disana, menyaksikan betapa hangatnya interaksi dua perempuan berbeda usia itu. Yang sekaligus membuatnya semakin bertanya-tanya mengenai siapa gerangan Nala ini sebenarnya.

"Jika dengan berjabat tangan tidak cukup untuk mengungkapkan terimakasih lalu apakah saya bisa membalasnya dengan cara lain?" Atherine kembali berujar setelah melonggarkan pelukannya pada Nala.

"Tentu," jawab Andra.

"Masuklah sebentar, ayo kita makan malam bersama,"

Kedua matanya melotot sempurna hampir tidak mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Makan malam bersama? Wow momen semacam ini bahkan tak pernah terbesit sedikitpun dalam benaknya.

"Apa?! Tidak boleh!" pekik Nala kemudian.

Seluruh ekspektasi mengenai makan malam yang indah disertai momen-momen pun menghilang dari benaknya—setelah mendengar pekikan Nala. Andra meneguk ludahnya dengan susah payah. Ingin sekali rasanya ia memaki gadis remaja antah berantah yang sok sekali protektif pada Atherine ini. Tetapi ia sadar, ia tidak akan pernah bisa melakukan hal semacam itu— mengingat Atherine tampaknya sangat menyayangi Nala.

"Nala kamu tidak boleh seperti itu. Om ini baik. Dia sudah membantu bunda tadi. Itu artinya bunda harus membalas kebaikannya bukan?"

Nala nampak mengerutkan kening, mengerucutkan bibirnya. Menatap dari atas ke bawah perawakan Andra. Mencoba mencari celah mencurigakan dari manusia asing yang entah sejak kapan dekat dengan bundanya. Sayang sekali, tidak ada satupun gerak gerik mencurigakan yang tampak dari seorang Andra.

"Om ternyata ganteng ya," ucap Nala kemudian.

"Eh," Andra terkekeh seraya mengusap tengkuknya sekilas.

"Aku terlalu sibuk marah sehingga tidak menyadari kalau om itu setampan bintang film,"

"Nala c'mon," tegur Atherine seraya menggelengkan kepalanya.

Tetapi Nala tetaplah Nala. Anak itu tidak peduli meskipun sudah mendapatkan teguran dari sang bunda. Ia meraih lengan Andra lalu mengajak lelaki itu masuk ke apartemen. Atherine hanya mampu mengembuskan napasnya kala menyadari tingkah acak putrinya yang memang sering berbuat sesuka hati itu.

NEIGHBORWhere stories live. Discover now