Sembilan

36.6K 895 45
                                    

"Ayah!" Suara khas anak kecil memenuhi pendengaran Wafa dan tiba-tiba saja kakinya sudah ditubruk oleh seseorang dengan seragam sekolahnya.

"Ayah... gendong," pinta Irfan sembari mengacungkan kedua tangan ke Wafa membuat pria itu terkekeh geli.

Wafa menuruti, ia menarik Irfan ke dalam gendongan lalu mengecup pipi sang bocah sayang. Ia juga membawa Irfan ke meja makan menunggu bibinya selesai untuk mempersiapkan sarapan.

"Paman ke mana, Bi?" tanya Wafa heran tak melihat sang paman di rumah.

"Pagi-pagi sekali ia berangkat ke bandara buat ke Jakarta diantar mang Ujang. Ini piringmu," beritahu Listi mengangsurkan piring keramik ke Wafa.

"Bi, hari ini aku berencana akan menempati rumah Kakak yang di Krapyak. Aku pikir tidak seharusnya mengosongkan rumah begitu saja," kata Wafa bermaksud pamitan.

Listi yang hendak mengambil nasi pun mengurungkan niatnya. Wajahnya yang semula sumringah langsung pias digantikan oleh wajah sendu tak rela. "Harus hari ini? Pamanmu masih di luar kota, Nak. Paling tidak, tunggulah sampai ia pulang," Listi meminta kelonggaran.

Wafa mengembuskan napas keras, lalu mengusap wajahnya yang terlihat lelah. Bukan maksud hati ia ingin kurang ajar dengan bibinya yang sudah merawatnya belasan tahun silam. Ia tahu, ini keputusan yang sebenarnya cukup terkesan buru-buru, tapi ia pikir ini sudah saatnya ia melawan ketakutan. Kakaknya meninggalkan beberapa peninggalan untuk sang anak yang tentunya tak mungkin ia abaikan begitu saja. Ia harus bisa mandiri merawat Irfan sesuai janjinya pada jasad kakaknya satu tahun lalu.

"Aku akan kembali berpamitan kalau paman sudah pulang dari Jakarta," putusnya sembari mengambil nasi goreng yang tersaji di meja makan itu.

"Ayah... Irfan mau telurnya," pinta bocah lelaki itu sembari menunjuk piring datar yang berisi telur dadar.

"Ini," Wafa menaruh telur dadar ke piring Irfan lalu mengusap kepala bocah itu sayang.

"Apa kau tidak takut Irfan akan menanyakan perihal Fahmi?" tanya Listi masih berusaha untuk mempertahankan keponakannya.

Wafa tersenyum getir lalu menatap Irfan, dielusnya lembut kepala sang anak lagi lalu menggeleng pelan. "Setidaknya ada kali pertama untuk mencoba segala hal, Bi."

Listi mengembuskan napas keras, kali ini tidak ia tahan-tahan sebagai tanda ia menyerah dengan sifat keras kepala keponakan kesayangannya itu. Jujur, ia merasa masih bertanggung jawab atas keponakan yang memang dititipkan padanya dulu saat iparnya meninggal. Dan ternyata lewat Wafa dan Fahmi-lah ia mendapatkan rejeki dan segala hal yang ia miliki. Ia patut bersyukur dengan kehadiran kedua ponakan yang memberikan warna tersendiri untuknya di masa lampau yang nyaris menyerah karena rahimnya harus diangkat sebelum ia memiliki anak.

"Fa...."

Pria dengan kemeja hitamnya itu mendongak menatap bibirnya yang sedang menatapnya nanar.

"Bibi akan selalu mencintaimu. Tak peduli seperti apa kau menganggap Bibimu ini," beritahu wanita paruh baya itu sembari meneteskan kristal yang sudah ditahannya sejak tadi.

"Bi...." Wafa bangun dari kursinya lalu mendekati wanita paruh baya yang begitu berjasa di hidupnya itu. Menghapus air mata yang masih mengalir dari pipi tua sang bibi lalu tersenyum.

"Wafa tak akan pernah pergi dari hidup Bibi. Wafa hanya ingin belajar untuk menjadi seseorang yang lebih mandiri, itu saja."

Listi menarik Wafa ke dalam pelukannya lalu terisak mengingat ini waktu sarapan terakhir yang ia miliki bersama Wafa. Sedang Irfan yang sedang asyik mengotori meja makan dengan nasi gorengnya itu mengernyit menatap kedua orang dewasa itu bingung. Ia turun dari kursinya lalu mendekati Wafa dan juga Listi.

Jodoh dari Surga-NyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang