Suasana sore di pinggir danau ini tenang sekali. Yang kudengar hanya suara air yang berdesir karena hembusan angin. Langit senja kali ini sangat indah.
Aku mengingat mimpiku malam tadi. Aku memimpikan Jevan terbang ke atas awan. Dengan busana yang sangat indah, dia melambaikan tangan kepadaku sambil tersenyum lembut. "Selamat tinggal," katanya.
Pandanganku menerawang jauh ke langit senja di atas. Mengingat-ingat kenangan indahku dengan Jevan. Tiba-tiba aku teringat saat aku dan Jevan sedang bersepeda sore hari.
Jevan menoleh kepadaku dengan senyum tengil, "Ra, coba tebak. Teh teh apa yang pahit?"
Aku mengernyitkan dahi, "teh tawar?" tebakku
"Tet tot... salah. Jawabannya realiTEA hahahaha," tawa Jevan hingga matanya hanya membentuk garis.
"Hahahaha, apa sih Van, garing banget" walaupun aku berucap seperti itu, aku tetap terbahak. Jevan memang jahil, tengil, dan sangat suka bercanda dengan candaan garing khasnya ini.
Kami melanjutkan mengayuh sepeda. Menyusuri taman di dekat kompleks perumahan kami. Sampai tiba-tiba sepeda jevan rusak. Rantainya lepas.
Waktu itu, kami tertawa seakan menertawakan nasib jevan yang apes. Kami pulang dengan Jevan yang menuntun sepeda miliknya.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba Jevan berkata, "Ra, aku iri deh sama burung itu," dia menunjuk ke arah seekor burung yang sedang terbang di langit.
"Iri kenapa?" tanyaku.
"Dia bisa terbang tinggi ke langit sana. Aku ingin jadi dia biar bisa tidur di awan." Tak heran, Jevan memang sangat random.
"Aneh-aneh aja kamu van."
Sekarang, aku menghela napas. Bibirku mengulas senyum sendu. Aku merindukannya. Sepertinya, mengingat hal-hal yang aku lakukan bersamanya sedikit mengobati rasa rinduku.
Kembali kutatap langit senja di atas.
"Hanya ini, tolong berjanji satu hal padaku. Jangan bersedih lagi dan tersenyumlah. Berbahagialah di atas awan sana. Sekarang kamu bisa tidur di awan, seperti yang kamu bilang waktu itu." Aku beranjak meninggalkan danau.
