🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁

Start from the beginning
                                    

"Oke ...." Jadi, aku salah sudah menyuarakan pendapatku tadi?

Ibu dan Ayah pergi ke kebun seperti yang mereka ucapkan. Ibu memintaku untuk mencuci piring sementara Radit menjemur seprai dan selimut di balkon belakang.

Adikku menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan dia bertanya sambil membantuku menyeka air di piring. "Kak Anna gak suka kalau kita pergi sama-sama ke sana?"

Desahan lelahku keluar. "Bukan gak suka. Lebih ke 'kaget', 'takut' dan 'risau'."

"Takut kenapa?"

"Di sana banyak hal yang gak mereka tau. Sudah begitu, kita akan pergi ke negara lain. Alhasil, ada kemungkinan aku tidak bisa membantu Ayah dan Ibu kalau mereka bingung."

Sebenarnya aku juga tidak tau pasti tentang apa yang kutakutkan, jadi hanya itu alasan yang bisa kusuarakan.

Radit mendengus singkat. "Kaaak, kak. Kenapa Kak Anna sama Ibu sama-sama suka overthinking ke hal yang gak perlu di pikirin, sih? Ibu sama Ayah bukan anak kecil. Dan kalau ada yang tidak kita tau, tinggal dicari tau."

"Tapi—"

"Tapi, tapi, tapi," ledek Radit dengan muka dan suara jelek.

Aku mencipratkan air keran ke adikku yang mengesalkan. "Iiih!"

Dia menghindar dengan mudah dan bangga.

Pintu rumah kami diketuk tiga kali. "Saga kali, ya? Semalam dia janji mau datang pagi-pagi," ucap Radit sembari melangkah ke pintu.

"Janji?"

"Iya, mau ngajak kita main sama Taro katanya." Kudengar pintu terbuka, lalu adikku bilang, "Pagi, Letnan Kai."

Aku seketika menoleh karena tidak percaya. Ah, benar. Laki-laki berkulit gelap itu tampak di depan Radit, memakai pakaian yang lain dari biasanya dan wajahnya terekspos—kaos hitam lengan pendek yang agaknya terlalu mencetak tubuh, celana bahan hitam yang longgar dan ujungnya dimasukkan ke sepatu bot hitam bertali setinggi setengah betis—.

"Masuk dulu, Letnan. Mau minum apa?" tawar Radit, mempersilakan tamu kami.

"Aku ingin teh saja, kalau tidak keberatan," balasnya sopan sembari duduk membelakangi pintu masuk.

Loh, dia kemari sendirian? Kak Amma mana?

Adikku bertanya. "Letnan ... pakai pakaian orang Bumi?"

Aku juga berpikir begitu.

"Pagi buta tadi Putri Amara dan aku hendak memesan tempat penginapan di sana, jadi kami bersiap-siap ke Bumi. Namun, Putri melarangku pergi setelah aku bersiap." Senyumnya terpasang sembari menghempas napas. "Dia bilang aku terlalu menarik perhatian. Ujung-ujungnya, prajurit kami yang pergi karena kami terus berargumen. Sekarang, Putri Amara berada di rumah Lofi. Dia memintaku menjemput kalian."

Dia bangga atau pasrah dipuji begitu?

"Aku aja sempat bingung tadi, 'wah, aktor dari mana ini?' gitu," canda Radit yang duduk tak jauh dari Letnan. "Kak, aku juga mau teh!"

"Ih, aku pikir kamu yang bikin," jengkelku, tapi segera meraih gelas batok bersih yang sudah kuseka dan menyiapkan teh herbal.

"Aktor?" ulang Letnan.

"Itu, tuh, orang yang dibayar untuk berlakon."

Letnan menimpali, "mungkin yang kamu maksud itu 'Wayang'? Orang-orang yang berperan menjadi tokoh dari kisah yang hendak disampaikan. Itu mata pencaharian orang-orang Aderida."

"Eh, begitu?" kagum Radit. "Berarti di Iredale tidak ada yang menjadi aktor?"

"Kami memandang pekerjaan itu terlalu rumit. Aku pribadi melihatnya seperti menipu orang."

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Where stories live. Discover now