"Hmm, penekanan di seperti biasa, ya? Bagus. Mending pulang aja sana, Ko! Enakan juga sendiri di sini. Bisa sambil ngelamun—"

"Ngelamunin suami orang tuh dosa loh, Nay. Cuma ngingetin aja." Rikko menggodaku dengan melempar senyum congkak, seraya menaikturunkan kedua alis.

"Idih!" Aku berusaha keras mencari berbagai macam kalimat-kalimat balasan untuk menyanggah gurauannya, tetapi otakku seperti mengalami korsleting seketika. Mungkin karena yang dikatakan itu benar, makanya jadi sulit mengelak. Layaknya pecundang kalah perang, aku memilih untuk melarikan diri ke toilet. "Udah ah, ngomong sama orang aneh bikin sakit perut!"

"Cieee! Grogi, tuh! Salting, ya? Haha!"

"Apa sih?! Berisik!" Kubanting pintu sebagai pelampiasan kesal.

Bagaimana mungkin kami hanya berdua saja di sini? Aku harus segera keluar dari situasi yang terasa sungguh salah ini ... walaupun, diam-diam aku sedikit menikmatinya—jangan! Jangan terbuai masa lalu Naya! Dia itu ... sudah jadi suami orang.

Tiba-tiba Rikko mengetuk lembut pintu toilet.

"Kamu baik-baik aja kan, Nay?" Sayup-sayup kudengar suaranya dari balik pintu.

"Iya, cuma pipis, kok."

Dia tertawa kecil. "Bukan, bukan itu. Maksudku, setelah hari ini, kita bakal tetep baik-baik aja, kan? Meskipun, kamu katanya bakal pindah ke ujung dunia ...."

Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari mulutnya. Dia pasti sudah mendengar kabar kepindahanku ke Kanada tahun depan. Aku memang sengaja buru-buru menerima promosi jabatan dari kantor, setelah mendengar kabar pernikahan Rikko. Tadinya bahkan, kupikir akan lebih baik jika aku sama sekali tidak bisa hadir di acara resepsi mereka. Ternyata nasib berkata lain. Pengurusan pemindahanku memakan waktu lebih lama dari seharusnya. Maka di sinilah aku sekarang. Terjebak dalam toilet apartemen yang dahulu kami tempati bersama.

"Nanti aja deh, Ko! Nggak kedengeran!" Lagi-lagi aku mencoba menghindar.

"Oh, oke. Sori, sori. Ya udah, entar aja." Terdengar langkah Rikko menjauhi pintu.

Apa aku kabur saja? Pura-pura sakit? Jangan. Pura-pura dipanggil pulang? Hah! Mungkin lebih baik pura-pura gila saja sekalian! Aku benar-benar benci situasi begini. Apa yang sebenarnya dia harapkan dengan datang ke sini? Bohong kalau dia tidak menyangka hanya akan ada aku sendiri di sini. Atau justru itu yang dia inginkan? Tidak. Bukan itu. Dia pasti sadar kalau aku memendam sesuatu. Apa pun yang terjadi, malam ini harus kuhadapi. Malam ini, semuanya harus kami tuntaskan.

Setelah memantapkan diri, aku membuka pintu seinci demi seinci, berharap Rikko tidak menyadari pergerakanku.

"Udah lega?" Pertanyaannya menyambutku yang sedikit terperanjat. Dia sudah menungguku di sofa. Telapak tangannya tampak dua kali menepuk area kosong di sisi kiri, memberi arahan supaya aku segera duduk di sana. "Sini, Nay. Ngobrol."

Bagaikan ditantang, nyaliku kembali menciut. Sembari menunjuk asal-asalan ke arah balkon, aku membalas, "A-aku di sana aja." Melewatinya saja jantung ini serasa akan meledak. Aku sama sekali tidak berani membuang mata ke arahnya.

Tanpa basa-basi, dia meraih tanganku dengan halus. "Kita harus bicara, Nay." Kami pun bertukar pandang. Aku bisa melihat keseriusan di sorot matanya. Terakhir kali dia seperti ini, esok harinya aku berhasil dibuat sepakat untuk mengistirahatkan hubungan panjang kami. Kali ini, apa lagi yang ingin dia rampas dariku?

"O-oke," jawabku singkat. Aku mengambil posisi duduk tepat di bagian yang dia tunjuk. Bisa kurasakan pancaran hawa tubuhnya yang memang hampir bersentuhan denganku. Aroma alkohol dari minuman yang baru saja habis ditenggaknya pun samar tercium.

LampauWhere stories live. Discover now