Halang Rintang

274 18 6
                                    

Hari penuh laknat ini akhirnya akan segera terlewati juga. Andai saja bisa kuhapus satu hari ini dari kalender—tidak. Bagaimana bisa aku merenggut kebahagiaannya? Lihat dia tadi ... bercahaya, tertawa—ah, sudahlah Naya, sebentar lagi malam pun pasti bertukar posisi dengan pagi ... itu jugalah saatnya kita bakal pergi. Toh, sebagian besar sudut apartemen ini sudah selesai kubereskan.

Tanpa adanya ocehan muda mudi, atau irama piring dan gelas beradu, atau genangan hujan konfeti, atau dentuman musik romantis, ruangan ini justru meneriakkan kebisingan yang lebih memekakkan telinga. Sudah tidak banyak furnitur yang tersisa di sini, sejak aku kembali tinggal bersama Mama. Sebenarnya, suasana lengang sehabis riuhnya resepsi pernikahan sore tadi, mengingatkanku pada situasi serupa. Malam pergantian tahun terakhir saat kami masih bersama.

Waktu itu aku juga duduk sendirian di sofa, hanya berteman secercah cahaya lampu temaram ... persis seperti sekarang. Bedanya, kali ini tidak akan ada dia yang menyusul untuk menghabiskan malam berdua. Kalau kejadiannya sama, seharusnya detik ini akan terdengar antusiasme Rikko, menggunjingkan teman-teman yang baru saja dia antarkan ke lobi. Dia akan sengaja menyergap dan menjatuhkanku ke sofa, lalu merebahkan kepalanya ke pangkuanku.

"Delapan tahun lalu, ya ...." Kenangku, sambil berbisik kepada ruang hampa. Kalau ditambah dengan lamanya hubungan asmara kami, itu berarti sudah sekitar delapan belas tahun aku mengenal Rikko. Aku bisa ingat jelas hari pertama aku bertemu dia. Waktu itu bertepatan pula dengan hari pertamanya masuk sekolah. Dia murid pindahan dari Bekasi. Masih terdengar jelas suara Rikko yang terpingkal-pingkal, kala kutebak kalau kota asalnya itu terletak di luar Pulau Jawa. Pengetahuan geografisku saat itu memang hanya sebatas rumah, sekolah, dan supermarket dekat rumah. Aku cenderung acuh tak acuh pada dunia di luar zona nyamanku.

Tetapi, berkat itu aku jadi tidak butuh waktu lama untuk menjadi semakin akrab dengannya. Dua minggu masa pendekatan pun berlanjut hingga lebih dari sepuluh tahun ... sampai akhirnya kami memutuskan untuk rihat sebentar ... berujung belenggu delapan tahun untukku. Yang menyedihkan dari semua ini justru bukan waktu yang terbuang sia-sia, atau harapan yang mendadak pupus begitu saja. Tetapi kenaifanku, selama rentang lima tahun setelah kami memutuskan untuk mengambil jeda. Kalau saja aku cepat sadar.

"Iya ... terima kasih, Pak. Mari."

Cukup Naya! Kondisimu sekarang ini sudah tragis! Masih mau ditambah halusinasi pula?! Mana mungkin seorang pria yang sedang berbulan madu bisa tiba-tiba memilih untuk datang ke sini ... menemui mantan kekasihnya ... tengah malam begini ... berdua saja? Namun, seperti ingin segera mematahkan asumsiku, pintu utama apartemen ini benar-benar terbuka.

"Nay?"

"Rikko?!" Ternyata, suara yang kudengar barusan itu nyata. Ini semacam deja vu. Aku masih tidak menyangka dia ada di hadapanku saat ini. "Kamu ngapain di sini?!"

"Hehe ... kepikiran soalnya, Nay. Takut kamu beres-beres sendirian kayak biasanya."

"Astaga, Ko! Terus istrimu?"

"Waktu ditinggal tadi sih, bobok. Memang gampang capek dia."

Bukan ... sudah sewajarnya Joy tumbang setelah seharian ini jadi pengantin. Justru yang aneh itu ... kenapa kamu malah kemari? "Memangnya kamu nggak capek?"

"Dikit," jawabnya sambil lalu. Rikko tampak lebih bersemangat menuju ke pantri. Matanya jelalatan, tangannya pun sibuk mencari-cari sesuatu di sekitar meja bekas jamuan. "Minuman sisa pesta tadi udah dibuang semua, kah?" Belum sempat kujawab, dia lanjut bertanya, "Kalau camilan? Ada?"

"Bukannya kamu ke sini mau bantu bersih-bersih, ya?" sindirku.

"Yah, kan tugasku seperti biasa nemenin aja, Nay."

LampauWhere stories live. Discover now